Select Menu

Iklan 1080x90

SaintekSIROH

PKS BERKHIDMAT UNTUK RAKYAT

BERITA SIAK

FIQIH

SIROH

Kesehatan

Saintek

Video Pilihan

» » Para Da’i Harus Membumi!

Para Da’i Harus Membumi!


By: admin Minggu, 18 Mei 2014 0

kabah


Oleh: M. Indra Kurniawan, S.Ag.

pkssiak.org - Diantara misi gerakan dakwah Islam adalah mewujudkan kehidupan dan masyarakat islam yang rahmatan lil ‘alamin. Kehidupan islami yang dicita-citakan oleh dakwah adalah kehidupan yang merujuk kepada nilai-nilai alqur’an dan sunnah; sedangakan masyarakat islami yang hendak diwujudkannya adalah masyarakat yang berafiliasi secara ideologi kepada Islam; melaksanakan semua fardhu ‘ain di dalam keseharian mereka; dan menjaga diri dari dosa-dosa besar.

Untuk menggapai cita-cita dakwah ini, langkah pertama yang tidak bisa ditawar-tawar lagi yang harus dilakukan para da’i adalah hudzur wa dzuhur—hadir dan eksis—di tengah-tengah masyarakat.

Allah Ta’ala berfirman,
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah” (Q.S. Al-Muddatstsir: 1 – 4).
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (Q.S. Al-Hijr: 94).

Interaksi Sosial, Keniscayaan bagi Para Da’i
Para da’i harus melakukan interaksi sosial. Mereka tidak boleh terputus dari masyarakat, berdiam diri, atau mengisolasi dakwah hanya di kalangan terbatas karena takut munculnya resiko atau ujian.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي لاَيُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar menghadapi gangguan mereka itu lebih besar ganjarannya dari orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar menghadapi gangguan mereka,” ( Diriwayatkan oleh Tirmidzi, Al-Bukhari, Ahmad, dan Abu Nuaim).

Dalam kajian sosiologi disebutkan, interaksi sosial tidak mungkin terjadi tanpa adanya dua syarat, yaitu kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial artinya, ada hubungan yang terjalin di antara individu atau komunitas, sedangkan komunikasi artinya, ada kegiatan saling menafsirkan perilaku (pembicaraan, gerakan-gerakan fisik, atau sikap) dan perasaan-perasaan yang disampaikan.

Oleh karena itu, para da’i tidak boleh hanya berkutat di meja-meja rapat; tidak boleh merasa puas hanya dengan beramal sosial tanpa ditindaklanjuti dengan menjalin hubungan dan komunikasi yang intensif; tidak boleh bersikap eksklusif dan elitis.

Dakwah harus mampu memasuki setiap celah kehidupan sosial masyarakat. Para da’i harus hidup menyatu dengan masyarakat, bukan hidup terisolir. Mereka mau mendengarkan keluhan dan berusaha berkontribusi memecahkan problem mereka. Para da’i hendaknya gembira dan bersedih, tertawa dan menangis bersama masyarakat. Sehingga sikap masyarakat menjadi implementasi dari sikapnya. Kemarahan masyarakat adalah kemarahan para da’i. Masyarakat senang dengan senangnya para da’i. Mereka menghargai jerih payah para da’i dan turut melindungi dakwah.

Hubungan Sosial
Para da’i harus mampu menjalin hubungan sosial dengan lingkungan sekitarnya secara luas dan terbuka; mampu menunaikan hak-hak sosial secara baik dan proporsional tanpa tersekat oleh perbedaan ras, etnis, kultur, ideologi, mazhab, dan agama sekalipun.

Hubungan sosialnya dengan sesama muslim secara praktis tergambar dalam hadits-hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berikut,  
Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada enam; (1) bila kamu bertemu dengannya maka ucapkan salam kepadanya, (2) bila kamu diundang maka penuhilah undangannya, (3) bila ia minta nasehat kepadamu maka nasihatilah dia, (4) bila ia bersin dan membaca alhamdulillah maka doakanlah dia dengan mengucap yarhamukallah, (5) bila ia sakit maka jenguklah dan (6) bila ia meninggal maka antarkanlah jenazahnya sampai kepekuburan “. (H.R. Muslim).

