Tak Bolehkah Kita Semulia Asiyah?
By: admin
Kamis, 06 November 2014
0
pkssiak.org - Padang pasir itu begitu panas. Membuat
Al A’masyi yang menemani Harun Ar Rasyid pergi berburu menjadi sangat
kehausan. Menteri itu pun menoleh ke kanan dan ke kiri, barangkali ada
orang yang bisa memberinya air.
Pandangan Al Ma’masyi berhenti pada
sebuah kemah. Ya, ada kemah di padang pasir ini. Ia pun bergegas ke
sana. Ternyata kemah itu dihuni oleh seorang wanita cantik yang
mempesona.
Melihat ada tamu yang datang, wanita itu mempersilakannya untuk duduk agak jauh darinya.
“Aku Al A’masyi, menterinya Harun Ar Rasyid. Bolehkah aku minta air?” kata Al A’masyi memberitahukan keperluannya.
“Maaf, suamiku melarangku memberikan air
kepada orang lain,” jawab wanita itu membuat Al A’masyi yang tadinya
berharap segera terbebas dari kehausan merasa harus menahan sabar.
Muncul pertanyaan dalam dirinya, mengapa suami wanita ini melarangnya
menolong orang lain.
“Tapi aku punya jatah makan pagi, berupa susu yang belum kuminum. Ambillah untukmu,” lanjut wanita itu.
Al A’masyi bersyukur sekaligus kagum dengan kemuliaan wanita tersebut.
Tak berselang lama, wajah wanita itu
tampak berubah. Rupanya ada sebuah titik hitam mendekat. Makin lama
makin tampak, seorang laki-laki di atas untanya berjalan ke arah kemah
itu.
“Itu suamiku,” kata wanita tersebut
sambil bergegas menghampiri suaminya. Ia membantu lelaki tua, hitam dan
jelek itu turun dari ontanya, serta mencuci tangan dan kakinya.
Laki-laki itu kemudian masuk ke dalam kemah tanpa mempedulikan dan
menyapa Al A’masyi. Dari dalam kemah, terdengar laki-laki itu berkata
buruk kepada istrinya.
“Aku kasihan kepadamu,” kata Al A’masyi
kepada wanita itu, sebelum ia berpamitan. “Engkau ini masih muda,
cantik, berakhlak mulia, tetapi bergantung kepada suami tua, hitam dan
buruk akhlaknya. Mengapa kamu bergantung kepadanya? Apakah karena
hartanya? Padahal ia miskin. Apakah karena ketampanannya? Padahal ia
hitam dan jelek. Apakah karena akhlaknya? Padahal akhlaknya buruk”
“Aku justru kasihan kepadamu wahai Al A’masyi,” jawab wanita itu dengan tegas.
“Bagaimana mungkin Harun Ar Rasyid punya
menteri yang berusaha menjauhkan seorang muslimah dari suaminya.
Ketahuilah, iman itu separuhnya adalah syukur dan separuhnya adalah
sabar. Aku bersyukur karena Allah membimbingku dengan Islam dan
memberiku kecantikan. Dan kini aku belajar bersabar dengan suami seperti
yang engkau sebutkan.”
Al A’masyi tak bisa berkata apa-apa.
Sungguh mengagumkan wanita itu. Allah telah memuliakan akhlaknya
sebagaimana Dia telah mempercantik wajahnya.
Sebagaimana keseluruhan hidup ini,
pernikahan juga ujian. Istri atau suami yang telah menikah dengan kita,
kadang kita dapati tidak sesuai dengan mimpi-mimpi indah kita. Allah
telah memberikan banyak contoh. Ada pasangan ideal seperti Adam dan
Hawa, Ibrahim dan Sarah, atau Muhammad dan Khadijah. Namun Allah juga
memberikan contoh sejarah, ada Nuh dan istrinya. Ada Fir’aun dan
suaminya.
Sungguh membahagiakan jika suami dan
istri kita adalah sosok ideal yang kita harapkan. Tetapi jika kita telah
menikah dan suami atau istri kita tak seideal yang kita harapkan,
kebahagiaan itu ada pada sikap kita. Ada nasehat bijak mengatakan, jika
suami kita tak seburuk Fir’aun, tidak bolehkah kita menjadi perempuan
semulia Asiyah?
[pkspadang.com]
DPD PKS Siak - Download Android App