Kelebihan Mush’ab yang lebih mempesona di balik wajahnya yang tampan dan orangtuanya yang hartawan adalah otaknya yang cemerlang. Perpaduan ketiga hal ini; ketampanan, kekayaan, dan kecerdasan, membuat Mush’ab bin Umair menjadi bintang pembicaraan dalam rapat dan pertemuan. Ia menjadi sosok pemuda ideal yang diimpikan pembesar Quraisy sebagai ‘pewaris tahta masa depan.’ Ia menjadi sosok pemuda idaman yang didambakan seluruh gadis Makkah untuk menjadi suaminya.
Di tengah harapan keluarga dan pembesar Quraisy bahwa Mush’ab akan menjadi penerus mereka, terdengar sebuah berita yang menarik perhatian setiap orang yang berakal. Bahwa Muhammad Al Amin menyatakan dirinya sebagai utusan Allah. Ia membawa agama baru bernama Islam, yang hanya menyembah satu Tuhan; Allah.
Ketika mengetahui kabar itu, Mush’ab bin Umair tertarik dan sangat penasaran. Ia tahu, Muhammad adalah orang yang paling terpercaya. Ia terkenal tidak pernah berdusta sehingga orang-orang Makkah sepakat memberinya gelar Al Amin. Akal Mush’ab yang cemerlang pun bekerja; bahwa tidak mungkin orang yang selama ini selalu jujur, akan berdusta dalam urusan besar yang membawa nama Tuhan. Mush’ab pun kemudian mencari tahu, di mana ia bisa berjumpa dengan Muhammad.
Hari itu pun tiba. Mush’ab dengan hati-hati melangkah ke rumah Arqam bin Abi Arqam. Ia mendapat informasi, di rumah inilah Muhammad bermajelis bersama para sahabatnya. Mentarbiyah mereka, membacakan wahyu-wahyu Ilahi yang diturunkan kepadanya.
Tak salah, Mush’ab akhirnya bertemu dengan Muhammad Rasulullah. Memandang beliau memberikan keteduhan sendiri bagi jiwanya yang selama ini dimanja orangtua dengan kekayaan dan kemewahan. Melihat majelisnya yang dipenuhi dengan wajah-wajah ikhlas dan penuh kejujuran membuat Mushab merasa laksana menemukan oase di gersangnya padang keangkuhan dan kesombongan orang-orang kaya dan para penguasa. Mendengar ayat-ayat Al Qur’an dibacakan, Mush’ab bagai menemukan kembali fitrahnya, mempertemukan jiwanya dengan sesuatu yang amat dirindukannya. Mushab melayang dalam kalam-kalam Ilahi yang begitu mempesona. Tidak pernah ia mendengar kalimat-kalimat seindah dan sedalam ini. Menyirami jiwa, menyentuh hatinya.
Rasulullah kemudian mendatangi Mush’ab dan mengusap dadanya dengan penuh kasih sayang. Gemuruh dalam hatinya menjadi damai dan tenang. Dan tak butuh waktu lama, Mush’ab bin Umair pun mengucapkan syahadat. Memproklamirkan bahwa dirinya adalah seorang Muslim, pengikut Muhammad.
Mush’ab pulang dengan jiwa yang penuh ketenangan. Meski saat itu banyak orang yang masuk Islam disiksa setelah diketahui keislamannya, Mush’ab bin Umair yang semula terbiasa hidup mewah dan manja kini tiba-tiba menjadi pemuda pemberani. Ia tak takut dengan resiko yang akan terjadi, seandainya orang-orang kafir Quraisy bersatu menjadi kekuatan yang mengancam keislamannya. Satu-satunya yang masih dikhawatirkannya adalah ibuna sendiri; Khunas binti Malik. Ia tahu, sebagaimana orang-orang Makkah juga tahu, Khunas adalah orang yang berkepribadian kuat. Orang kaya raya yang tidak suka perintahnya ditolak dan keputusannya dilawan. Memikirkan menghadapi ibunya sendiri, Mush’ab pun memilih merahasiakan keislamannya.
