Logika Terbalik Baca Angka Prabowo Soal Kebocoran
By: admin
Minggu, 22 Juni 2014
0
pkssiak.org, Jakarta
- Tidak benar bahwa sinyalemen Capres Prabowo Subianto soal kebocoran
Rp7.200 triliun adalah kesalahan. Kritik yang muncul adalah akibat cara
membaca terhadap potensi kehilangan pajak, royalti dan sumber daya
ekonomi lainnya yang berlangsung sejak era Orde Baru sampai era
reformasi hari ini. Mengapa demikian?
Tidak ada yang salah, kecuali beda penafsiran dan cara membaca. Sinyalemen atau pandangan Prabowo itu sebaiknya tidak dibaca dengan logika terbalik dengan sekadar utak-atik. Substansinya sama bahwa potensi kehilangan pajak, royalti, sumberdaya migas dan sebagainya, sangat tinggi mencapai ribuan trilyun rupiah. Mari mendiagnosa persoalannya.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Matta menepis ucapan atau sinyalemen Capres Prabowo Subianto soal kebocoran Rp 7.200 triliun adalah kesalahan. Itu soal cara membaca yang berbeda.
"Itu potensi kebocoran yang disebutkan Prabowo. Asumsinya adalah, negara bisa mendapatkan pendapatan sebesar itu. Tapi selama ini tidak masuk karena persoalan regulasi dan seterusnya," kata Anis."Saya kira bukan kesalahan data. Cara bacanya saja," tandas Anis Matta, Rabu (18/6).
Pada debat presiden akhir pekan lalu, Prabowo mengutip data KPK soal kebocoran anggaran Rp 7.200 triliun. Dalam perhitungan Ketua KPK Abraham Samad, potensi pendapatan negara sebesar Rp 7.200 triliun hilang. Bila ditotal, kata Samad, pajak dan royalti yang dibayarkan dari blok migas, batubara, dan nikel di setiap tahunnya dapat mencapai Rp20.000 triliun.
''Hal ini sebaiknya tidak dibaca dengan logika terbalik, sebab akan menimbulkan salah persepsi dan prasangka negatif, padahal itu soal cara membaca data,'' kata pengamat ekonomi-politik Nehemia Lawalata yang juga mantan Sekretaris Politik Prof Sumitro Djojohadikusumo.
Namun, pendapatan sebesar itu tergerus karena pemerintah tidak tegas dalam regulasi dan kebijakan. “Memang bukan kebocoran tapi potensi penerimaan, yang seharusnya bisa didapat itu jadi tidak didapat, beda dengan kebocoran," kata Samad saat ditanya terkait pernyataan Prabowo soal kebocoran uang negara.
Abraham Samad mengaku prihatin dengan banyaknya potensi pemasukan negara yang hilang akibat kebijakan pemerintah yang tak jelas. Untuk itu, ia mengajak seluruh elemen masyarakat bersama-sama dengan KPK bergerak secara progresif memberantas korupsi.
Selain mengenai impor pangan yang tak jelas, Samad juga menyoroti lemahnya regulasi untuk melindungi sumber daya energi Indonesia. Ia mengatakan, dari 45 blok minyak dan gas (migas) yang saat ini beroperasi di Indonesia, sekitar 70 persen di antaranya dikuasai oleh kepemilikan asing.
Secara terpisah, Ir Tjatur Sapto Edy, Wakil Ketua Komisi Hukum DPR RI, juga menuturkan angka Rp7.200 triliun merupakan estimasi dari kebocoran kekayaan negara yang dikelola dengan tidak hati-hati. Menurut dia, sejak pemerintahan SBY, upaya mencegah kebocoran kekayaan negara mulai dilakukan.
"Itu kebocoran sejak jaman Orde Baru hingga sebelum SBY melalui kontrak-kontrak migas. Kini mereka yang teriak, mereka pula yang bikin kontrak dan bikin negara rugi," tegas Tjatur.
Atas semua potensi kerugian negara itu, dalam Rakernas PDI Perjuangan yang lalu, Abraham Samad mendorong agar pemerintah menasionalisasikan semua blok migas dan potensi sumber daya alam yang kini dikuasai oleh asing. Ia juga mendesak pemerintah memperketat izin pada pengusaha tambang dan harus patuh pada pembayaran royalti serta pajak menyusul adanya rencana membuka 144 sumur migas baru di Indonesia pada 2013. Supaya tak ada lagi anak putus sekolah, supaya Indonesia kembali ke kejayaannya.
Dengan kata lain, substansi sinyalemen Prabowo dalam Debat Capres kemarin, sangat kena dan berbagai pihak yang berseberangan berusaha membelokkannya dengan cara sedemikian rupa. “Sekali lagi, itu perbedaan dalam soal cara membacanya,” ujar Anis Matta, Presiden PKS.
Oleh sebab itu, di mata publik, secara makro Prabowo tetap sangat kuat dalam soal visi-misi dibandingkan Jokowi yang lebih fokus pada soal mikro. Tidak ada gunanya saling berbantah dan berdebat soal sinyalemen Prabowo, sebab substansinya lebih esensial ketimbang sekadar angka faktualnya.
“Sehingga ke depan, kita membutuhkan kepemimpinan baru yang lebih cerdas, kuat, visioner, kredibel, promising and inspiring, dan Prabowo sudah membersitkan hal-hal itu,” kata Al Chaidar, pengamat politik dan akademisi Universitas Malikussaleh, Aceh.
