Ketika Sapi Menjadi Kambing Hitam
By: admin
Rabu, 07 Mei 2014
0
Ilustrasi (dakwatuna.com/hdn) |
pkssiak.org - Oleh Muhamad Fauzi
Di negeri yang kaya raya ini, kebanyakan penduduknya masih harus
bersusah payah memeras keringat membanting tulang untuk sekedar memenuhi
kebutuhan hidup yang ala kadarnya.
Zaman ini, tetap tak ubahnya
seperti zaman kolonial atau VOC. Di rumah ketua Syarekat Islam, HOS
Tjokroaminoto, sekelompok pemuda biasa berkumpul dan berdiskusi berbagai
masalah negeri seperti Soekarno dan kawan-kawannya yang kebanyakan
mereka kemudian menjadi Founding Father negeri ini.
Perbincangan tentang penduduk negeri yang subur makmur tapi kerja keras
mereka tiap hari tak layak untuk sekedar makan. Waktu itu jawabannya
masih sederhana, jutaan gulden yang diangkut oleh penguasa kolonial ke negara mereka.
Menerima
nasib sebagai sapi perah, yang masih menyimpan mimpi, mimpi orang-orang
lemah yang tertindas. Mimpi menikmati sedikit kekayaan negeri yang luar
biasa melimpah. Emas, minyak, gas, kesuburan tanah, hasil hutan dan
lautnya. Mimpi kecil tentang kemandirian, swasembada pangan dan mobil
nasional.
Lebih bisa dimaklumi jika negeri ini kebanjiran mainan
anak impor. Tapi apa salahnya jika negeri yang subur menghijau ini
kebanjiran pangan, buah dan daging impor? Apa salahnya juga jika mimpi
tentang swasembada itu mulai direalisasikan? Setelah swasembada beras
tercapai, pengurangan kuota impor daging sapi terus dilakukan secara
bertahap, turun dari 53% pada tahun 2010 menjadi 13% di tahun 2013. Di
atas kertas, ketersediaan sapi cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Tetapi lain kenyataan yang terjadi di pasar. Harga daging sapi
melambung, menjadi harga termahal di dunia, barangnya pun sulit
diperoleh.
Mungkin, sapi-sapi saling ngambek. Tak mau
dipotong, menghilang entah kemana. Tapi yang lebih logis, tak mungkin
sapi-sapi itu bisa menghilang begitu saja. Melainkan berubah menjadi
kambing hitam. Kuota daging sapi, sama seperti pembatasan buah impor:
berbuah pahit akibatnya.
Sapi, sapi, sapi! Korupsi sapi! Kompak
dengan opini yang dibangun media-media milik para cukong yang selama ini
menguras kekayaan negeri ini. Segelintir orang kuat yang menikmati
sebagian besar kekayaan negeri, yang berkepentingan mengamankan
kekuasaan mereka.
Semestinya, kita semua tahu. Bahwa para importir
itu akan marah. Tapi kita mungkin belum tahu kalau mereka tak perlu
bersusah payah menyuarakan kemarahan tersebut. Tak perlu bagi mereka
berteriak-teriak sampai lelah. Malah kebanyakan penduduk negeri ini
dengan sukarela bersedia membantu melontarkan hujatan dan cemoohan
sepuasnya, mewakili ekspresi kemarahan para importir itu. Cukup bagi
para importir itu tersenyum puas menyaksikannya.
Begitu mudahnya
sapi menjadi kambing hitam. Semudah menjawab pertanyaan mengapa ketika
sapi-sapi itu mengamuk, bukan hanya harga dagingnya yang melambung,
harga bawang pun tak kalah melejit, 75 ribu rupiah sekilonya. Memangnya
apakah ketika harga daging sapi tak terjangkau, para konsumennya beralih
memakan bawang secara besar-besaran? Apakah ketika para pedagang bakso
kesulitan mendapatkan daging sapi, lantas mereka beralih menggunakan
bawang sebagai bahan baku pengganti pembuatan baksonya?
Biarlah
sapi tetap menjadi sapi. Tak perlulah ia dipaksa-paksa menjadi kambing
hitam. Agar ia bisa menikmati segarnya rumput di negeri yang subur ini.
Meski tidak nyaman bila didengar para importir daging itu. Agar membuka
kesadaran orang-orang yang tak mau dikatakan bodoh, supaya mengerti
seperti apa dunia ini sebenarnya.
Sebuah jawaban mengapa kita
hanya terombang-ambing dari satu rezim kepada rezim yang lain. Sebelum
bermimpi tentang emas, minyak dan gas yang kian raib, kita sudah cukup
terhibur dengan suguhan semacam serial drama atau festivalisasi ala KPK,
sudah cukup menikmati pertunjukan seperti mobil Esemka atau Mobil
Listrik.
Mewujudkan mimpi itu tak semudah membalik telapak tangan.
Dunia ini bukan tempat untuk berharap penguasanya berbaik hati. Tapi
sepahit-pahitnya menjadi orang lemah yang terzhalimi. Sesungguhnya lebih
pahit menjadi mereka yang menebar kezhaliman dan angkaramurka.
Begitu mudahnya membeli negeri ini dengan harga 50 ribu rupiah per orang, diterima dengan senang hati pula. Daripada ditolak, toh
juga tidak mendapat apa-apa. Sama saja untuk kesekian kalinya, terjebak
pada pencitraan-pencitraan semu. Ketika kadang-kadang masih ada usaha
untuk tidak bersikap apatis, tetapi pilihan itu benar-benar sudah tidak
ada. Permainan sudah diselesaikan sebelum pertandingan dimulai.
Tentang
ribuan triliyun yang raib dari negeri ini, tak tahu lagi seperti apa
rasanya. Sudah terlalu banyak kehilangan, anggap saja sebagai sedekah
kita. Agar di antara banyaknya kelalaian kita kepada-Nya, kezhaliman
yang menimpa menjadikan diri ini masih cukup istimewa di hadapan-Nya.
Setidaknya untuk menolong diri, syukur-syukur mendapat kekuatan untuk
menolong dunia. Termasuk menolong para tiran yang zhalim itu. Untuk
membebaskan mereka dari perbuatan zhalimnya dan menggapai kebersamaan
dalam dunia yang penuh kedamaian.
Toh sebenarnya ada
kekayaan yang lebih besar. Yang selama ini kurang kita sadari. Kekayaan
yang oleh para penguasa dunia itu dipandang sebelah mata. Untuk melihat
saja enggan, apalagi mau bersusah payah merampas dari kita. Padahal
kekayaan itu, diambil seberapa pun, tak kan berkurang sedikit pun bagi
pemiliknya. Bahkan kita sendiri sering mengabaikannya. Yakni kekayaan
hati.
Kekayaan hati sebagaimana yang telah membuat suatu kaum
menjadi mulia. Dimana tiap-tiap mereka mampu mempersembahkan emas
sebesar dua Gunung Uhud kepada Penguasa Alam Semesta, bahkan lebih.
Sementara ratusan juta penduduk negeri ini, hanya mampu berpatungan
memberikan emas sebesar gunung Freeport kepada penguasa dunia. Itupun
tak terlalu memberi kebahagiaan yang sesungguhnya bagi mereka.
DPD PKS Siak - Download Android App