Ulama yang Berlatih Tidak Berdosa selama Lima Belas Tahun
Mari hayati nasihat seorang ulama terpercaya, ahli ibadah, dan zuhud ini. Beliau yang lahir di tahun 130-an Hijriyah ini wafat sebelum usianya genap empat puluh tahun. Meski usianya pendek, namun beliau berhasil menjalani hidup dengan amat gemilang dengan tingkat kesalehan terbaik.
“Aku melatih jiwaku untuk tidak berbuat dosa sedikit demi sedikit hingga aku bisa mendisiplinkannya.”
Dosa adalah bencana, nestapa, kesusahan, kerumitan, kesukaran, dan bentuk keburukan lainnya. Dosa adalah salah, maksiat, lalai, dan menjauhkan pelakunya dari Allah Ta’ala. Maka, dosa adalah sumber bencana, sebab kedekatan dengan-Nya adalah sumber kebaikan.
Sayangnya, tak ada manusia yang bebas dari dosa, kecuali para Nabi dan Utusan Allah Ta’ala yang diampuni dosa dan kesalahannya. Dan di sinilah letak kerumitannya; kita diperintah untuk menjauhi bahkan meninggalkan sesuatu yang pasti kita lakukan sebagai salah satu sifat dasar manusia yang lemah oleh tipu daya setan nan terlaknat.
Karenanya, senantiasa berupaya dengan kemampuan terbaik untuk menjauhi dosa, sedikit demi sedikit di sepanjang kehidupan yang kita jalani.
Bentuk latihannya, lanjut ulama kharismatik ini, “Aku pun melatih lidahku untuk tidak membicarakan hal-hal yang tidak berguna bagiku.”
Maka latihan mendisplinkan diri dari dosa dimulai dari hal yang kecil dan sederhana. Bentuknya, sebagaimana nasihat ulama ini, mulai dari menjaga lisan. Hindari perkataan sia-sia, ghibah, fitnah, dan kalimat buruk lainnya. Jika tak kuasa, sebagaimana nasihat Nabi, maka diam adalah lebih baik.
Satu di antara caranya adalah dengan menyibukkan lisan dalam kebaikan. Membaca al-Qur’an, dzikir dengan kalimat yang disunnahkan, doa-doa yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah, serta kalimat-kalimat kebaikan, motivasi, inspiratif nan bijak lainnya. Biasakan, hingga menjadi karakter. Sebab, ketika lisan sibuk dengan perkataan yang baik, maka tak ada waktu untuk mengatakan atau membicarakan keburukan dan dosa.
Bukan mudah. Bukan pula sebentar dan singkat. Sebab, lanjut ulama ini, “Sekitar lima belas tahun, barulah aku bisa mendisiplinkannya.”
Demikian ini sebagai gambaran. Sekelas ulama saja membutuhkan waktu latihan yang ketat selama itu. Apalagi kita yang berasal dari kalangan manusia biasa? Tentunya lebih banyak waktu yang diperlukan dan usaha yang lebih sungguh-sungguh.
Akhirnya, semoga Allah Ta’ala menilai kesungguhan kita dalam menjauhi dosa. Dan, tak peduli berapa lama kita harus mencobanya; lima belas tahun seperti yang dijalani oleh Rabah bin Yazid al-Lakhmi ini, lebih sedikit, atau lebih lama darinya. Tak masalah. Sebab yang kita damba adalah diri yang sedikit dosa dan mendapatkan ampunan dari Allah Ta’ala. Aamiin.
Kisahikmah