pkssiak.org - KARENA
biaya hidup di kota besar serba sulit, biaya makan mahal, pakaian yang
dikenakan juga mahal maka sepasang suami istri itu keduanya harus
bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka yang kian bervariasi.
Karena semuanya serba mahal maka semuanya juga harus mensiasati tingkah laku keadaan, keadaan di mana semua toko-toko bak raksasa
dengan berbusana cinderella mempertontonkan keistimewaan barang-barang
baru yang mau tak mau cara-cara semacam itu semakin banyak ditiru. Dan
dari situlah predikat kota terlihat nampak jelas; mahal, dan kota
industri memaksa manusia-manusia kota menjadi konsumtif dengan
produk-produk temuannya.
Sepasang
suami istri itu juga semakin bertingkah laku seperti kebiasaan hidup di
kota-kota besar, meninggalkan anak mereka untuk diasuh oleh seorang
pembantu rumah tangga.
Siang
ini, pembantunya membiarkan Niyah sendirian bermain di rumah. Karena
memang pekerjaannya tidak hanya untuk mengurusi anak majikannya saja.
Dapur dan pembantu lebih akrab kedengarannya, itulah sebab kenapa
pembantu harus ada. Kehidupan kota membuat jarak antara wanita dan dapur, bahkan pembantu lebih hafal sudut-sudut rumah ketimbang majikannya.
Niyah
asyik bermain di atas ayunan yang dibeli ayahnya. Hampir setiap hari ia
selalu begitu, terkadang memetik beberapa tangkai bunga melati, bunga
kertas dan sedikit mengumpulkan pasir sekadar bermain masak-masakan
seorang diri menirukan cara pembantunya ketika sedang memasak.
Dengan
tangannya yang mungil, Niyah meraup pasir itu berulangkali. Harapannya
dengan memasak lebih banyak ia bisa sedikit membagikannya pada si Moli,
kucing kesayangannya. Niyah terus berfantasi hingga pada akhirnya ia
melihat sebatang paku karat menyembul di antara pasir yang hendak
diraupnya.
Niyah mengurungkan niatnya memasak, dibawanya paku karat itu di sebuah sudut dekat garasi mobil.
Diapun mulai menggambari lantai itu, tetapi karena lantainya terbuat
dari marmer, coretannya itu tidak nampak jelas olehnya. Ia kemudian
berpindah ke tempat lain, juga masih coretannya belum nampak jelas.
Niyah mendekati mobil baru ayahnya, pelan Niyah mencoba menempelkan
ujung paku itu, betapa gembiranya Niyah melihat usahanya membuat garis
melingkar berhasil. Ya…karena warna mobil itu gelap, coretannya sudah
pasti tampak jelas. Ia kemudian terus menggambar seperti layaknya
kanak-kanak, pertama-tama ia menggambar gunung dengan matahari di
tengah-tengahnya. Saat itu, sengaja orang tuanya menggunakan sepeda motor ke
tempat kerja karena jalanan macet oleh sebab demonstrasi para mahasiswa
yang menuntut agar pergantian presiden dipercepat karena dinilai tidak
lagi mendengarkan aspirasi rakyatnya.
Setelah penuh coretan yang sebelah kanan, dia berpindah ke sebelah kiri. Dia segera membuat gambar ibu dan ayahnya, kemudian di tengah ia menggandeng kedua tangan orang tuanya.
Belum
puas dengan itu semua, dia kemudian menggambar ayam, kucing, ikan dan
bunga-bunga sebagaimana mengikuti imajinasinya. Dia terus saja
menggambar sementara pembantu rumah sedang sibuk bekerja di dapur.
