pkssiak.org - Oleh: DR. Saiful Bahri, MA
Sebuah tadabur surat Al-Mudatsir (yang berselimut): 74 Juz 29.
Mukaddimah: Saatnya Mulai Bangkit
Surat al-Mudatsir diturunkan Allah di Makkah, setelah surat al-Muzammil sebagaimana urutannya dalam al-mushaf al-utsmâny [1]. Surat ini secara umum memiliki isi yang serupa dengan surat sebelumnya. Yaitu tentang perintah langsung Allah kepada Nabi Muhammad saw untuk menyerukan dakwahnya.
Menyampaikan dakwah kepada kaum beliau. Selain itu, juga membicarakan tentang kondisi neraka dan orang-orang musyrik yang mengingkari dakwah Rasulullah saw [2].
Jika dalam surat al-Muzammil Allah lebih menitikberatkan pada persiapan mental dan bekal seorang dai atau nabi yang akan mengemban risalah dakwah-Nya, maka dalam surat ini Allah memberitahukan langkah praktis yang mesti diambil seorang pengemban risalah.
“Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan!”(QS.74: 1-2)
Ini adalah sebuah seruan langsung. Untuk menanggalkan kemalasan dan melawat tabiat serta sesuatu yang disukai oleh manusia, yaitu bersantai-santai, tidur atau menjahui resiko dan bekerja keras. “Bangunlah. Lakukan sesuatu yang berarti. Peringatkan kaummu selagi masih ada kesempatan.” Kira-kira seperti itulah pesan Allah pada kekasih-Nya.
Inilah saatnya segera bangkit. Menyampaikan risalah Allah, karena yang memerintahkannya adalah Zat yang kekuasaan-Nya tanpa batas dan sudah memiliki semua jaminan.
Pertama, “Dan Tuhanmu agungkanlah!” (QS.74:3)
Seorang penyampai risalah, baik dia seorang dai atau nabi sekalipun, dia harus mengagungkan Allah yang mengutusnya. Jika ia memahami hal ini dan benar- benar ia jiwai maka segala bentuk kemegahan, kebesaran dan kemewahan dunia akan kecil di matanya. Ia takkan tergiur oleh gemerlapnya dunia. Juga tidak akan silau dengan tipu kekuasaan dunia. Tidak pula takut oleh segala bentuk ancaman yang datang dari selain Allah.
Siapapun dia, raja atau penguasa dari belahan dunia manapun. Kekuasaan dan kesombongannya tak akan ada yang bisa mengalahkan Yang Maha Perkasa dan Agung. Dan kelak Allah akan menghukum hamba-hamba-Nya yang berani menyombongkan diri. Sehingga tak akan ada kebesaran yang tersisa di dunia ini selain kebesaran dan keagungan-Nya [3].
Kedua, “Dan pakaianmu bersihkanlah”. (QS.74: 4)
Setelah itu, ia perlu memperhatikan penampilan fisiknya, bersih dan menarik. Karena ini merupakan salah satu strategi marketing, dengan performance yang meyakinkan setidaknya kesan pertama akan dikenali oleh masyarakat saat berhadapan dengan kita. Karena itulah risalah yang dibawa Nabi Muhammad saw selalu sarat dengan kebersihan. Makin dalam dan matang keimanan seseorang maka ia akan semakin memelihara kebersihan. Pakaian yang suci menjadi syarat sahnya shalat.
Ketiga, “Dan perbuatan dosa tinggalkanlah”. (QS.74: 5)
Setelah ia memelihara kebersihan fisik, maka ia menyempurnakannya dengan kebersihan batin. Yaitu dengan menjauhi serta meninggalkan segala macam bentuk dosa. Ini adalah bentuk penaggalan hal-hal yang negatif dari dalam diri seorang dai. Dosa dan maksiat akan mengakibatkan hati seseorang terkotori sehingga kata-katanya juga tak akan lagi memiliki kekuatan. Penafsiran ini senada dengan apa yang dikatakan Ikrimah dan Ibrahim an-Nakha’iy [4]. Dan idealnya memang penampilan fisik yang bagus dibarengi dengan kebersihan hati dan kejernihan jiwa. Hal tersebut akan mengundang pesona dan kharisma yang sangat kuat.
