Ilustrasi @ |
pkssiak.org - Ketika wilayah kekuasaan Islam bertambah luas pada masa Pemerintahan
Khalifah Umar bin Khaththab, birokrasi pun bertambah banyak; sering
adanya surat menyurat dengan wilayah-wilayah baru dan bahkan ke Romawi
dan Persia. Ditambah lagi adanya departemen-departemen yang mengatur
urusan pajak, zakat serta pemasukan Negara lainnya. Maka Sayyidina Umar
selaku pemimpin tertinggi merasa perlu kepada penanggalan yang akurat.
Sahabat Abu Musa Asy’ari yang menjabat sebagai Gubernur di salah satu
wilayah Islam mengirim surat kepada Amirul Mukminin, “Anda mengirim
surat kepada kami, tapi tanpa tanggal dan bulan.” Diriwayatkan bahwa
sebuah surat sampai kepada Amirul Mukminin bertanggalkan “Bulan
Sya’ban”, beliau bertanya, “Sya’ban kapan ini? Sekarang, yang sudah
lewat atau yang akan datang?” Khalifah pun kembali bermusyawarah dengan
para sahabat lainnya untuk mencari solusi.
Seorang hadirin mengatakan, “Buatlah penanggalan yang bagus, seperti
orang Romawi dan Persia, mereka menulis tanggal sekian bulan sekian dan
tahun sekian.”
Sebagian hadirin mengatakan, “Kita harus belajar dari cara orang
Persia.” Akhirnya, dipanggillah Hermazan, seorang Muslim dari Persia.
Hermazan menjelaskan bagaimana sistem penanggalan Romawi dan Persia.
Selepasnya, sebagian hadirin mengatakan, “Baiklah, gunakan saja
penanggalan Romawi.”
Sebagian yang lain mencegah, “Jangan, penanggalan Romawi terlalu lama.”
Sahut yang lainnya lagi, “Jika demikian, gunakan saja penanggalan
Persia.” “Wah, janganlah. Penanggalan Persia tidak jelas dan kurang
valid. Karena setiap mati seorang Kisra, pasti Kisra baru membuat
penanggalan baru lagi.”
Mereka pun belum mencapai kesepakatan untuk menggunakan sistem
penanggalan yang mana. Yang pasti, mereka sangat membutuhkan sebuah
sistem penanggalan yang bisa dijadikan sebagai acuan oleh seluruh
wilayah Propinsi dan departemen-departemen.
Kemudian, ada seorang yang mengusulkan, “Bagaimana kalau kita membuat
penanggalan sendiri? Kita memulai dari momen paling bersejarah dalam
agama kita. Misalnya, kelahiran atau wafatnya Nabi atau hijrah?”
Akhirnya mereka mimilih hijrah. Karena hijrah memiliki dampak yang luar
biasa terhadap Islam dan kaum Muslimin. Maka dimulailah penanggalan
Islam pada tahun hijrahnya Rasulullah dan dimulai tahun itu dengan bulan
Muharram. Karena pada bulan Muharram umat Islam kembali dari Haji.
Konsensus itu terjadi pada tahun 17 setelah hijrah.
Mereka pun memulai tahun hijriyah dengan bulan Muharram. Sedangkan
Rasulullah Saw hijrah pada bulan Rabiul Awwal. Jadi sebenarnya,
penghitungan awal tahun Hijriyah sudah dimulai sekitar 2 bulan sebelum
Rasulullah Saw sampai di Madinah. Sesuai dengan perhitungan tersebut,
maka 1 Muharram tahun 1 Hijriyah adalah hari kamis yang bertepatan
dengan hari kamis tanggal 15 Juli tahun 622 M. [Sumber: Al-Atsar
al-Baqiyyah, Muhammad bin Ahmad al-Khawarizmy, Leipzig, Germany, 1876,
dinukil dari Manhaj Tasyri Umar bin Khattab oleh Prof. Muhammad Baltajy]
Oleh: Ustadz Saief Alemdar [Damaskus]
[bersamadakwah.com]