Artinya, Indonesia di mata Prabowo dan rakyat kita, sesungguhnya memiliki potensi penerimaan negara yang sangat tinggi, ribuan trilyun, namun akibat salah urus atau salah kelola, potensi itu hilang percuma. [inilahcom/berbagai sumber]
Tidak ada yang salah, kecuali beda penafsiran dan cara membaca. Sinyalemen atau pandangan Prabowo itu sebaiknya tidak dibaca dengan logika terbalik dengan sekadar utak-atik. Substansinya sama bahwa potensi kehilangan pajak, royalti, sumberdaya migas dan sebagainya, sangat tinggi mencapai ribuan trilyun rupiah. Mari mendiagnosa persoalannya.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Matta menepis ucapan atau sinyalemen Capres Prabowo Subianto soal kebocoran Rp 7.200 triliun adalah kesalahan. Itu soal cara membaca yang berbeda.
"Itu potensi kebocoran yang disebutkan Prabowo. Asumsinya adalah, negara bisa mendapatkan pendapatan sebesar itu. Tapi selama ini tidak masuk karena persoalan regulasi dan seterusnya," kata Anis."Saya kira bukan kesalahan data. Cara bacanya saja," tandas Anis Matta, Rabu (18/6).
Pada debat presiden akhir pekan lalu, Prabowo mengutip data KPK soal kebocoran anggaran Rp 7.200 triliun. Dalam perhitungan Ketua KPK Abraham Samad, potensi pendapatan negara sebesar Rp 7.200 triliun hilang. Bila ditotal, kata Samad, pajak dan royalti yang dibayarkan dari blok migas, batubara, dan nikel di setiap tahunnya dapat mencapai Rp20.000 triliun.
''Hal ini sebaiknya tidak dibaca dengan logika terbalik, sebab akan menimbulkan salah persepsi dan prasangka negatif, padahal itu soal cara membaca data,'' kata pengamat ekonomi-politik Nehemia Lawalata yang juga mantan Sekretaris Politik Prof Sumitro Djojohadikusumo.
Namun, pendapatan sebesar itu tergerus karena pemerintah tidak tegas dalam regulasi dan kebijakan. “Memang bukan kebocoran tapi potensi penerimaan, yang seharusnya bisa didapat itu jadi tidak didapat, beda dengan kebocoran," kata Samad saat ditanya terkait pernyataan Prabowo soal kebocoran uang negara.
Abraham Samad mengaku prihatin dengan banyaknya potensi pemasukan negara yang hilang akibat kebijakan pemerintah yang tak jelas. Untuk itu, ia mengajak seluruh elemen masyarakat bersama-sama dengan KPK bergerak secara progresif memberantas korupsi.
Selain mengenai impor pangan yang tak jelas, Samad juga menyoroti lemahnya regulasi untuk melindungi sumber daya energi Indonesia. Ia mengatakan, dari 45 blok minyak dan gas (migas) yang saat ini beroperasi di Indonesia, sekitar 70 persen di antaranya dikuasai oleh kepemilikan asing.
Secara terpisah, Ir Tjatur Sapto Edy, Wakil Ketua Komisi Hukum DPR RI, juga menuturkan angka Rp7.200 triliun merupakan estimasi dari kebocoran kekayaan negara yang dikelola dengan tidak hati-hati. Menurut dia, sejak pemerintahan SBY, upaya mencegah kebocoran kekayaan negara mulai dilakukan.
"Itu kebocoran sejak jaman Orde Baru hingga sebelum SBY melalui kontrak-kontrak migas. Kini mereka yang teriak, mereka pula yang bikin kontrak dan bikin negara rugi," tegas Tjatur.
Atas semua potensi kerugian negara itu, dalam Rakernas PDI Perjuangan yang lalu, Abraham Samad mendorong agar pemerintah menasionalisasikan semua blok migas dan potensi sumber daya alam yang kini dikuasai oleh asing. Ia juga mendesak pemerintah memperketat izin pada pengusaha tambang dan harus patuh pada pembayaran royalti serta pajak menyusul adanya rencana membuka 144 sumur migas baru di Indonesia pada 2013. Supaya tak ada lagi anak putus sekolah, supaya Indonesia kembali ke kejayaannya.
Dengan kata lain, substansi sinyalemen Prabowo dalam Debat Capres kemarin, sangat kena dan berbagai pihak yang berseberangan berusaha membelokkannya dengan cara sedemikian rupa. “Sekali lagi, itu perbedaan dalam soal cara membacanya,” ujar Anis Matta, Presiden PKS.
Oleh sebab itu, di mata publik, secara makro Prabowo tetap sangat kuat dalam soal visi-misi dibandingkan Jokowi yang lebih fokus pada soal mikro. Tidak ada gunanya saling berbantah dan berdebat soal sinyalemen Prabowo, sebab substansinya lebih esensial ketimbang sekadar angka faktualnya.
“Sehingga ke depan, kita membutuhkan kepemimpinan baru yang lebih cerdas, kuat, visioner, kredibel, promising and inspiring, dan Prabowo sudah membersitkan hal-hal itu,” kata Al Chaidar, pengamat politik dan akademisi Universitas Malikussaleh, Aceh.
Artinya, Indonesia di mata Prabowo dan rakyat kita, sesungguhnya memiliki potensi penerimaan negara yang sangat tinggi, ribuan trilyun, namun akibat salah urus atau salah kelola, potensi itu hilang percuma. [inilahcom/berbagai sumber]
DPD PKS Siak - Download Android App