Keempat, “Dan Jangan kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak”. (QS.74: 6)
Keikhlasan merupakan penyempurnaan hati yang sudah dijauhkan dari dosa dan maksiat. Akhlak ini juga akan membuat seorang dai kuat dan tangguh. Kerja tanpa pamrih, dan kemurnian dakwah pun terjaga dengan jernihnya hati pelakunya. Larangan ini bertujuan agar para dai penerus dakwah para nabi terus berbuat dan berbuat, lebih gigih berusaha dan ringan berkorban serta mudah melupakannya setelah itu[5]. Juga tak terlalu menganggap dirinya sudah berbuat banyak sehingga ia merasa hebat dan berjasa bagi orang banyak. Karena hanya orang berjiwa kerdillah yang selalu merasa besar. Sehingga satu-satunya harapan yang ia inginkan hanya dari Zat yang tak pernah habis kedermawanannya serta kepemilikannya tiada batas.
Kelima, “Dan untuk (memenuhi) perintah Tuhanmu, bersabarlah”.(QS.74: 7)
Pesan terakhir ini mengindikasikan dan memberi isyarat bahwa dakwah Rasulullah saw tidaklah berjalan mulus dan otomatis mendapat penerimaan yang baik. Kesabaran dan persiapan mental yang telah disinggung dalam surat al-Muzammil setidaknya diharapkan membuat Rasul makin siap menerima reaksi apapun terhadap dakwah yang diserunya. Dan benar, Rasul pun mendapat reaksi yang sangat berat. Teror fisik dan psikis dihadapinya. Juga para pengikutnya tak henti-hentinya menerima acaman dan teror.
Sekilas tujuh ayat pertama ini terkesan sederhana. Tapi kandungan pesannya sangat luar biasa. Berangkat dari pijakan normatif inilah Rasulullah semakin kuat dan gigih dalam berdakwah. Tak takut lagi atas ancaman apapun yang akan menimpa atau diarahkan pada beliau, karena beliau memiliki Sang Penolong yang sangat hebat dan tak terkalahkan.
Hari yang Dijanjikan
Salah satu misi mengingatkan yang dibawa Rasul saw adalah dengan selalu dan terus mengingatkan kaumnya akan adanya hari kehancuran dan kebangkitan. Supaya orang–orang yang berbuat zhalim mau kembali kepada Allah. Setidaknya selama masih ada kesempatan untuk memperbaiki sebelum hari kepastian yang sudah ditentukan Allah itu datang.
“Apabila ditiup sangkala. Maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit. Bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah”. (QS. 74: 8-10)
Dan hari yang paling sulit bagi siapa saja. Karena setiap orang memikirkan nasibnya di depan pengadilan Sang Maha Adil. Pengadilan yang sangat transparan. Tak akan ada yang bisa disembunyikan. Dan orang-orang kafir akan memenuhi kesulitan yang berlipat-lipat.
Seperti halnya al-Wahid bin Mughirah yang akan mendapatkan pembalasan Allah kelak. Firman Allah berikut membicarakannya, sebagaimana pendapat Ibnu Abbas dan Mujahid serta sebagian besar para ahli tafsir [6]. “Biarkan aku bertindak terhadap orang yang aku telah menciptakannya sendiri”. (QS.74: 11). Ibnu Katsir menafsirkan, sendirian artinya saat ia dilahirkan. Tak ada harta, anak dan kekuasaan. Kemudian Allah memberikannya berbagai kenikmatan. “Dan Aku jadikan baginya harta benda yang banyak. Dan anak-anak yang selalu bersamanya. Dan kulapangkan baginya (rezki dan kekuasaan) dengan selapang – lapangnya.” (QS.74: 12-14). Al-Walid bin Mughirah memiliki sepuluh anak. Tiga diantaranya masuk Islam, yaitu sang panglima Khalid bin Walid, kemudian dua adiknya Hisyam dan Ammarah[7].
Allah mengaruniakannya harta yang berlimpah. Juga anak-anak yang selalu dekat dengannya. Tapi hal ini tak membuatnya bersyukur dan lupa akan asal kejadiannya. Ia selalu tamak, “Kemudian dia ingin sekali supaya Aku menambahnya.” (QS.74: 15). Tapi itu takakan pernah dikabulkan oleh Allah, “Sekali-kali tidak (akan aku tambah), Karena Sesungguhnya dia menetang ayat-ayat kami (Al-Qur’an)”. (QS.74: 16)
Kelak, akan Allah memberikan hukuman yang setimpal atas dosa dan kesombongannya. “Aku akan membenahinya mendaki pendakian yang memayahkan”. (QS.74: 17). Sebuah kiasan akan beratnya beban yang ia tanggung di akhirat kelak. Siksa yang tak terbayangkan beratnya.
Kebohongan dan Kesombongan yang tak Terampuni
Sebelumnya selama di dunia al-Walid -juga orang–orang kafir- tak mengindahkan peringatan yang dibawa para nabi dan para dai. “Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri. Lalu dia berkata, ‘(Al-Qur’an) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.’” (QS.74: 23-25).
