Select Menu

SaintekSIROH

PKS BERKHIDMAT UNTUK RAKYAT

BERITA SIAK

FIQIH

SIROH

Kesehatan

Saintek

Video Pilihan

Jumat, 24 Juli 2015

Menuju Penyatuan Kalender Hijriah

PKS SIAK – Perbedaan penetapan awal bulan Hijriah menjadi salah satu problem yang belum selesai di Indonesia sampai saat ini. Setiap mendekati awal Ramadhan, Syawal, ataupun Dzulhijjah, pemerintah melalui Kementrian Agama dan ormas-ormas Islam selalu melakukan sidang untuk menyepakati kapan jatuhnya tanggal 1 di bulan-bulan tersebut. Hasilnya, sering sekali terjadi perbedaan pendapat yang berujung pada penetapan tanggal awal bulan yang berbeda antara pemerintah dan beberapa ormas Islam. Namun di Ramadhan tahun ini pemerintah dan semua ormas besar Islam memiliki ketetapan yang sama untuk menentukan tanggal 1 Ramadhan. Dan diprediksi dalam 7-8 tahun ke depan penetapan tanggal-tanggal tersebut akan selalu sama. Bisa jadi ini adalah kesempatan untuk menuju penyatuan kalender Hijriah di Indonesia.

Perbedaan Penetapan Awal Bulan

Fenomena yang sering ditemui di Indonesia adalah perbedaan penetapan tanggal 1 Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah antara pemerintah dan Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia. Perbedaan tersebut terjadi karena ketidaksamaan kriteria yang digunakan oleh kedua belah pihak dalam melihat hilal. Hilal yaitu penampakan bulan baru di langit menjelang maghrib. Bentuknya biasanya menyerupai bulan sabit yang sangat tipis dan cahayanya agak redup. Apabila hilal terlihat menjelang maghrib, maka malam itu dianggap sudah masuk bulan baru.

Metode yang digunakan untuk melihat hilal selalu berkembang sejak zaman Rasulullah SAW sampai dengan saat ini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat pengamatan hilal semakin canggih, dan didukung perhitungan yang akurat dengan data-data astronomi yang kemudian dikenal dengan metode hisab. Dengan hisab, dapat diketahui posisi bulan dari waktu ke waktu sehingga memudahkan pengamatan hilal di langit. Hisab tidak hanya mampu mengetahui posisi bulan untuk satu atau dua hari ke depan, tapi mampu menghitungnya hingga bertahun-tahun kemudian, tergantung waktu yang diinginkan.

Hisab sama-sama digunakan oleh pemerintah ataupun Muhammadiyah untuk melihat posisi bulan baru. Bedanya, pemerintah menjadikan hisab hanya sebagai pedoman untuk melihat hilal sedangkan Muhammadiyah menggunakan hisab sebagai penentu masuknya bulan baru tanpa perlu melakukan pengamatan langsung (rukyat) terhadap hilal. Selain itu, keduanya menggunakan kriteria yang berbeda dalam menentukan posisi hilal yang dianggap telah masuk bulan baru.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kenampakan hilal di langit menjelang maghrib mengindikasikan sudah masuknya bulan baru. Kenampakan hilal di langit itulah yang menjadi pangkal perbedaan dalam menentukan kriteria penetapan awal bulan baru oleh pemerintah ataupun Muhammadiyah. Kriteria yang digunakan pemerintah mengharuskan hilal memiliki ketinggian minimal dua derajat di atas ufuk agar bisa dilakukan rukyat dan kemudian jika hilal benar terlihat maka artinya sudah masuk bulan baru. Ketinggian minimal tersebut ditetapkan karena berdasarkan data astronomis diketahui bahwa hilal tidak akan bisa dilihat oleh manusia jika ketinggiannya berada di bawah dua derajat. Bahkan untuk ketinggian dua derajat atau sedikit lebih tinggi saja masih sulit untuk bisa melihat hilal. Akibatnya, pengamatan langsung (rukyat) pasti memberikan hasil bahwa hilal belum nampak di langit yang artinya belum masuk ke bulan baru.

Sedangkan kriteria yang digunakan oleh Muhammadiyah menetapkan bahwa bulan baru dinyatakan masuk ketika hilal sudah melewati ufuk, artinya posisi hilal nol derajat atau sedikit lebih tinggi dari ufuk sudah cukup untuk dinyatakan sebagai awal mula bulan baru. Kriteria yang digunakan Muhammadiyah ini dikenal dengan sebutan Wujudul Hilal, yaitu adanya hilal di langit, tidak harus bisa diamati oleh manusia. Dengan kata lain, Muhammadiyah yang sudah meninggalkan metode rukyat tidak perlu menggunakan kriteria yang mengharuskan hilal bisa diamati langsung oleh manusia.