Tetapi ini adalah Makkah. Terlalu banyak mata-mata yang memperhatikan orang per orang, siapa saja yang telah dekat dan menjadi pengikut Muhammad. Keislaman Mush’ab pun akhirnya diketahui setelah seorang laki-laki bernama Usman bin Thalhah melihatnya mengendap-endap memasuki rumah Arqam bin Abi Arqam dan di waktu yang lain ia melihat Mush’ab melakukan shalat seperti yang dilakukan oleh Muhammad.
Sang ibu tak bisa memaafkan Mush’ab. Ia ingin Mush’ab kembali ke agama nenek moyangnya. Namun, Mush’ab dengan teguh mempertahankan keimanannya. Bahkan, ia membacakan ayat-ayat Al Qur’an di hadapan ibu dan keluarga besarnya. Sang ibu marah. Ia hendak menghentikan bacaan Qur’an itu dengan menampar Mush’ab. Tetapi tiba-tiba tangannya terkulai. Ia tak mampu memukul Mush’ab. Tetapi, ia punya rencana berikutnya. Mush’ab dihukum dengan cara lain. Mush’ab disekap di sebuah kamar.
Mushab terisolasi di ruangan itu seorang diri, untuk beberapa hari. Hingga kemudian, ia mendengar bahwa sejumlah sahabat berhijrah ke Habasyah. Mush’ab pun memanfaatkan momen ini. Dengan strateginya, ia bisa mengecoh ibunya dan penjaga. Mush’ab lolos dari kurungan itu dan bergabung hijrah ke Habasyah.
Mush’ab semakin tertempa menjadi sahabat Rasulullah. Ia yang dulunya selalu dimanja dengan kemewahan, kini menapaki hidup yang penuh kesederhanaan. Ia yang dulunya makan serba enak, kini lebih sering puasa dan menahan lapar. Ia yang dulunya selalu memakai pakaian indah, kini hanya memiliki pakaian seadanya, mulai penuh dengan tambalan. Ia yang dulunya selalu memakai minyak wangi terbaik, kini tak pernah lagi memakainya.
Sepulang dari Habasyah, menjadi pertemuan terakhir Mush’ab dengan ibunya. Sang ibu berniat kembali mengurungnya, tetapi Mush’ab bertekad untuk membunuh orang-orang utusan ibunya itu jika mereka mau menangkap dan menyekapnya. Mengetahui bahwa ia tak bisa menghalangi lagi putra kesayangannya, Khunas membatalkan perintah penangkapan itu. Dan mereka pun berpisah dengan bercucuran air mata. Pemandangan yang mengiris hati saat ibu dan anak harus terpisah, sebab Mushab memilih Islam dan Iman, sementara ibunya memusuhi agama itu seraya menegaskan fanatismenya pada penyembahan berhala.
“Pergilah ke mana pun kau suka, aku bukan ibumu lagi,” kata Khunas.
Mendengar itu, Mush’ab menghampiri ibunya dengan derai air mata. “Wahai ibu, aku sangat menyayangi ibu. Karena itu bersaksilah bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad asalah utusan Allah.”
“Tidak! Demi bintang-bintang, aku tidak akan masuk agamamu itu. Otakku bisa rusak dan kata-kataku tidak akan didengar orang lain jika aku menjadi pengikut Muhammad,” jawab Khunas dengan ketus.
Berakhirlah sudah satu episode kehidupan Mush’ab. Ia kini semakin hidup sederhana, meninggalkan seluruh kekayaannya, bahkan terpisah dari keluarga besarnya. Ia kini hidup bersama Rasulullah, dalam kemiskinan harta, tetapi dimuliakan Allah dengan kekayaan jiwa. Tak punya uang dan harta benda, tetapi Allah mencurahkan kedamaian dan kebahagiaan dalam naungan iman.
Saat melihat Mush’ab, sebagian sahabat merasa iba. Mereka yang mendapatkan caci maki dan mengalami cobaan karena masuk Islam, merasa tidak ada apa-apanya dengan cobaan yang dialami Mush’ab.
“Dulu, tidak ada orang yang dapat menandingi Mush’ab dalam mendapatkan kesenangan dari orangtuanya. Lalu semua itu dia tinggalkan demi cintanya kepada Allah dan RasulNya,” sabda Rasulullah dengan penuh haru dan cinta. [Muchlisin BK/kisahikmah.com - BedaMedia Grup]