Dan sebagai balasannya, Allah akan memberikannya sejelek-jelek hunian di dalam neraka. “Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) saqar. Tahukah kamu apakah (neraka) Saqar itu? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan, (Neraka saqar) adalah pembakar kulit manusia”. (QS.74: 26-29)
Selain panasnya yang tak tertahankan, neraka–neraka itu dijaga oleh para malaikat yang takakan membiarkan mereka sedikitpun beristirahat dan mengambil nafas.
“Dan diatasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga). Dan tiada kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat. Dan tidaklah kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk menjadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan), ‘Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?’ Demikian Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk pada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melaikan Dia sediri, dan saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia”.(QS.74: 30-31)
Golongan Kanan
Jika orang-orang kafir di atas harus mempertanggun jawabkan semua perbuatannya, maka Allah akan memberi keleluasaan bagi orang-orang yang mengimani dakwah Rasulullah saw.
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Kecuali golongan kanan”. (QS.74: 38-39)
Bahkan mereka bisa menanyakan kondisi orang-orang yang diazab Allah. Hal demikian akan semakin membuat mereka bersyukur. Betapa beruntungnya orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Simaklah saat mereka bertanya kepada para penghuni neraka Saqar, “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. Dan kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya. Dan adalah kami mendustakan hari pembalasan. Hingga datang kepada kami kematian.’ Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at.’” (QS. 74: 42-48)
Hal di atas bisa kita ambil pelajaran. Bahwa para penghuni Saqar tersebut setidaknya memiliki empat kesalahan fatal.
Pertama, tidak mengerjakan shalat. Merupakan simbol keenganan untuk menundukan hati kepada Allah. Sebuah simbol keangkuhan. Simbol kesombongan yang sangat dimurkai oleh Allah, karena kebesaran hanya milik-Nya.
Kedua, tidak menunaikan zakat dan tidak menyayangi fakir miskin. Ini merupakan simbol kejahatan sosial. Menjadi sebuah akumulasi keburukan, setelah tak mampu menundukan kepala kepada Allah karena memusuhi fakir miskin dan kaum lemah berarti memusuhi Allah, Sang Pengasih yang sangat menyayangi mereka.
Ketiga, selalu membicarakan dan menggunjingkan kebatilan. Jika membicarakan sebuah kebatilan saja sudah dicela, apalagi kebatilan itu kemudian dipergunjingkan, disebarluaskan, dibisniskan. Maka merugi dan celakalah mereka yang mengambil keungtungan dibalik pergunjingan kebatilan ini.
Keempat, mengingkari adanya Hari Pembalasan. Jika Hari Pembalasan diingkari, maka orang-orang zhalim itu semakin menjadi–jadi. Tak ada lagi yang mereka takuti. Jika sangkaan mereka dibenarkan, maka berapa banyak orang-orang terzhalimi dan tertindas tak terlindungi. Lantas siapa yang akan membalas mereka? Kaum tertindas yang dijanjikan kemenangan dan pertolongan. Jika tak di dunia, mereka sangat mengharapkannya di akhirat. Sementara orang-orang zhalim itu ditangguhkan oleh Allah sampai datangnya Hari Pembalasan.
Di samping itu, hal ini menjadi dalil dan bukti bahwa ada dialog dan perbincangan yang terjadi pada penghuni surga dan neraka. Jika di surat ini penghuni surga menanyai penghuni neraka. Maka dalam surat lain para penghuni neraka meminta belas kasihan para penghuni surga yang sarat dengan berbagai kenikmatan.
“Dan penghuni-penghuni surga berseru kepada penghuni-penghuni neraka (dengan mengatakan), “Sesunguhnya kami dengan sebenarnya telah memperoleh apa yang Tuhan kami janjikannya kepada kami. Maka apakah kamu telah memperoleh dengan sebenarnya apa (azab) yang Tuhan kamu menjanjikannya (kepadamu)?’ Mereka (penduduk neraka) menjawab, ‘Betul.’ Kemudian seorang penyeru (malaikat) mengumunkan di antara kedua golongan itu, ‘Kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang yang zhalim.’” [8].
Keterlambatan
Sangat aneh. Peringatan yang demikian jelas seperti di atas justru didustakan. “Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah).” (QS.74: 49). Padahal jika mereka mau menggunakan akalnya mereka takakan melakukan kebodohan itu. Karena hal tersebut hanya akan mendatangkan penyesalan kelak.
Kita telaah sejenak penggambaran Allah tentang kedunguan mereka,“Seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut. Lari dari pada singa.” (QS.74: 50-51). Bukankah keledai adalah perumpamaan yang menghinakan? Binatang yang dungu, namun itu lebih baik karena ia tak memiliki akal untuk berpikir. Sementara orang-orang kafir itu diberi akal oleh Allah, tapi mereka tak mau menggunakannya. Jadi mereka lebih buruk dari keledai.
