Select Menu

Iklan 1080x90

SaintekSIROH

PKS BERKHIDMAT UNTUK RAKYAT

BERITA SIAK

FIQIH

SIROH

Kesehatan

Saintek

Video Pilihan

» » » Pilpres 2014 dan Syria (Part 1) | Oleh: Larasmoyo

Pilpres 2014 dan Syria (Part 1) | Oleh: Larasmoyo


By: admin Minggu, 04 Mei 2014 0


pkssiak.org - Begitu membumbung harapan umat Islam ketika partai-partai berbasis massa islam bertemu di Cikini beberapa waktu lalu. Terbayang persatuan dan kesatuan umat yang selama ini dirindukan kaum muslimin Indonesia, yang diutarakan pula oleh para ulama MIUMI, MUI, FUI dan minimal 66 ormas muslim lainnya dari Aceh hingga Papua, bisa terwujud. 

Namun, inilah potret perpolitikan Indonesia tahun 2014 ini, meski koalisi Islam ini memiliki  jumlah suara 31%, apa daya dirinya masih belum memiliki keberanian untuk tampil heroik mengusung mimpi kaum muslim agar memiliki capres sendiri.

Bukan hal yang mudah memang jika idealisme harus dihadapkan pada kenyataan. Lalu reaksi apa yang bisa dilakukan? Pasrah mengikuti arus pusaran besar, atau "bete" lalu keluar sekalian dari arena pertarungan sambil  menebar sumpah serapah sepanjang jalan dan berujung pada pembuatan partai baru yang akhirnya jatuh pada kubangan yang sama?

Saya rasa selama akal masih di kandung badan, ada metoda lain yang bisa digunakan untuk men-dzahir-kan idealisme yang Allah janjikan terwujud di muka bumi.

"Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)," QS. Al- Qashash 28:5

Bagai bola salju yang menggelinding semakin kencang, para pemimpin koalisi semakin hari semakin leluasa memperebutkan suara umat Islam Indonesia. Sah-sah saja, karena mereka memiliki total 50% suara pileg 2014 saat ini.

Namun, yang perlu dicatat oleh para pemangku partai berbasis Islam adalah harapan sejati konstituennya tidak pernah padam. Harapan terangkatnya dari status tertindas menjadi pemimpin yang akan mewarisi bumi, inilah kemenangan sejati yang selalu diidam-idamkan umat muslim di manapun berada.

Apakah hal ini mereka perjuangkan? Disinilah, tugas rakyat dan konstituen adalah mengingatkan, karena bagaimanapun suara rakyat sangat menentukan dewasa ini. Barangkali benar bahwa vox populi vox dei, tapi yang jelas vox populi bukan vox partai pada pilpres nanti.

Dialektika elitisme sering disebarkan dan diluaskan untuk menentukan peta perpolitikan Indonesia. Dikotomi Islam-nasionalis, militer-sipil, wong cilik-wong intelek, orang Jawa-bukan Jawa adalah jargon-jargon yang paling sering digunakan para peserta untuk membranding jagoan tertentu, lalu menekan lawan ataupun membujuk kawan politik dalam membentuk line-up koalisi. 


Hal seperti ini rawan digunakan oleh pihak pemenang untuk mendikte pihak lainnya. Memang mungkin saja branding seperti ini mengganggu elektabitas pihak pemenang pemilu, namun bagi pihak yang kalah hal seperti ini malah bisa menenggelamkannya ke tingkat yang lebih dalam lagi. Mengapa? Branding yang dimiliki pihak kecil akan diasosiasikan dengan kekalahan dan hanya akan membuat dirinya tidak percaya diri dalam bargaining. Seperti halnya istilah "saudara tua" yang digunakan Jepang ketika memasuki  Indonesia, tanpa sadar menumbuhkan pemikiran bahwa bangsa Indonesia adalah saudara kecil yang masih harus diasuh kakaknya, sehingga wajar kalau rakyat Indonesia tidak resisten saat itu.

Ashobiyah, atau elitisme dalam zero sum-game sejatinya hanya akan melahirkan pihak pemenang sebagai strata masyarakat predator dan masyarakat umum sebagai korbannya. Sungguh, hal ini sangat tidak kita inginkan terjadi sebagai akibat pemilu 2014.

Koalisi Islam bernada Indonesia Raya sudah coba digelar untuk menghasilkan koalisi terbesar dalam pemilu 2014. Lalu, adakah nuansa elitisme di dalam pembentukannya?

Saya khawatir ya, dikotomi Islamis-nasionalis, militer-sipil (bahkan terakhir islamis-militer) tak terelakkan untuk tampil ke dalam wacana lining up. Wajar memang, dan itu indah jika bisa diharmonikan. Namun, ingat sejarah  Rasulullah, dipersaudarakannya kaum Muhajirin dan Anshar itu bukanlah atas dasar kesukuan Makkiyah-Yatsribiyah yang rawan membuat senioritas di dalam masyarakat, namun lebih karena nasib tugas yang sedang dialami oleh masing-masing pihak saat itu, dan ini lebih egaliter. Muhajirin berarti yang berpindah, Anshor berarti yang membantu, so... antara yang berpindah dan yang membantu membentuk sebuah simbiosis mutualisma yang sangat indah bukan?

Dalam pembentukan pemerintahan ke depan memang sebaiknya dikotomi elitisme atau ashobiyah harus mulai diganti dengan dikotomi "kesejajaran nasib tugas" yang lebih mencerahkan. Misalnya agen perubahan dan pihak fasilitator (agent of change & promotor). Di sini, pembagian peran atas dasar egalitarianisme akan melahirkan sikap "trust each other" yang sangat kuat, dan ini akan menjadi fondasi yang kuat dalam melaksanakan program- program pembangunan. Perasaan kesejajaran nasib pada pelaksana pemerintah ini pun akan menjamin terbentuknya mental mengabdi kepada masyarakat luas (atau Hizmet menurut orang Turki), dan bukan mengabdi pada elite  tertentu saja seperti yang dihasilkan oleh budaya ashobiyah. Mudah-mudahan ini bisa jadi input bermanfaat bagi tim pengkaji koalisi.

Oleh: Larasmoyo
Pemerhati Dunia Islam


DPD PKS Siak - Download Android App


«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama
0 Comments
Tweets
Komentar