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Belalah saudaramu yang zhalim atau yang dizhalimi,” Lalu berkata   seorang laki-laki, “Ya Rasulullah, saya membelanya jika ia dizhalimi, tapi bagaimana saya membelanya jika ia yang menzhalimi?”Rasul menjawab, “Kamu cegah dia dari berbuat zhalim, dengan demikian kamu telah membelanya“. (H.R.Bukhori)

“Seorang mu’min dengan mu’min yang lain bagaikan satu bangunan, satu dengan yang lain saling memperkuat“. (H.R.Bukhori dan Muslim).

Seorang muslim adalah orang yang tidak mengganggu kaum muslimin dengan   lidah (kata-kata) dan tangan (perbuatan) nya, dan seorang mu’min adalah orang yang memberikan jaminan keamanan terhadap nyawa dan harta orang lain“. (H.R.Tirmidzi dan Nasa-i.)

Seorang muslim bersaudara dengan muslim yang lain, maka ia tidak boleh     mengkhianati, mendustai dan menjadikannya hina, setiap muslim atas muslim yang lain baginya haram kehormatan, harta dan darah (nyawa) nya, taqwa ada di siniRasulullah mengisyaratkan tangan ke dadanya/hati—sudah cukup keburukan bagi seseorang dengan menghina saudaranya yang muslim“. (H.R.Tirmidzi).

Sedangkan hubungan sosialnya dengan non muslim dijiwai oleh firman Allah Ta’ala berikut ini,
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Mumtahanah: 8 – 9).

Ayat di atas telah merangkum dua perkara: berbuat baik dan adil. Kedua hal tersebut di tuntut dari setiap muslim—terlebih lagi seorang da’i—dalam bersikap kepada semua manusia meskipun mereka kafir, selama mereka tidak menantang dan memerangi kaum muslimin karena urusan agama, tidak mengusir mereka dari kampung halaman, dan tidak terlihat hendak mengusir mereka. Maka Allah tidak melarang untuk berbuat baik dan adil kepada mereka.

Adil adalah hendaknya kita memberi hak kepada pemilik sesuatu tanpa mengurangi. Sementara berbuat baik adalah memberi lebih dari apa yang menjadi hak sebagai bentuk kebaikan dari kita.

Tentang berbuat baik dan berlaku adil yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala di atas, Syaikh Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar menjelaskan, “Kalian (kaum muslimin, red.) tidak dilarang untuk melakukan yang demikian itu, yakni an tabarruhum, berbuat kepada mereka dengan kebaikan, seperti: menjalin kasih sayang, baik dalam bertetangga, dan keramah-tamahan, wa tuqshithu ilaihim, dan berbuat adil dalam urusan antara kalian dengan mereka, dengan memberikan bagi mereka yang haq, seperti: kesetiaan terhadap janji, menunaikan amanah, membayar dengan harga sesuai terhadap apa yang mereka jual tanpa mengurangi…” (lihat: Zubdatu At-Tafsir, hal. 549).

Dengan hubungan sosial yang rahmatan lil ‘alamin seperti ini, para da’i diharapkan dapat diterima dan dihargai oleh lingkungan sekitarnya. Mereka akan disikapi dengan sikap damai oleh siapa saja—kecuali oleh orang-orang ingkar dan dengki kepadanya.

Komunikasi Dakwah
Dalam interaksi sosial di tengah-tengah masyarakat, para da’i jangan sampai terjebak mengikuti trend di masyarakat kemudian lupa hal yang substantif. Para da’i tidak boleh lupa pada misinya untuk melakukan nasyrul fikrah (menyebarkan gagasan) dan nasyrul hidayah (menyebarkan petunjuk Allah dan rasul-Nya).
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan harus ada di antara kamu ummat (golongan) yang menyeru kepada kebajikan, memerintahkan yang ma’ruf [baik] dan mencegah dari yang munkar [buruk] dan mereka adalah orang-orang yang beruntung “. (Q.S. Ali ‘Imran:104)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Demi Allah, dengan usahamu Allah memberikan hidayah kepada seseorang itu lebih baik bagi kamu dari onta merah [harta yang paling berharga]“. (H.R.Bukhori dan Muslim).

Barang siapa yang menunjukkan orang lain kepada kebaikan maka baginya pahala seperti pahala orang yang melakukannya“. (H.R.Muslim).

Para da’i harus menyampaikan risalah dakwahnya secara terbuka kepada seluruh masyarakat, apa pun resikonya. Tentu saja dengan memperhatiakan metode yang diajarkan Allah Ta’ala,

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl: 125)

Beberapa kisah para nabi yang dilukiskan Al-Quran memberikan pelajaran bahwa mereka alaihimussalam, bergaul dengan umatnya dan menyampaikan dakwahnya secara terbuka.

