Yang Benar-Benar Hancur di Perang Tabuk bagian 1
Pkssiak.org - Garis-Garis Kehancuran Para Pengkhianat Perang:
Lebih cinta diri sendiri, keluarga dan harta dari gema jihad yang disuarakan Rasulullah Saw.
Bersumpah serapah demi melepaskan diri dari beban jihad meski ia harus dipoles dengan seribu satu kebohongan.
Menyalahkan gema jihad meski itu datang dari Alquran.
Melihat benar dirinya jika duduk bersama dengan keluarga menikmati hasil panen dari menceburkan diri di medan perang yang tidak pasti hasilnya.
Lebih memilih yang bersifat duniawi sementara dari yang bernuansa ukhrawi abadi.
Mengarungi medan perang bukanlah perkara remeh. Sebelum kekuatan fisik, asa perlu diasah, niat diteguhkan dan keyakinan digenggam kuat. Siap perang dalam situasi apa pun dapat menjadi ukuran dan cermin tebal-tipisnya keimanan. Yang tahu arti dan hakikat jihad di jalan Allah menyambut baik panggilan suci ini, namun yang di pikirannya hanyalah dunia, enggan menjawab panggilan ini. Jihad bagi kelompok terakhir ini tidak lain kecuali bayang-bayang kematian, kerugian dan kehancuran.
Dalam bingkai perang Tabuk yang dikemas rapi Q.S. At-Taubah 9: 38, wajah-wajah yang kalah perang sebelum bertempur tidak dapat menyembunyikan diri. Kaki mereka lebih berat dari kaki gajah, tubuh mereka kaku tidak berdaya, kehilangan akal, genderang perang seperti menyuarakan kematian yang pasti.
“Oh, perang lagi, perang lagi… kenapa pula kita yang diajak… bukankah ini musim panen, anggur dan kurma menanti dipetik. Jika bukan kami, siapa lagi, tidak mungkin anak dan istri kami yang memetik. Jika tidak segera dipetik, hasil kebun pasti membusuk. Bukankah ini kebodohan dan kegilaan yang nyata, apatah lagi perang kali ini sangatlah berat; di musim panas, perjalanan jauh dan jumlah musuh yang banyak.” Keluh mereka.
Nafas-nafas kekalahan yang lagi sesak ini dibahasakan Alquran secara lugas dengan اثَّاقَلْتُمْ. Meski ringkas, namun muatan maknanya menyiratkan seribu satu bahasa kekalahan. Ini terlihat dari struktur kalimat dengan huruf-hurufnya.
Kalimat yang asalnya dari تَثَاقَلْتُمْ yang kemudian huruf ta’ (ت) dilebur (diidgham) ke dalam pengucapan huruf tsa (ث) sehingga struktur ini perlu sisipan huruf alif (ا) sebagai media penyambung untuk menyebut huruf yang mati. Seperti rumitnya pola struktur kalimat ini dan pengucapannya, seperti itu juga rasa galau, gunda dan ketakutan yang sedang menyelimuti diri mereka dari gema jihad.
Kaki mereka seperti terpaku kuat di bumi, tidak dapat melangkah meski sejengkal. Itu karena cinta dunia dan kenikmatannya. Inilah yang kemudian membutakan hati, membuat terlena dan lupa bahwa akhirat lebih kekal dari dunia.
Makna-makna ini dikemas rapi untaian kalimat berikut ini, اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ .
Karena kehilangan hikmah, mereka pun ditegur keras Alqur’an,
﴿أَرَضِيتُم بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ ۚ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ﴾.
“Hanya duniakah di hatimu, sudah tidak ada lagikah akhirat di sana? Sulit dipercaya, tetapi seperti itulah kenyataannya. Bukankah sayap lalat lebih berat dari isi dunia di sisi Allah. Dunia yang semestinya jadi kendaraan mewah Anda menuju istana akhirat, justru Anda Jadikan seperti destinasi terakhir, seakan-akan Anda tidak ingin berpisah dengannya.” Tegur keras Alquran.
Ya, karena perang kali ini sangatlah berat dan dahsyat, Alquran pun mengerasi mereka dengan kalimat-kalimat yang menyentuh.
Ini senada dengan sikap dan antusias Rasulullah Saw. Jika berita dan strategi perang seringkali ditutup dan dirahasiakan meski dari orang terdekat, Rasulullah Saw kali ini membuka lebar berita perang ini sehingga tidak ada satu pun sudut kota Madinah kecuali menguping dan mendengar.
Olehnya itu, teguran Alquran tidak berhenti di sini saja, teguran kali ini lebih pedas dan menggigit, “yang beriman di dunia bukanlah kalian seorang, di sana ada umat lain yang siap menggantikan posisi mulia Anda di barisan jihad. Jika kalian tidak keluar berjihad, boleh jadi kemuliaan ini jatuh di tangan orang lain. Bukan hanya itu, Azab akhirat pun menanti Anda.”
Dakwatuna