Peringatan yang diberikan Allah seharusnya mereka terima dengan lapang dada dan terbuka. Karena peringatan itu membuat dan menstimulus mereka untuk memperbaiki kualitas hidup dengan penghambaan yang benar kepada Allah. Tapi justru mereka lari menghindar, seperti menghindarnya keledai dari kejaran singa. Jika keledai tak mampu lari dari kejaran singa. Sanggupkah mereka lari dari takdir Allah? Menghindari keputusan dan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah? Atau dapakah mereka bersembunyi dari siksaan Allah yang telah menunggu mereka setelah Hari Perhitungan? Takakan ada yang bisa melarikan diri dari keputusan Allah!
Sebaik-baik Peringatan
“….Sesunguhnya al-Qur’an itu adalah peringatan. Maka barang siapa menghendaki, niscaya dia mengambil pelajaran daripadanya (Al-Qur’an). Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran daripadanya kecuali (jika) Allah menghendakinya. Dia (Allah) adalah Tuhan yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun.” (QS.74: 54-56)
Al-Qur’an yang dibawa Rasulullah saw merupakan pengingat terutama bagi mereka yang mau membacanya dan mau berusaha memahaminya serta menginginkan kebaikan darinya. Beruntunglah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah serta dimudahkan untuk berinteraksi dan memahami al-Qur’an dengan baik.
Karena al-Qur’an adalah pedoman langgeng serta aturan yang berlaku untuk manusia dimana saja, sepanjang masa. Ia merupakan salah satu mukjizat terbesar Nabi Muhammad saw. Dan hingga sekarang kemurnian al-Qur’an masih tetap terjaga, berbeda dengan kitab-kitab suci lainnya. Hal ini dikarenakan Allah menjaganya dari segala macam perubahan, penggantian, dan pengurangan isinya [9]. Sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad saw, al-Qur’an memiliki berbagai karakteristik yang mampu menunjukkan keagungannya. Di antaranya al-Qur’an sebagai kitab ilahy (wahyu dari Allah), kitab yang dijaga Allah, Mukjizat, jelas dan mudah dipahami, kitab agama yang integral (mencakup berbagai aspek kehidupan), kitab yang berlaku untuk sepanjang masa, dan kitab yang memiliki muatan humanisme [10].
Dan barang siapa yang mau berpegang teguh pada al-Qur’an maka ia akan lapang dalam menjalani hidup yang sarat dengan berbagai macam rintangan. Apalagi jika seorang nabi atau dai. Maka kedekatannya dengan Al-Qur’an menjadi spirit tersendiri yang akan menjadi ruh dan motivasi dakwahhnya. Wallâhu al-Musta’ân.
—
Catatan Kaki:
[1] Imam Jalaluddin as-Suyuthi, al-itqân fi ‘Ulumi al-Qur’an, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H, hal.21, Imam Badruddin az-Zarkasyi, al_Burhan fi Ulumi al-Qur’an, Beirut: Darul Fikr, Cet.I, 1988 M/1408 H, Vol.I, hal 249
[2] Syeikh Muhammad Ali ash-Shabuny, Ijazu al-Bayan fi Suar al-Qur’an, Cairo: Dar Ali ash-Shabuny, 1986 M/1406 H, hal 267-268
[3] Lihat Shafiurrahman al-Mubarakfury, Ar-Rahîq al-Makhtûm, edisi terjemah, Jakarta Pustaka al-Kautsar, Cet.II, Januari 2009, hal.65
[4] Imam Ibnu Jarir at-Thabary, Jâmi’ al-Bayân, Beirut: Dar Ihya Turats a-Araby, Cet.I, 2001 M/1421 H, Vol.29, hal.176, juga Imam Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Cairo: al-Maktabah al-Qayyimah Vol.IV, hal.572
[5] Shafiurrahman al-Mubarakfury, Ar-Rahîq al-Makhtûm, Op.Cit, hal.66
[6] Tesis penulis, Kitab Lawami’ al-Burhan wa Qawathi’ al-Bayan fi Ma’any al-Qur’an li al-Ma’iny, Dirasah wa Tahqiq, Cairo: Universitas Al-Azhar, 2006 M, Vol.II, hal.738
[7] Ibid. Hal, 739
[8] Lihat QS. Al-A’raf: 44
[9] Lihat QS. Al-Hijr: 09
[10] Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawy, Kaifa Nata’ âmal ma’a al-Qur’an, Beirut: Darusysyuruq, Cet.I, 1999 M/1419 H, hal 17