Pertama, firman Allah tentang Nabi Nuh ‘alaihissalam. Nabi Nuh ‘alaihissalam berdakwah tak kenal frustasi. Siang dan malam, beliau selalu berupaya memperbaiki kaumnya dengan berbagai macam cara dan bersabar dengan resiko yang dihadapinya.

Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, namun seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam, aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya dia adalah Maha Pengampun-, niscaya dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?’” (Q.S. Nuh: 5 – 13).

Dalam kondisi masyarakat yang sangat apriori terhadap dakwah, Nabi Nuh berdakwah secara rahasia. Kemudian berdakwah secara terang-terangan. Dilanjutkan pula dengan memadukan cara berdakwah secara terang-terangan dan rahasia. Namun, kerahasiaan dakwah yang dilakukan Nabi Nuh tidak berarti hubungan dakwah dengan masyarakat umum terabaikan. Beliau tetap serius mengajak mereka untuk memohon ampun kepada Allah dan mengingatkan mereka terhadap berbagai nikmat yang Allah berikan.

Kedua, Al-Qur’an juga memaparkan kisah dakwah Nabi Ibrahim. Ia sampaikan seruan tauhid kepada masyarakatnya dengan argumentasi yang kuat dan logika yang jelas.

“Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.” (Q.S. Al-Anbiya: 58)

“Mereka bertanya: ‘Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, Hai Ibrahim?’ Ibrahim menjawab: ‘Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara’. Maka mereka telah kembali kepada kesadaran dan lalu berkata: ‘Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)’, kemudian kepala mereka jadi tertunduk (lalu berkata): ‘Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.’ Ibrahim berkata: ‘Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?’” (Q.S. Al-Anbiya: 62 – 66).

Ketiga, dakwah Nabi Musa dan Harun ‘alaihimassalam. Meskipun saat itu tantangan dakwah demikian berat, namun Allah tetap memerintahkan mereka untuk menyuarakan tauhid kepada Fir’aun la’natullah ‘alaih.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku (sebagai rasul). Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku; pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (Q.S. Thaha: 41 – 44)

Kondisi berat yang melingkupi dakwah tauhid saat itu tercermin pada ungkapan Musa dan Harun ‘alaihimassalam pada ayat selanjutnya, “Berkatalah mereka berdua:’Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas.” (Q.S. Thaha: 45).

Jadi, hubungan sosial dengan lingkungan sekitar, jangan sampai membuat para da’i mencair. Lupa pada visi dan misi dakwah; lupa pada cita-cita dakwah; lupa pada idealisme dakwah. Pelajaran berharga tentang hal ini akan kita dapatkan lebih jelas dari kisah dakwah Yusuf alaihissalam.

Saat Yusuf dipenjara di Mesir, bersamanya masuk pula ke dalam penjara dua orang pemuda. Keduanya meminta kepada Yusuf untuk mentakwilkan mimpi mereka, “Sesungguhnya aku bermimpi memeras anggur.” dan yang lainnya berkata: “Sesungguhnya aku bermimpi membawa roti di atas kepalaku, sebahagiannya dimakan burung.” Dua orang pemuda itu adalah pelayan-pelayan raja; seorang pelayan yang mengurusi minuman raja dan yang seorang lagi tukang membuat roti.

Perhatikanlah bagaimana Yusuf memanfaatkan kesempatan itu untuk menyampaikan dakwahnya,
“Yusuf berkata: ‘Tidak disampaikan kepada kamu berdua makanan yang akan diberikan kepadamu melainkan aku telah dapat menerangkan jenis makanan itu, sebelum makanan itu sampai kepadamu. yang demikian itu adalah sebagian dari apa yang diajarkan kepadaku oleh Tuhanku. Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian.

Dan aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukurinya.

Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa

Apa yang kamu sembah selain Dia hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf: 37- 40).

Ayat ini menggambarkan kepiawaian Yusuf dalam berkomunikasi. Sayyid Qutb berkata, “Tampak sekali metode pembicaraan Yusuf yang halus dalam memasuki jiwa orang tersebut. Tampak pula kecerdasan dan kecerdikannya di dalam mengungkapkan kalimat yang halus dan lembut.”

