Begini Perjuangan Pegawai Muslim Jalani Puasa di Negara Mayoritas Non Muslim

PKS SIAK, LONDON - Para pegawai di negara mayoritas muslim sudah sepatutnya bersyukur bisa menjalankan ibadah puasa lebih tenang. Coba sejenak Anda bayangkan bekerja di negara Eropa atau negara minoritas muslim.

Selain jam puasa yang sebagian besar lebih panjang, para pegawai kerap harus tetap bekerja dengan sistem kerja yang tak banyak berubah atau menyesuaikan dengan waktu Ramadan.

Tengok saja 2,78 juta pegawai muslim di Inggris. Pola tidur mereka pastinya akan berkurang karena ibadah tambahan di malam hari yang semakin lama.

Lalu bagaimana cara pegawai muslim tetap berpuasa di tengah udara panas, jam puasa yang panjang dan jam tidur yang berkurang?

Visaal Hussain, seorang muslim yang bekerja di Sunderland University dan biro hukum Brown Beer Nixon Mallon berbagi kisahnya. Tahun ini adalah pertama kalinya bagi Hussain berpuasa dan bekerja di sebuah universitas.

"Untuk beberapa hari pertama menjadi sangat sulit, karena Anda harus menyesuaikan dengan kebiasaan makan dan minum sebelum dan sesudah matahari terbenam," katanya mengutip laman ibtimes.co.uk, Minggu, 21 Juni 2015.

Setelah beberapa hari, Hussain mengaku semakin terbiasa karena sejak usia 11 tahun dirinya memang sudah berpuasa. Jam tidur yang berkurang memang diakui membuatnya sulit berkonsentrasi pada pekerjaan karena harus bangun lebih pagi. Tapi menjelang siang, persoalan ini biasanya akan hilang.

"Tahun ini, puasa berlangsung 19 jam dan jatuh di musim panas. Rasa haus akan menjadi masalah di kantor. Namun, hal itu bisa diatasi dengan selalu berada di ruangan yang dingin dan teduh, serta mengurangi kegiatan fisik yang tidak perlu," katanya.

Ada undang-undang Inggris yang melarang diskriminasi agama di tempat kerja. Tapi hukum hak asasi manusia Eropa juga berperan di sini. Meskipun tidak ada kasus-kasus tertentu yang melibatkan Ramadan, ada satu kasus diskriminasi agama yang dialami karyawan Kristen British Airways (BA).

BA menyuruh karyawan melepas perhiasan salibnya, namun ditolaknya. Dia kalah di pengadilan Inggris namun hukum hak asasi Eropa membatalkan keputusan tersebut.

Hukum Inggris mengharapkan pengusaha untuk memikirkan tentang staf yang menjalankan praktik agama. Dan perusahaan harus memberikan bukti mengapa mereka tidak bisa mengakomodasi keyakinan mereka jika menolak melakukannya.

"Jika karyawan berpuasa Ramadhan mereka tidak seharusnya diperlakukan tidak menyenangkan, daripada orang yang tidak berpuasa. Itu jadi perhatian utama," kata Kiran Daurka, pengacara di firma Slater and Gordon LLP.

Khaldoon Al Doory, direktur pengembangan bisnis korporat di Ashridge Business School, mengatakan manajer mungkin bisa memberikan aturan-aturan yang memudahkan karyawannya bekerja sambil berpuasa.

"Manajer dapat menawarkan kemudahan, mungkin dengan mengatur pekerjaan, jam kerja, dan jam istirahat yang fleksibel," katanya.

Menurut Al Doory, manajer biasanya menerima banyak permintaan dari karyawan muslim agar diperbolehkan melewatkan jam makan siang untuk tetap bekerja sehingga bisa pulang lebih awal selama Ramadan.

"Muslim juga biasanya lebih sering salat selama Ramadan. Menyediakan tempat tersendiri untuk karyawan salat akan sangat dihargai," katanya.

Muslim juga tetap bisa bekerja shift malam jika dibutuhkan, meski akhirnya mereka akan lebih banyak tidur saat menjalankan ibadah puasa di siang harinya.

"Puasa hanya berlangsung dari fajar hingga matahari terbenam. Satu-satunya hal yang dilakukan di malam hari adalah ibadah tambahan yang biasa digelar di masjid-masjid dan kadang berlangsung lama. Tapi tidak ada alasan seorang muslim tidak bisa bekerja di shift malam," kata Sheikh Ibrahim Mogra, Sekretaris Jenderal Muslim Council of Britain.

Salah satu hal penting adalah dialog. Pengusaha sebaiknya berbicara dengan karyawannya yang muslim. Hal ini akan menghindarkan dari masalah-masalah yang timbul selama Ramadan. Masalahnya, tidak ada pendekatan yang bisa diterapkan untuk semuanya.

Sumber dream.co.id