Penyatuan Kalender Hijriah

Ada tiga syarat yang harus terpenuhi untuk menuju unifikasi (penyatuan) kalender Hijriah, yaitu adanya otoritas tunggal yang menetapkan dan menjaga sistem kalender tersebut, adanya kriteria tunggal yang disepakati, dan penetapan batas wilayah yang jelas. Di Indonesia, baru satu poin yang sudah disepakati dari ketiga poin di atas, yaitu tentang batas wilayah, di mana digunakan batas wilayah NKRI yang diatur dalam undang-undang sebagai batas wilayah yang disepakati. Untuk poin otoritas tunggal, maka dalam konteks negara Indonesia seharusnya pihak yang berperan sebagai otoritas yang akan menetapkan dan menjaga sistem kalender ini adalah pemerintah, yang diwakili oleh Kementrian Agama Republik Indonesia. Namun sampai dengan saat ini, pengakuan terhadap hal tersebut masih kurang berjalan dengan baik, ini dibuktikan dengan masih adanya beberapa pihak yang memilih menetapkan sendiri awal bulan dengan kriteria mereka masing-masing. Termasuk pemerintah sendiri masih belum mampu mengikat seluruh warganya untuk taat serta melaksanakan putusan yang sudah diambil.

Syarat terakhir yang menjadi syarat yang paling sulit disepakati adalah mengenai penyeragaman kriteria dalam penentuan masuknya bulan baru. Sebagaimana dijabarkan sebelumnya, pemerintah dan Muhammadiyah sebagai salah satu ormas besar Islam di Indonesia memiliki kriteria yang berbeda-beda dalam menentukan bulan baru. Pemerintah punya kriteria ketinggian hilal dua derajat di atas ufuk dan harus dibuktikan dengan rukyat, baru bisa diputuskan kapan masuknya bulan baru. Sedangkan Muhammadiyah menggunakan kriteria Wujudul Hilal sebagai penentu bagi masuknya bulan baru. Ormas Islam lainnya seperti Persatuan Islam (Persis) juga punya kriteria tersendiri yaitu ketinggian hilal empat derajat di atas ufuk dan dibuktikan dengan rukyat untuk penentuan bulan baru. Sedangkan Nahdlatul Ulama (NU) menggunakan kriteria ketinggian hilal sekitar dua derajat di atas ufuk dan dibuktikan dengan rukyat.

Perbedaan kriteria inilah yang perlu disatukan untuk sama-sama mencapai penyatuan kalender Hijriah di Indonesia. Namun penyatuan kriteria tersebut bukan perkara mudah, karena masing-masing pihak menentukan kriteria tersebut tidak dengan asal-asalan, melainkan dengan pertimbangan dari segi keilmuan dan dari penafsiran terhadap Alquran dan hadits tentang perkara pengamatan hilal dan penentuan bulan baru. Jika ingin menyatukan kriteria penetapan bulan baru, maka harus ada penyamaan persepsi mengenai tafsiran Alquran serta hadits yang menjadi rujukan semua pihak, kemudian disepakati secara cerdas dan toleran, serta wajib didukung dengan fakta-fakta akademis hasil kajian ilmiah yang valid. Posisi tinjauan ilmiah sangat penting dalam perkara ini karena penentuan hilal dan metode hisab sangat dekat dengan ilmu astronomi sebagai bidang ilmu yang mempelajari hal tersebut, yang tentunya perlu digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk menentukan berapa ketinggian hilal yang bisa dijadikan referensi sebagai pertanda masuknya bulan baru. Dalam hal ini tentunya diperlukan keterbukaan pikiran dan kelapangan dada dari semua pihak demi tercapainya kesepakatan dan persatuan umat.

Fenomena Bulan Delapan Tahun Kedepan

Menurut Prof. Thomas Djamaluddin dari LAPAN, data astronomis menunjukkan di Indonesia dalam delapan tahun ke depan memiliki potensi terjadinya persamaan penetapan tanggal awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Ini dikarenakan posisi hilal di awal dari ketiga bulan tersebut selalu berada di atas dua derajat. Artinya, kondisi ini akan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah, NU, Muhammadiyah, dan beberapa ormas Islam lainnya dan menyebabkan Indonesia akan memiliki kesamaan dalam penanggalan Hijriah selama kurang lebih delapan tahun ke depan.

Fenomena bulan yang mendukung terjadinya penyatuan kalender Hijriah ini merupakan bonus bagi masyarakat Indonesia, terutama otoritas terkait, mengenai kesamaan penetapan jatuhnya bulan baru. Namun demikian, kesamaan ini baru bersifat kebetulan, karena memang fenomena alamnya menghendaki demikian. Persatuan ini masih belum berlandaskan pada kesepakatan dari tiga syarat yang telah dijabarkan di atas. Tetapi kita sama-sama berharap bahwa momentum delapan tahun persamaan ini dapat dimaksimalkan sebagai momentum yang tepat untuk mencapai penyatuan kalender Hijriah yang hakiki di Indonesia, sekaligus memberi semangat kepada semua pihak temasuk masyarakat untuk sama-sama mendukung upaya yang dilakukan demi mencapai cita-cita tersebut. Karena penyatuan kalender Hijriah merupakan berkah tersendiri bagi umat muslim dan menjadi salah satu hal yang dapat mewujudkan persatuan umat. Aamiin.

Sumber : dakwatuna
Ket. Foto : ilustrasi

0 Comments
Tweets
Komentar

Tidak ada komentar

Leave a Reply

Komentar sehat anda..