***
Saat
petang tiba, akhir dari sebuah rutinitas kesibukan berakhir, kedua
pasangan suami istri itu pulang dengan wajah yang lelah sehabis seharian
bekerja. Ketika si ayah hendak memasukkan sepeda motornya ke garasi,
detak jantungnya berdegup kencang. Ia terkejut melihat mobil yang baru
dibelinya sudah berganti rupa, mobil yang belum lunas itu sudah dipenuhi
coretan-coretan. Ia membalikkan badannya beberapa kali memutari
mobilnya itu, semuanya penuh. Warna gelap kesukaannya berhias
garis-garis putih yang melurus, melengkung memenuhi semua bagian depan,
belakang dan samping mobilnya. Pada tempat tertentu, coretan itu ada
yang melesak jauh ke dalam seakan di antara garis tipis-tipis yang
mengitari bulatan itu adalah matahari yang sedang menyala, matahari yang
panas, matahari yang menyengat. Si ayah yang belum lagi masuk ke dalam
ini pun terus menjerit sekerasnya.
“Siapa yang mencoret-coret mobil ini!!!?”
Pembantu
rumah tersentak dan lekas-lekas berlari menengok keluar diikuti
istrinya. Keduanya terkejut bukan kepalang. Pembantu itu mengelus
dadanya sambil beristighfar. Raut mukanya pucat menahan takut
lebih-lebih menyaksikan tatapan wajah tuannya yang bengis seakan ingin
menelan tubuhnya.
Dua kali bertanya, dua kali pula pembantunya itu terkejut mendengar bentakan tuannya.
Melihat itu semua si istri mulai berang, lima centimeter dari wajah pembantunya si istri mendamprat dengan sekeras-kerasnya.
“Tak tahu, nyonya…,” jawab pembantu itu semakin ketakutan, apalagi melihat bola mata nyonyanya itu membulat besar melototinya.
“Lantas
apa saja yang kau buat sepanjang hari di rumah?” hardik si istri begitu
geram senada kemarahan yang diluapkan oleh suaminya.
Dari
dalam, si anak yang mendengar suara kedua orangtuanya, lantas keluar
dari kamar. Ia sudah biasa seperti itu, kedatangan kedua orang tuanya
adalah saat-saat yang membahagiakan. Sampai di luar dengan penuh manja
dia berkata; “Niyah yang membuat itu ayah…baguskan?” katanya sambil
memeluk ayahnya ingin bermanja seperti biasa. Si ayah yang sudah hilang
sabarnya segera mematah sebatang dahan kecil dari pohon bonsai terus
dipukulkan berkali-kali ke telapak tangan anaknya. Niyah menjerit
kesakitan meminta tolong pada ibunya, tapi sang ibu hanya diam. Apalagi
ketika suaminya semakin keras memukul kedua bagian dari telapak
tangannya seolah merestui dan ikut puas dengan hukuman yang dijatuhkan
suaminya. Hukuman yang pantas untuk anak yang nakal.
Pembantu
rumah terbengong, tidak tahu hendak berbuat apa, si ayah dengan sekuat
tenaga terus bergantian memukuli tangan kanan dan kiri anaknya secara
bergantian. Niyah meronta-ronta, menangis sangat hebatnya. Setelah
menyadari banyak darah yang keluar, si ayah baru melepaskan tangan
anaknya itu dan segera masuk ke rumah diikuti oleh istrinya.
Pembantu
itu ngeri melihat kucuran darah yang berceceran di lantai. Ia segera
menggendong Niyah masuk ke dalam rumah dan membawanya ke kamar. Niyah
terus saja menangis menahan pedih yang tak kira sakitnya ketika pembantu
itu dengan hati-hati mmbersihkan luka tangan Niyah. Setelah tangan
Niyah terbungkus perban, pembantu rumah segera memandikan Niyah. Sambil
menyiram air,
sambil ikut menangis, Niyah menjerit-jerit menahan pedih saat
luka-lukannya terkena air. Usai itu, pembantu rumah kemudian menidurkan
Niyah dan si bapak sengaja membiarkan anaknya itu tidur bersama pembantu
rumah.
