Darah itu Merah, Jenderal!
Jika di awal kemerdekaan bangsa Indonesia mengenal Soekarno sebagai seorang pahlawan super proklamasi dan revolusi, maka setelahnya bangsa ini mengenal Soeharto sebagai pahlawan super selanjutnya, yang ternyata merupakan anti tesis dari pahlawan sebelumnya. Saat itu, 30 September 1965, Soekarno yang pro Komunis dikudeta oleh anak asuhannya sendiri.
Penumpasan gerakan kudeta Partai Komunis itu melejitkan nama Soeharto, yang kemudian menenggelamkan Soekarno dengan Supersemar yang ia tandatangani sendiri.
Kemudian rezim Soeharto melalui MPR-S menelurkan Tap MPRS XXV/1966 tentang Pelarangan Penyebaran Ajaran Marxisme/Leninisme. Inilah aturan yang melarang segala bentuk kemunculan Komunisme di negeri ini. Dan sejak itulah, Komunis menjadi dosa besar tak terampuni, bahkan dibandingkan pelaku zina di kampung-kampung.
Dan bagi Anda yang masa kecilnya bahagia, saban tanggal 29 September malam akan menyaksikan film Pemberontakan G-30S/PKI yang legendaris itu. Sebuah propaganda apik dari sebuah rezim politik. Mungkin Anda ingat kalimat, "Darah itu merah, Jenderal!"
Komunis terus hidup meski tersengal-sengal di bawah tanah, menanti celah dimana ia dapat kembali tumbuh subur di antara petani dan buruh. Bahkan di awal reformasi yang menumbangkan Soeharto, orangorang berjiwa Komunis mendirikan Partai Rakyat Demokratik, yang kini bubar dan ketuanya menjadi anggota PDI Perjuangan.
Saat Presiden Abdurrahman Wahid mengusulkan untuk ‘menghidupkan’ Komunisme dengan mencabut Tap MPRS XXV/1966, jagat politik kembali hiruk. Sebagian orang mendukungnya, dan kebanyakan menolak. Komunis adalah sebuah sejarah kelam yang selalu menggunakan arit dan tetesan warna merah untuk mewujudkan tujuannya. Terlebih lagi, komunisme dan atheis seiring sejalan, berlawanan dengan bangsa Indonesia yang (konon) relijius.
Oknum-oknum PDI Perjuangan beberapa kali menyetujui pencabutan aturan yang melarang Komunis tersebut. Di antaranya sesepuh mereka, Frans Seda.
Sementara yang terbaru, Bambang Beathor Suryadi, saat kampanye Pilpres 2014 lalu juga mengusulkan hal serupa. “Hanya dengan mencabut TAP MPRS No XXV/ 1966, bangsa ini kembali “mampu” membentengi bangsa, negara dan rakyat dari rongrongan ideologi dan maksud bangsa lain,” ungkapnya.
Selain itu, juga ada Musdah Mulia, tokoh liberal ini di depan publik menjanjikan pencabutan aturan tersebut. Hal itu disampaikannya saat menjadi juru kampanye.
Pada masa presiden Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, isu pencabutan Tap MPRS XXV/1966 hampir tidak ada. Namun, beberapa manuver partai pemenang pemilu saat ini yang “belajar” ke Partai Komunis China memberikan kekhawatiran tersendiri bagi saya. Terlebih lagi kader-kader Sosialis atau Kiri (biasanya sepemikiran Komunis) memang ada banyak partai tersebut. Termasuk juga yang selama ini aktif dalam pergerakan Kiri, di luar partai, yang kemarin menjadi pembela sejati sang tokoh calon presiden.
Perkiraan saya, isu yang akan digunakan untuk membuka keran formal Komunisme adalah hak kebebasan apapun dalam demokrasi. Oleh karena itu, belajar dari berbagai negara yang berhasil menumpas Komunisme, obat terbaik dalam mencegah penularan dan perkembangan Komunis di sebuah negara adalah agama bagi ummatnya, apapun itu. Baik itu dari sisi fikriyah, ruhaniyah, maupun maliyah.
(Abu Saif Kuncoro Jati)
Sumber pkspiyungan.org