Mewaspadai Konglomerat Hitam di Pilpres
By: admin
Senin, 19 Mei 2014
0
pkssiak.org - Pemilihan
umum presiden (Pilpres) tinggal menghitung hari. Berbagai
langkah-langkah tentu dilakukan calon presiden (Capres) dan tim untuk
memenangkan pertarungan yang akan digelar 9 Juli 2014.
Segala
sesuatunya harus disiapkan, baik dukungan partai politik (Parpol) untuk
berkoalisi, tim yang solid dan terakhir adalah pundi-pundi. Rasanya ini
hal yang lumrah (mungkin) dalam pertarungan ini. Lalu adakah orang yang
nekat untuk mensponsori capres?
Bukan
rahasia umum lagi, kalangan pelaku usaha atau pemilik modal besar
sangat memengaruhi atau menentukan corak kehidupan bangsa ini. Hitam
putihnya wajah negara ikut ditentukan oleh sepak terjang komunitas elite
ekonomi tersebut.
Sebutan
lain elite ekonomi atau pelaku usaha itu adalah konglomerat. Memang,
seperti ramalan almarhum budayawan kenamaan Kuntowidjoyo pernah
menyampaikan prediksi tersebut. Konglomerat di negeri ini memegang kunci
strategis dalam memengaruhi potret kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa. Puluhan juta rakyat Indonesia menggantungkan kesejahteraan
ekonomi kepada mereka.
Namun,
karena perilaku konglomerat itu, khususnya yang terbilang konglomerat
hitam, wajah negeri ini juga centang-perenang, terlebih dalam dunia
hukum. Buramnya negara hukum tidak terlepas dari aksi dan andil
konglomerat hitam.
Buramnya
dunia hukum kita, minimal sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi ini,
tak lepas dari peran konglomerat hitam yang demikian jauh memasuki dunia
peradilan. Jumlah mereka memang tidak terhitung dan tidak bergelar
sarjana hukum. Tapi, sepak terjangnya mampu membiaskan atau
mengontaminasi bekerjanya idealisme hukum menjadi "hukum sekadar di atas
kertas".
Dalam
memberikan dukungan, para konglomerat hitam cenderung memilih calon
presiden dan wakilnya yang dianggap bisa melindungi kepentingannya di
kemudian hari.
Tahun
2004 lalu, Faisal Basri pernah menyampaikan, dari segi perspektif
konglomerat hitam, dalam menentukan pilihan calon presiden (capres),
mereka akan memilih pasangan yang secara efektif bisa melindungi
kepentingan-kepentingan mereka dan bisa melindungi segala sesuatu yang
telah mereka dapatkan agar bisa berlanjut pada proses yang lebih pasti.
Misalnya,
para konglomerat yang sudah mendapatkan surat bebas utang dari BPPN
(Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Dalam menentukan pilihan, mereka
juga akan melihat siapa kiranya yang akan iseng mengutak-atik
kepentingan mereka. Untuk menutup itu, mereka akan mendukung capres yang
mereka anggap iseng itu. Tapi, mereka juga akan menghitung lagi kans
menang capres itu, kata Faisal.
Dikatakan,
dilihat dari segi pro bisnis, yang ditakutkan para konglomerat hitam
adalah kebijakan-kebijakan yang nasionalistik, antipasar,
antiglobalisasi, dan sebagainya. Capres-capres yang mengumbar janji
terlalu banyak pada kepentingan tenaga kerja biasanya akan masuk daftar
hitam konglomerat hitam itu.
Teten
Masduki dalam kesempatan yang sama mengatakan, ada dua celah yang bisa
dilakukan konglomerat hitam dalam memberikan sumbangan. Pertama,
menyumbang langsung lewat kandidat yang kemudian diatasnamakan diri
kandidat. Kedua, lewat partai.
Kedua
celah ini memang memungkinkan karena di dalam Undang-Undang No 23 Tahun
2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak diatur
ketentuan batasan sumbangan dana kampanye dari pasangan calon maupun
partai politik atau gabungan partai politik. Dalam UU tersebut hanya
disebutkan batasan sumbangan dari perorangan yang jumlahnya maksimal Rp
100 juta dan badan hukum swasta yang jumlahnya Rp 750 juta.
Teten
mengatakan, dari hal itu ICW berkeyakinan bahwa dana kampanye para
capres itu berasal bukan dari anggota, tetapi setoran dari pengusaha.
Pintu penyaluran sumbangan tersebut bisa lebih dari satu pintu. Jadi
tidak harus melalui bendahara partai atau tim sukses, kata Teten.
Baru-baru
ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengecam keras kelompok pemilik
modal dan konglomerat hitam yang berupaya mendikte dan mengendalikan
perpolitikan Indonesia baik untuk kepentingan bisnis mereka maupun
kepentingan lainnya.
Kecaman itu dilakukan MUI dan beberapa ormas atau lembaga Islam yang tergabung dalam Forum Ukhuwah Islamiyah.
"Mengecam
kelompok pemilik modal dan konglomerat hitam. Artinya rakyat telah
mengetahui apabila calon tersebut pernah melakukan penyelewengan
terhadap uang rakyat, dan berusaha mendikte politikal di Indonesia,"
ujar Ketua Umum MUI Pusat Din Syamsuddin, di Gedung MUI, jalan
Proklamasi, Jakarta Pusat, Kamis (3/4/2014).
Mereka
bertekad meningkatkan Ukhuwah Islamiyah, kebersamaan dan kekompakan
dalam menghadapi masalah dan tantangan umat Islam dan bangsa Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan dan pengorbanan para
syuhada.
"Maka
kita menolak setiap gelagat dan upaya yang ingin memberi peluang bagi
pengaruh dan dominasi kekuatan asing dan mendiskreditkan umat Islam
dalam pembangunan bangsa," terangnya.
Selain
itu MUI juga menyerukan kepada umat Islam dan bangsa Indonesia untuk
mencegah, melawan dan melaporkan politik uang dan suap menyuap yang
dilarang Islam.
Penulis
memiliki harapan, kita tersadar akan cengkraman konglomerat hitam ini,
karena dampaknya terhadap masa depan bangsa dan negara ini. Mari
sama-sama kita membuka mata dan telinga dan mewaspadai dengan tidak
memilih calon presiden (Capres) yang didukung konglomerat hitam
ini.“Nasib bangsa ini ditentukan oleh suara kita, jangan sampai salah
pilih”.
Oleh: Amril Jambak - Wartawan di Pekanbaru, Riau, sekaligus peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia.
Sumber: goriau.com
[pksnongsa]
DPD PKS Siak - Download Android App