Jokowi Itu Terlalu Baik
By: admin
Senin, 09 Juni 2014
0
Saya pernah ngobrol-ngobrol dengan teman seorang jurnalis muslim yang tergabung di Jurnalis Islam Bersatu yang mengtahui peta media di Indonesia. Dia bilang begini, “Semua orang media sudah mengetahui. Dia dipersiapkan oleh media untuk menjadi Presiden, soft campaign. Sejak di Solo, dia hanya orang lugu saja yang tidak tahu. Makanya ketika Pemilukada Jakarta kita tidak memilihnya. Karena kita yakin, usia jabatannya tidak akan sampai 5 tahun.”
“Kok tahu?”
“Ya iyalah. Kita sudah mengetahui planning tim sukses di balik layarnya.”
“Setiap yang ditampilkan di TV itu, ada dapur olahannya. Bersyukur kita sedikit mengetahui cara olahannya di dapur. Banyak memakai bahan pemanis dan pewarna buatan yang berlebihan. Makanya, nggak kita makan.”
Rasanya beda, enak banget. Eh, jangan-jangan pakai penyedap berlebihan. Tahan lama ya? Tidak cepat basi. Jangan-jangan memakai formalin. Warnanya bagus, cerah, tidak kusam. Mungkin memekai pewarna tekstil.
Kalau membeli sayur, jangan memilih yang terlalu bagus. Mungkin menggunakan pestisida dan pupuk kimia berlebihan. Pilih saja yang agak kena ulat.
Terlalu murah, jangan-jangan curian atau imitasi. Terlalu menggiurkan, jangan-jangan terjebak investasi bodong.
Baru masuk got saja, wartawan berdesak-desakan memotret. Pejabat lain yang biasa ikut kerja bakti sungguhan, bahkan ikut mengevakuasi mayat-mayat korban tsunami, sepi dari liputan. Mengembalikan gitar ke KPK, heboh bukan main. Mengembalikan mobil dan uang miliaran, sepi-sepi saja. Blusukan, merakyat, sederhana, menjadi buah bibir, dipuja-puja media. Mengapa ada saja kebaikannya yang diblow up besar-besaran?
Jangan remehkan keganjilan. Meski tak seberapa. Bisa jadi, ada sesuatu yang besar di baliknya. Apa yang tak wajar, kemungkinan ada problem di baliknya. Ada yang tersembunyi. Tampil memukau, mungkin untuk memperdaya.
Tak harus curiga. Tapi waspada. Tak dibuat-buat, tapi apa adanya. Wajar. Bukan rekayasa. Daripada hebat, tapi akting.
Kita hanya manusia biasa. Banyak hal yang tidak kita ketahui dalam kehidupan. Kita bisa terkecoh, salah dalam menganalisa dan keliru dalam mengambil keputusan. Tetapi, kita mempunyai hati. Agar menggunakan akal sehat semaksimal mungkin. Tak menerima begitu saja. Mencermati proses di dapurnya. Berorientasi pada substansi, bukan kemasan belaka.
Meski bukan yang terbaik, tetapi yang paling tepat. Tak fantastis, tapi realistis. Dengan apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Berpikir ulang akan risiko. Karena Jokowi itu terlalu baik. Sehingga membuat saya ragu memilih produk tersebut.
Oleh: MJokowi Itu Terlalu Baik
Dari seorang teman di Facebook, mungkin selama ini sedikit-sedikit kita sudah merasakannya sendiri, keganjilan-keganjilan dalam kehidupan ini. Tak sepele, menyangkut persoalan kita-kita seluruh bangsa.
Saya pernah ngobrol-ngobrol dengan teman seorang jurnalis muslim yang tergabung di Jurnalis Islam Bersatu yang mengtahui peta media di Indonesia. Dia bilang begini, “Semua orang media sudah mengetahui. Dia dipersiapkan oleh media untuk menjadi Presiden, soft campaign. Sejak di Solo, dia hanya orang lugu saja yang tidak tahu. Makanya ketika Pemilukada Jakarta kita tidak memilihnya. Karena kita yakin, usia jabatannya tidak akan sampai 5 tahun.”
“Kok tahu?”
“Ya iyalah. Kita sudah mengetahui planning tim sukses di balik layarnya.”
“Setiap yang ditampilkan di TV itu, ada dapur olahannya. Bersyukur kita sedikit mengetahui cara olahannya di dapur. Banyak memakai bahan pemanis dan pewarna buatan yang berlebihan. Makanya, nggak kita makan.”
Rasanya beda, enak banget. Eh, jangan-jangan pakai penyedap berlebihan. Tahan lama ya? Tidak cepat basi. Jangan-jangan memakai formalin. Warnanya bagus, cerah, tidak kusam. Mungkin memekai pewarna tekstil.
Kalau membeli sayur, jangan memilih yang terlalu bagus. Mungkin menggunakan pestisida dan pupuk kimia berlebihan. Pilih saja yang agak kena ulat.
Terlalu murah, jangan-jangan curian atau imitasi. Terlalu menggiurkan, jangan-jangan terjebak investasi bodong.
Baru masuk got saja, wartawan berdesak-desakan memotret. Pejabat lain yang biasa ikut kerja bakti sungguhan, bahkan ikut mengevakuasi mayat-mayat korban tsunami, sepi dari liputan. Mengembalikan gitar ke KPK, heboh bukan main. Mengembalikan mobil dan uang miliaran, sepi-sepi saja. Blusukan, merakyat, sederhana, menjadi buah bibir, dipuja-puja media. Mengapa ada saja kebaikannya yang diblow up besar-besaran?
Jangan remehkan keganjilan. Meski tak seberapa. Bisa jadi, ada sesuatu yang besar di baliknya. Apa yang tak wajar, kemungkinan ada problem di baliknya. Ada yang tersembunyi. Tampil memukau, mungkin untuk memperdaya.
Tak harus curiga. Tapi waspada. Tak dibuat-buat, tapi apa adanya. Wajar. Bukan rekayasa. Daripada hebat, tapi akting.
Kita hanya manusia biasa. Banyak hal yang tidak kita ketahui dalam kehidupan. Kita bisa terkecoh, salah dalam menganalisa dan keliru dalam mengambil keputusan. Tetapi, kita mempunyai hati. Agar menggunakan akal sehat semaksimal mungkin. Tak menerima begitu saja. Mencermati proses di dapurnya. Berorientasi pada substansi, bukan kemasan belaka.
Meski bukan yang terbaik, tetapi yang paling tepat. Tak fantastis, tapi realistis. Dengan apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Berpikir ulang akan risiko. Karena Jokowi itu terlalu baik. Sehingga membuat saya ragu memilih produk tersebut.
Oleh: Muhammad Fauzi
Dakwatuna
DPD PKS Siak - Download Android App