Oleh: Andi Ryansyah,
Muslim WNI keturunan Tionghoa
PAGI ini saya baca dua berita tentang muslim Xinjiang di Republika On Line. Berita pertama tentang usaha pemerintah Tionghoa menghapus identitas Islam di Xinjiang. Sedangkan berita keduanya: Duta Besar Tionghoa untuk Indonesia, Xie Feng, memastikan adanya kebebasan beragama di Xinjiang.
Sudah jadi pemandangan yang biasa dari rezim komunis apabila di dalam negerinya menentang kaum agamawan, tapi di dunia luar mereka kumandangkan kebebasan beragama.
Sebab dulu, seperti dikisahkan oleh M.Rafiq Khan dalam bukunya “Islam in China” yang diterjemahkan oleh Sulaimansjah, mereka memamerkan masjid-masjid tertentu untuk “meyakinkan” pengunjung-pengunjung asing, terutama yang berasal dari negeri Islam, bahwa Islam mendapat kebebasan sepenuhnya di bawah rezim komunis. Masjid-masjid itu diantaranya Masjid East Gate di Hsi Ming, Masjid Dinasti Kaisar T’ang di Sian, Masjid Phoenix di Hangchow, Masjid Unicorn di Foochow, dan Masjid Pea Orchard di Shanghai.
Padahal masjid-masjid yang bersejarah di Hunan, Hupeh, Honan, Hopeh, dan Shantung telah dilenyapkan atau rusak parah akibat dilanda banjir. Permohonan dana yang berulang-ulang kepada pemerintah untuk membangun dan memperbaiki masjid itu pun, selalu ditolak pemerintah dengan alasan masjid itu tidak terletak di kota-kota besar yang dikunjungi orang-orang asing, sehingga tidak ada gunanya bagi kaum komunis.
Pada tahun 1954, salah satu dari Masjid Hsu-Ch’ang harus ditutup karena kekurangan dana. Monopoli komunis terhadap perdagangan dan pajak yang sangat tinggi dikenakan kepada pedagang kecil, menyebabkan kaum muslim menjadi melarat. Mullah Chang, penanggung jawab Masjid Selatan harus menjadi pembuat topi untuk mencukupi nafkahnya. Direktur Masjid Utara terkena “pembersihan” dan Masjid Timur ditutup karena sumber-sumber penghasilannya dibekukan.
Lebih dari itu, semua kekayaan masjid terbesar di Tionghoa, tepatnya di Hsi-Ming, disita pada tahun 1949. Padahal saat itu penghasilan masjid tersebut dipakai untuk membiayai ribuan mahasiswa yang belajar Islam pada tingkat lanjutan. Dengan penyitaan itu, tidak mungkin lagi mendidik pemimpin-pemimpin Islam di masa depan.
Rezim komunis juga mengerahkan kaum ulama tua menjadi tuan rumah dari pengunjung-pengunjung asing. Sandiwara ini lalu difoto dan gambarnya dijadikan bahan propaganda ke dunia luar.
Untuk maksud yang sama, anggota rombongan haji yang akan berangkat ke tanah suci, dipilih secara saksama oleh pejabat setempat. Sebelum mereka berangkat, kementerian luar negeri memberikan instruksi-instruksi kepada mereka agar tidak beranjak dari sikap pemerintah ketika bercakap-cakap dengan orang asing, harus memuji tentang kebebasan beragama dan peningkatan tingkat hidup di bawah rezim komunis, serta mendorong kaum muslim di Timur Tengah untuk bergabung dalam “Kamp Perdamaian” dan sama-sama berjuang demi perdamaian dunia (menurut istilah komunis).
Semua anggota rombongan harus tunduk dengan perintah ini. Mereka jarang berani menentang sebab diawasi secara ketat oleh pengawas-pengawas Partai dan keluarga mereka dijadikan sandera di negerinya. Di Mekkah pun, mereka tidak boleh terpisah dari rombongan. Dengan cara demikian, rombongan haji menjadi alat propaganda untuk kepentingan komunis. Pemerintah Arab Saudi mengakui hal itu pada tahun 1951 dan menolak pemberian visa kepada rombongan haji semacam itu.
Ironis memang, ketika rombongan haji ini memuji kebebasan agama di Tionghoa, justru saudara-saudara muslim mereka di negerinya menderita akibat pengejaran atas dasar tuduhan reaksioner, kontra evolusi, nasionalis, agen imperialis, atau nasionalis lokal yang menentang pimpinan komunis.
Terakhir, kaum komunis Tionghoa pernah mengirimkan delegasi-delegasinya ke negara-negara Islam untuk memamerkan tempat-tempat ibadah di Tionghoa. Tapi tidak ada perubahan dalam politik anti muslim mereka, malah tekanan agama makin kuat setelah tahun 1957.
Sayangnya muka dua komunis Tionghoa saat ini sudah disaksikan sejarah.
Sumber Islampos