Yahudi Ini Masuk Islam Gara-Gara Baju Besi
Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendakiNya melalui berbagai cara yang kadang-kadang terasa aneh dan tidak terduga. Seperti orang yahudi ini. Semula, ia bersikeras bahwa baju besi ini adalah miliknya. Siapa sangka, gara-gara kasus baju besi tersebut, ia kemudian masuk Islam.
Kisah ini terjadi di zaman khulafaur rasyidin ketiga, Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu. Saat itu Ali kehilangan baju besinya. Ia pun mengumumkannya beserta tanda-tandanya.
Suatu ketika, Ali bertemu dengan orang yahudi yang menemukan baju besi itu. Tanda-tandanya persis. Ali yakin itu adalah baju besinya yang jatuh dari unta.
“Baju besi ini adalah milikku,” kata si Yahudi menolak memberikannya kepada Ali. “Baju perang ini milikku karena ia ada di tanganku. Kalau engkau tidak puas, mari kita selesaikan di pengadilan.”
Meskipun Ali adalah khalifah, orang yahudi itu tidak canggung “menantangnya.” Sebab di zaman itu, ketika Islam memimpin dan berkuasa sejak zaman Rasulullah, rakyat dengan bebas berdialog dan menyatakan pendapatnya kepada pemimpinnya. Antara rakyat dan pemimpin , keduanya bisa dengan mudah bertemu tanpa sederet birokrasi. Juga tak ada diskriminasi. Sebenarnya Ali dengan kekuasaannya sebagai khalifah bisa saja langsung memerintahkan tentara untuk mengambil paksa baju besi itu. Tetapi ia tidak melakukannya. Ia sepakat membawa kasus tersebut ke pengadilan.
Tibalah pengadilan itu dimulai. Hakim Syuraih dari Kufah menangani kasus ini.
Hakim: “Wahai amirul mukminin, apa yang kamu adukan?”
Ali: “Baju besi ini jatuh dari untaku, ia memiliki tanda-tanda begini dan begini. Dan orang Yahudi ini telah menemukannya”
Hakim: “Wahai Yahudi, apa yang kamu katakan?”
Yahudi: “Baju perang ini adalah milikku karena ia ada di tanganku.”
Hakim: “Setelah memeriksa tanda-tandanya, baju besi itu persis seperti yang dikatakan Amirul Mukminin. Namun begitu, engkau perlu mendatangkan dua sakdi ya Amirul Mukminin”
Ali kemudian memanggil seorang tentaranya dan Hasan, putranya sendiri. Merekalah yang akan memberikan kesaksian bahwa baju besi itu adalah milik Ali.
Hakim: “Kesaksian tentara ini diterima. Sedangkan kesaksian Hasan bin Ali tidak bisa diterima.”
Ali: “Wahai hakim, tidakkah engkau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda sebagaimana yang diriwayatkan Umar bin Khattab bahwa Hasan dan Husein adalah pemimpin pemuda dan penghuni surga?”
Hakim: “Benar, aku mendengarnya.”
Ali: “Lalu mengapa kesaksian pemimpin pemuda penghuni surga tidak diperbolehkan?”
Hakim: “Bukan begitu Amirul Mukminin. Yang menjadi masalah adalah, dia ini anakmu sendiri.”
Mendengar dan menyaksikan jalannya pengadilan ini, hati orang Yahudi terus bergetar. Bagaimana mungkin ada pengadilan seperti ini, bagaimana mungkin ada agama seadil dan seindah ini. Ia pun kemudian menyela, “Wahai Amirul mukminin, ini sebenarnya adalah baju besimu. Ambillah. Aku telah menyaksikan seorang kepala negara yang untuk urusan baju besi saja mau ke pengadilan dan hakimnya yang seorang muslim pun memutuskan dengan sangat adil dan jujur. Ambillah baju besi yang kutemukan saat terjatuh dari untamu ini dan saksikanlah bahwa aku hari ini bersyahadat ‘Aku bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.’”
Subhanallah, pengadilan itu menjadi luapan syukur karena bertambahnya saudara baru dalam Islam dan iman. Meski baju besi itu dikembalikan kepada Ali, Ali justru memberikannya kepada mualaf tersebut. Ali juga memberinya uang tujuh ratus dirham sebagai hadiah. [Disarikan dari Qashashush Shalihin karya Mustafa Murad]
Bersamadakwa.com