***
Tiba esok
harinya, kedua belah tangan Niyah bengkak. Sebelum kedua majikannya
berangkat seperti biasa. Pembantu rumah mengadukan perihal tangan Niyah.
“Oleskan
obat saja!” begitu perintah Tuannya dengan acuh. Mukannya masih
bersungut-sungut ketika memaksa pandangannya diarahkan pada mobilnya.
Pulang
dari kerja, dia tidak memperhatikan anaknya itu yang hampir seharian
tidak keluar dari kamar pembantu. Malahan si bapak berniat kembali
memarahi Niyah, namun urung saat pembantunya bilang kalau Niyah sedang
tidur. Setiap kali memandang mobil itu selalu bathin si ayah selalu
tertekan dan segenap emosinya memuncak untuk menumpahkannya kembali pada
Niyah.
Tiga hari
terlewati, lepas begitu saja dan berlalu tanpa si ayah dan si ibu
menjenguk Niyah di dalam kamar pembantunya. Perhatian mereka sebatas
bertanya saja bagaimana keadaan Niyah pada pembantunya.
“Niyah demam…,” suatu kali jawab pembantunya ringkas.
“Kasih minum panadol,” jawab si ibu lalu masuk kamar tidurnya.
Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan majikannya kalau suhu badan Niyah terlalu panas.
“Sore nanti saja kita bawa ke dokter praktek,” kata majikannya itu sambil bergegas berangkat kerja.
Sampai
saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke dokter praktek. Dokter
mengarahkan agar Niyah dirujuk ke rumah sakit karena keadaannya yang
serius. Setelah seminggu rawat inap dokter memanggil bapak dan ibu anak
itu.
“Tidak
ada pilihan…,” katanya mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong
karena infeksi dan segala macam yang terjadi sudah terlalu parah.
“Jaringan
organ kulit bagian dalam tangannya sudah bernanah, demi menyelamatkan
nyawanya, kedua tangan itu perlu di potong dari siku ke bawah.” Ucap
dokter.
Si ayah
dan si ibu bagaikan terkena halilintar setelah mendengar kata-kata itu.
Dunia terasa berhenti berputar, tapi apa lagi yang dapat dikata. Si ibu
meraung menerobos tubuh dokter itu dan segera merangkul si anak. Dengan
berat hati dan lelehan air mata istrinya, si bapak gemetar
menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari bilik
pembedahan, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis
kesakitan. Dia heran melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Di
tatapnya muka si ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia
mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis.
Dengan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata ;
“Ayah…ibu…Niyah
tidak akan mencoret-coret mobil lagi. Niyah tak mau ayah pukul. Niyah
sayang ayah…sayang ibu,” ucapnya berulangkali membuat si ibu gagal
menahan sedihnya.
“Niyah
juga sayang kak Ita…,” katanya memandangi wajah pembantunya yang
kemudian meraung menyaksikan Niyah yang tak berdaya seperti itu.
“Ayah…kembalikan
tangan Niyah. Untuk apa ambil tangan Niyah. Sungguh, Niyah janji tidak
akan mengulanginya lagi. Bagaimana caranya Niyah mau makan nanti?
Bagaimana Niyah mau bermain? Niyah janji tidak akan mencoret-coret mobil
lagi,” ucapnya berulang-ulang.
Serasa
lepas jantung si ibu mendengar kata-kata anaknya. Ia meraung dan
berteriak memukuli dada suaminya dengan sekuat hati meluapkan
kesedihannya. Tak lama kemudian si ayah dengan perasaan kalut menuju
tempat mobilnya di parkir, lukisan matahari, ayam, kucing dan bunga
itupun kini telah remuk kehilangan bentuk aslinya di sana, di bawah
jurang. Dan esoknya mereka kembali rutin bekerja, bekerja yang sia-sia
untuk merawat luka-luka.***
( Karya Harie Insani Putra)
sumber: www. abualiyah22.blogspot. com
[pkscibitung]