Percik-percik Taubat
By: admin
Minggu, 19 Oktober 2014
0
pkssiak.org - Adalah Syaikh Mahmud al-Misri yang menuturkan dalam "Sa'atan Sa'atan"...
Seorang lelaki dari Riyadh, yang telah beristri dan memiliki seorang putri kecil, beberapa tahun terakhir terjerembab dalam kemaksiatan. Ia sering begadang hingga pagi di tempat-tempat hiburan. Ia tak lagi ke masjid, tidak pernah pula bersujud pada Allah. Nasihat dari sang istri diabaikannya.
Suatu hari, ketika jam dinding menunjuk angka tiga dini hari, ia pulang. Didapatinya sang istri dan putri kecilnya telah tertidur lelap. Lelaki itu menuju kamar sebelah dan menghabiskan sisa malam dengan menonton film porno. Ditutupnya pintu rapat-rapat. Jam tiga dini hari, waktu yang Allah janjikan akan diperkenankan segala pinta dan ampunan, oleh lelaki itu diisinya dengan kemaksiatan.
Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Putri kecilnya, yang belum genap lima tahun itu masuk. Ia pandangi wajah sang ayah. "Ayah," katanya pelan, tapi penuh harap, "jangan lakukan itu. Bertakwalah kepada Allah." Diulanginya kalimat sederhana itu tiga kali. "Ayah, jangan lakukan itu. Bertakwalah kepada Allah." Lelaki itu linglung. Kata-kata sang putri terus berulang dalam ingatannya. Bergegas ia susul sang putri, tapi ia dapati sang anak telah kembali tertidur.
Tak selang beberapa lama, adzan Subuh berkumandang. Entah apa yang menggerakkan, kaki lelaki itu melangkah ke tempat wudlu, lalu bergegas menuju masjid. Setelah shalat ia menangis. Itulah tangis pertama setelah tujuh tahun ia meninggalkan shalat. "Ayah, jangan lakukan itu. Bertakwalah kepada Allah." Kata-kata putri kecilnya kembali berulang. Ia kembali menangis.
Ia kembali pulang ke rumah, berkemas, lalu berangkat kerja. Ia sampai di kantor lebih awal dari teman-temannya. Semua orang heran dan bertanya-tanya, sebab biasanya, ia datang terlambat. Lelaki itu pun berkisah tentang kejadian semalam. "Alhamdulillah," kata teman-temannya, "Allah menundukanmu dengan putri kecilmu, bukan mengutus malaikat maut untukmu."
Ketika dhuhur tiba, lelaki itu menghabiskan waktu di masjid kantor. Lama sekali ia berdiam diri di sana. Setelah itu ia minta izin pada teman-temannya untuk pulang lebih awal. Ia rindu sekali pada istri dan putri kecilnya. Sesampai di rumah, sang istri telah berdiri di depan pintu. Matanya sembab, "Kamu dari mana saja?" tanya sang istri setengah berteriak. "Aku dari kantor saja," jawabnya.
"Kami terus menghubungimu, tapi tak pernah tersambung. Kamu dari mana saja?"
"Aku di masjid kantor," jawabnya penuh keheranan, "apa yang telah terjadi, istriku? Ada apa?"
Istrinya terdiam. Tangisnya membuncah. "Allah telah memanggil putri kita," jawab sang istri dengan terbata. Lelaki itu tak bisa menguasai dirinya. Ia menangis keras. Di depan jenazah putri kecilnya, ia tak bisa mengingat apa-apa, kecuali kata-kata sang putri semalam. "Ayah, jangan lakukan itu. Bertakwalah kepada Allah. Ayah, jangan lakukan itu. Bertakwalah kepada Allah."
Ketika jenazah kecil itu hendak dimakamkan, sang ayah turun ke liang. Direngkuhnya jasad putri kecilnya. "Hari ini," katanya, "aku tidak sedang mengubur putriku. Aku hanya mengubur cahaya yang telah menunjukkan jalan menuju Allah. Inilah putriku, inilah putriku, inilah putriku yang telah menjadi perantara hidayah Allah bagiku." Ia terdiam sesaat. Diletakkanlah putri kecilnya.
"Ya Allah, pertemukan kelak kami di surga. Pertemukan kelak kami di surga..."
***
Dari kisah di atas kita belajar satu hal; beruntunglah seseorang yang dosanya telah mengantarkan kepada Allah dengan jalan pertaubatan. Kerugian terberat bukanlah karena berkurangnya rezki; tapi beratnya seseorang dari beristighfar.
Beruntung pulalah bagi seseorang yang Allah masih menyayanginya dengan menutup banyak aibnya, lalu membuka pintu hidayah selebar-lebarnya bagi dirinya. Dengan jalan itu pulalah pintu surga dibentangkan untuknya. Semoga Allah memudahkan kita bertaubat.
