Hati-hati, Jangan Merendahkan Kemampuan Anak
By: Abul Ezz
Jumat, 02 Mei 2014
0
pkssiak.org - Oleh: Miarti
Pembaca setia…! Mungkin sering dantara
kita yang tanpa sadar menyepelekan buah hati kita, apakah melalui sikap,
ucapan, gestur, atau bahkan melalui tatapan mata. Contoh sederhana
misalnya, anak bertanya tentang sesuatu, lalu kita bersikap datar dan
memberi jawaban sekenanya. Contoh lainnya, anak begitu antusias
menyampaikan sebuah informasi, lalu kita hanya menyikapinya dengan cara
yang sangat sederhana alias cukup hanya dengan berkata; “Ooooh”.
Dan yang lebih menyakitkan bagi anak
adalah ketika ia menawarkan atau menyodorkan sebuah ide, lalu kita
berkomentar dengan nada yang sentimentil atau dengan sikap reaktif.
Contohnya : “Mama, kayaknya dinding rumah itu harus dikasih bantal deh.
Biar kepala Si Adek gak sakit kalo kejedot.” Mendengar penuturannya yang
unik, sang Mama langsung menjawab dengan tergesa; “Itu kan berlebihan.
Masa dinding tembok dilapisi bantal…? Yang wajar saja lah…!”
Nah, bagi siapa saja diantara Ayah dan
Bunda yang merasa pernah berkomentar senada, cukup sudah dan jangan
sampai terulang. Komentar atau sikap demikian sangat menjatuhkan. Bagi
seorang anak, sebetulnya sangat wajar untuk berkomentar apapun. Termasuk
memberi ide se”gila” apapaun. Karena mereka memiliki energi dan potensi
yang bisa jadi jauh lebih berkapasitas daripada kita. Sementara tugas
utama kita adalah menyisipkan berbagai pesan sehingga mereka tetap
berada dalam bingkai-bingkai normatif.
Selanjutnya, satu hal yang sering tidak
kita sadari yang termasuk dalam konteks “merendahkan” anak adalah, kita
mengobrol panjang lebar dan heboh dengan lawan bicara yang sesama orang dewasa. Sementara anak kita mematung sendirian sambil mendengarocehan kita
yang belum tentu dipahami atau belum tentu layak untuk ia dengar. Pada
saat “obrolan seru” kita berlangsung, sementara ia hanya duduk diam
tanpa diakrabi atau bahkan disapa, pada saat pula ia merasa dirinya
dinomorduakan atau bahkan tidak dianggap apa-apa.
Suatu saat, kita semua perlu untuk
belajar membalikkan sudut pandang. Dalam hal ini, kiranya perlu bagi
kita utuk membuat sebuah pertanyaan tentang bagaimana rasanya jika kita
tidak diacuhkan atau tidak dipedulikan orang. Sakit hati bukan? Atau
bahkan kita merasa tidak dihargai atau merasa tidak dianggap apa-apa.
Nah, demikian pula dengan buah hati
kita. Mereka sama dengan kita. Meskipun mereka masih kecil dan kita
orang dewasa, tetapi mereka dan kita sama-sama memiliki perasaan standar
seperti merasa tidak dihargai, merasa dilecehkan, merasa dihinakan, dan
lain-lain.
Masalahnya, egosentrisme kita sebagai manusia dewasa kadang-kadang kurang bersikapqona’ah dalam mengakui kelebihan mereka. Sehingga yang tertancap kuat dalam persepsi kita adalah bahwa;
- Anak hanyalah sesosok makhluk kecil yang belum mengerti apa-apa
- Anak hanyalah sosok tak berdaya yang cukup menjadi objek diktatoris orang dewasa
- Informasi yang disampaikan anak tidaklah se-valid informasi yang disampaikan orang dewasa
- Pertanyaan anak hanyalah pertanyaan biasa yang tidak terlalu berarti apa-apa atau bahkan membuat orang dewasa merasa kesal
Padahal semestinya, kita memiliki ruang
khusus dalam jiwa kita masing-masing untuk menyimpan persepsi positif
tentang anak. Dan diantara persepsi positif itu adalah;
- Setiap pertanyaan yang diajukan anak adalah salah satu bukti dari kuriositas (rasa ingin tahu) mereka
- Anak itu brilian, sehingga mampu mengeluarkan komentar atau argumen atau gagagsan yang menakjubkan. Bahkan kalimat-kalimat unik yang tidak kita bayangkan sekalipun berpotensi muncul dan mengalir dari mulut seorang anak.
- Anak itu memiliki sensitifitas yang cukup tinggi, sehingga mereka mampu menakar kadar kita dalam memberi respon. Dan mereka pun sangat cerdas dalam mencicipi hambar dan lezatnya respon yang kita berikan.
- Anak memiliki urutan kebutuhan yang sama dengan orang dewasa (kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa nyaman, kebutuhan untuk DIHARGAI dan kebutuhan untuk beraktualisasi)
Oleh karena itulah, menjadi orang tua memang butuh latihan yang ikhlas dan sustainable(berkesinambungan).
Termasuk latihan merespon sikap atau ucapan atau antusiasme anak. Dan
diantara latihan yang semestinya menginternalisasi dalam kehidupan kita
sehari-hari adalah;
- Menjadi pendengar yang baik
- Murah dalam memberi penghargaan
- Menjaga ekspresi wajah dan gestur agar tetap hangat dan acceptance
- Memberi komentar yang baik dan mendidik, bukan komentar yang merendahkan dan menyakitkan
- Mengapresiasi ide-ide briliannya
- Menghargai privasinya
- Memberikan tugas yang ia sanggupi dan ia senangi
- Berbaik sangka terhadap maksud atau rencana yang ia miliki
- Mintai opini atau pendapat untuk menyelesaikan sebuah persoalan
- Jika ada yang salah dengan dirinya, beritahukan dengan bijak dengan cara personal alias tidak di depan orang lain.
Berikutnya, salah satu latihan yang
tidak boleh terlewatkan adalah latihan mengurangi kesombongan posisi.
Artinya, hanya karena posisi kita sebagai orang tua, tidak berarti bahwa
kita boleh berbuat sekehendak serta menilai anak kita sebagai makhluk
yang belum memiliki kemampuan apa-apa. Sebaliknya, yang terbaik untuk
kita adalah merefleksi tentang seberapa besar penghargaan kita terhadap
anak. Selanjutnya, kita bersama-sama memahami bahwa dalam bentuk apapun
kita merendahkan kemampuan anak, semuanya termasuk dalam kategori
pelecehan psikologis. Oleh karena itulah, mari belajar lebih bijaksana,
sehingga kondisi emosinya yang positif dan rentan, tidak lagi terluka
dan terluka.
Alloohu ‘alam bish showaab. Semoga bermanfaat.
[pksjatim]
DPD PKS Siak - Download Android App