Mula-mula Yusuf menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa dia akan mentakwilkan mimpi mereka karena Tuhannya telah mengajarinya ilmu. Namun dengan kepiawaiannya Yusuf mulai menggiring pembicaraan untuk mengenalkan ajaran tauhid yang diyakininya. Setelah seruannya selesai, barulah ia menjelaskan takwil mimpi yang diminta kedua temannya itu.

Sayyid Qutb kembali berkomentar, “Ini merupakan cara masuk yang halus…selangkah demi selangkah…penuh kehati-hatian dan lemah lembut…Kemudian ditanamkan ke dalam hati mereka lebih banyak dan lebih banyak lagi. Dan dijelaskanlah kepada mereka akidahnya dengan sejelas-jelasnya, disingkapkannya kerusakan akidah mereka dan kaum mereka, serta keburukan realitas kehidupan yang mereka jalani…”

Kisah Yusuf di atas mengajarkan kepada para da’i, bahwa dalam kondisi apa pun dakwah harus tetap dijalankan. Ayat-ayat di atas juga mengisyaratkan, bahwa para da’i harus memiliki visi yang jelas dalam dakwahnya; memiliki target dan memahami prioritas dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan para mad’u (objek dakwah).

Kisah Yusuf ini mengajarkan kepada para da’i untuk tidak terjebak atau membatasi diri pada tema-tema populis—yang disenangi masyarakat—dalam seruan dakwahnya, sementara lupa pada misi utama yang diembannya.

Kepeloporan dan Kontribusi Sosial
Interaksi sosial berupa kontak sosial dan komunikasi dakwah yang intensif, idealnya mampu mengarahkan para da’i pada penguasaan masyarakat. Oleh sebab itu, kepeloporan para da’i dalam kebaikan di tengah masyarakat menjadi tuntutan dakwah.

KH. Hilmi Aminuddin, dalam salah satu taujihnya menegaskan bahwa penguasaan masyarakat akan sangat tergantung pada tumbuhnya lima jenis kader dakwah di masyarakat: (1) al-khatib al-jamahiriy (khatib yang populis), (2) al-faqih al-sya’biy (seorang faqih yang memasyarakat), (3) al-amal at-ta’awuni al-khairiy (adanya aktivitas/amal sosial), (4) masyru’ al-iqtishadi as-sya’biy (upaya menumbuhkan ekonomi masyarakat kecil), (5) al-i’lam as-sya’biy (media dakwah yang memasyarakat).

Ini artinya, para kader dakwah harus membentuk diri dan mengambil peran lebih di tengah-tengah masyarakat. Para da’i hendaknya selalu berupaya melakukan kontak sosial yang positif, yang mengarah pada ri’ayah jamahiriyah (pemeliharaan masyarakat), yaitu: (1) ri’ayah mashalih ijtimaiyyah (memelihara kepentingan publik), (2) siyaghatu al-bina al-ijtima’i (membentuk bangunan sosial), dan (3) hallul qadhaya al-ijtima’i (memberi solusi atas problematika masyarakat).

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling baik adalah orang yang paling bermanfaat buat masyarakatnya“ (H.R.Al-Qodho’i).

Khatimah
Begitulah seharusnya para da’i. Begitulah idealnya seorang aktivis dakwah. Mereka harus menyadari bahwa siap berdakwah itu artinya siap berinteraksi sosial di tengah-tengah masyarakat; berdakwah itu artinya siap melakukan kontak sosial dan komunikasi dakwah kepada lingkungan sekitar. Para da’i harus menjalin hubungan sosial; menebarkan dakwah; dan menjadi pelopor kebaikan serta berkontribusi sosial secara berkelanjutan.

Dengan kata lain: Para da’i harus membumi!
Wallahu a’lam…

Maraji:
Antara Dakwah Massal dan Kaderisasi, Majalah Waqfah Tarbawiyah No. 3 Vol. 1, 1996.
Al-Mitsaq Al-Islamiy, Persatuan Ulama Islam Sedunia, Judul Terjemahan: 25 Prinsip Islam Moderat, Pusat Konsultasi Syariah, Jakarta Timur.
Zubdatu At-Tafsir, Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Darun Nafais, Yordania.
Aspek-Aspek Pertumbuhan Harakah Islamiyah, Hilmi Aminuddin, Pustaka Tarbiatuna, Jakarta, 2001.
Risalah Am Jamahiri 1423, DPP Partai Keadilan

[al-intima.com]


DPD PKS Siak - Download Android App


«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama
0 Comments
Tweets
Komentar