Daarusalam,
Pojok Arafah 9
(Dwi Budiyanto)
[pkspiyungan.org]
Seorang lelaki dari Riyadh, yang telah beristri dan memiliki seorang putri kecil, beberapa tahun terakhir terjerembab dalam kemaksiatan. Ia sering begadang hingga pagi di tempat-tempat hiburan. Ia tak lagi ke masjid, tidak pernah pula bersujud pada Allah. Nasihat dari sang istri diabaikannya.
Suatu hari, ketika jam dinding menunjuk angka tiga dini hari, ia pulang. Didapatinya sang istri dan putri kecilnya telah tertidur lelap. Lelaki itu menuju kamar sebelah dan menghabiskan sisa malam dengan menonton film porno. Ditutupnya pintu rapat-rapat. Jam tiga dini hari, waktu yang Allah janjikan akan diperkenankan segala pinta dan ampunan, oleh lelaki itu diisinya dengan kemaksiatan.
Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Putri kecilnya, yang belum genap lima tahun itu masuk. Ia pandangi wajah sang ayah. "Ayah," katanya pelan, tapi penuh harap, "jangan lakukan itu. Bertakwalah kepada Allah." Diulanginya kalimat sederhana itu tiga kali. "Ayah, jangan lakukan itu. Bertakwalah kepada Allah." Lelaki itu linglung. Kata-kata sang putri terus berulang dalam ingatannya. Bergegas ia susul sang putri, tapi ia dapati sang anak telah kembali tertidur.
Tak selang beberapa lama, adzan Subuh berkumandang. Entah apa yang menggerakkan, kaki lelaki itu melangkah ke tempat wudlu, lalu bergegas menuju masjid. Setelah shalat ia menangis. Itulah tangis pertama setelah tujuh tahun ia meninggalkan shalat. "Ayah, jangan lakukan itu. Bertakwalah kepada Allah." Kata-kata putri kecilnya kembali berulang. Ia kembali menangis.
Ia kembali pulang ke rumah, berkemas, lalu berangkat kerja. Ia sampai di kantor lebih awal dari teman-temannya. Semua orang heran dan bertanya-tanya, sebab biasanya, ia datang terlambat. Lelaki itu pun berkisah tentang kejadian semalam. "Alhamdulillah," kata teman-temannya, "Allah menundukanmu dengan putri kecilmu, bukan mengutus malaikat maut untukmu."
Ketika dhuhur tiba, lelaki itu menghabiskan waktu di masjid kantor. Lama sekali ia berdiam diri di sana. Setelah itu ia minta izin pada teman-temannya untuk pulang lebih awal. Ia rindu sekali pada istri dan putri kecilnya. Sesampai di rumah, sang istri telah berdiri di depan pintu. Matanya sembab, "Kamu dari mana saja?" tanya sang istri setengah berteriak. "Aku dari kantor saja," jawabnya.
"Kami terus menghubungimu, tapi tak pernah tersambung. Kamu dari mana saja?"
"Aku di masjid kantor," jawabnya penuh keheranan, "apa yang telah terjadi, istriku? Ada apa?"
Istrinya terdiam. Tangisnya membuncah. "Allah telah memanggil putri kita," jawab sang istri dengan terbata. Lelaki itu tak bisa menguasai dirinya. Ia menangis keras. Di depan jenazah putri kecilnya, ia tak bisa mengingat apa-apa, kecuali kata-kata sang putri semalam. "Ayah, jangan lakukan itu. Bertakwalah kepada Allah. Ayah, jangan lakukan itu. Bertakwalah kepada Allah."
Ketika jenazah kecil itu hendak dimakamkan, sang ayah turun ke liang. Direngkuhnya jasad putri kecilnya. "Hari ini," katanya, "aku tidak sedang mengubur putriku. Aku hanya mengubur cahaya yang telah menunjukkan jalan menuju Allah. Inilah putriku, inilah putriku, inilah putriku yang telah menjadi perantara hidayah Allah bagiku." Ia terdiam sesaat. Diletakkanlah putri kecilnya.
"Ya Allah, pertemukan kelak kami di surga. Pertemukan kelak kami di surga..."
***
Dari kisah di atas kita belajar satu hal; beruntunglah seseorang yang dosanya telah mengantarkan kepada Allah dengan jalan pertaubatan. Kerugian terberat bukanlah karena berkurangnya rezki; tapi beratnya seseorang dari beristighfar.
Beruntung pulalah bagi seseorang yang Allah masih menyayanginya dengan menutup banyak aibnya, lalu membuka pintu hidayah selebar-lebarnya bagi dirinya. Dengan jalan itu pulalah pintu surga dibentangkan untuknya. Semoga Allah memudahkan kita bertaubat.
Daarusalam,
Pojok Arafah 9
(Dwi Budiyanto)
[pkspiyungan.org]
DPD PKS Siak - Download Android App