Select Menu

SaintekSIROH

PKS BERKHIDMAT UNTUK RAKYAT

BERITA SIAK

FIQIH

SIROH

Kesehatan

Saintek

Video Pilihan

Selasa, 15 April 2014

Partai Keluarga Super...


pkssiak.org - Banyak anak, banyak rezeki. Begitulah sebuah ungkapan lama yang menurut banyak orang saat ini dianggap kuno dan tidak relevan sebagai pilihan hidup modern. Sebuah ungkapan yang sesungguhnya tidak berhenti pada sekadar kekata, namun lebih dari itu, sebuah harapan. Sebentuk doa. Doa bahwa setiap anak membawa rezekinya sendiri-sendiri. Yang sesungguhnya, anak itu sendiri adalah rezeki.

Pertama kali saya menemukan sebuah keluarga dengan jumlah anak yang terbilang banyak adalah ketika saya masih berseragam abu-abu. Saya mempunyai teman dekat yang dengan kebersamaan kami, pada akhirnya saya terwarnai oleh kebaikannya. Mengenal ayah-ibunya dan keluarganya meski tak terlalu dalam. Sebuah keluarga dengan enam anak di bawah satu atap yang sederhana.

Teman saya, sebut saja “Aisyah”, merupakan sosok yang menjadi pewarna sejarah bagaimana saya memulai menjadi seorang muslimah yang seharusnya. Aisyah merupakan satu di antara segelintir siswi yang menggunakan jilbab di sekolah. Kala itu, jilbab masih menjadi pakaian yang “aneh” dan amat jarang untuk ditemukan di sekolah.

Ya, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Jilbab dengan bentuknya yang kotak, dipakai sederhana bersudut di depan dan belakang, sempurna menutup kepala dan dada. Tidak seperti jilbab “masa kini” yang dilipat-lipat, diputar-putar, digulung-gulung, dan beraneka kreasi lainnya. Asal masih syar’i dan tidak glamour, menurut saya masih okelah.

Berpenampilan berbeda dengan kebanyakan siswi, tak lantas membuatnya tersisih. Aisyah tidak mendirikan pagar berjajar di sekitarnya sehingga tak tersentuh interaksi. Namun ia justru supel dan bahkan berprestasi. Selain hidayah yang tak terhingga itu, kedekatan saya dengan Aisyah juga merupakan faktor yang membuat saya menyerahkan diri saya pada kehendak syariat bagi seorang muslimah. Ya, selempang kain akhirnya setia menutup kepala saya. Pelan-pelan saya mulai menata hati, membaikkan apa yang ada pada diri, dan terus berharap agar jilbab ini setia menemani kini dan nanti.

Beberapa kali Aisyah mengajak saya ke rumahnya. Ya, untuk sekadar beranjangsana atau mengerjakan tugas sekolah bersama. Rumahnya sederhana saja. Dan yang membuat saya terpesona adalah dia ternyata enam bersaudara. Bincang-bincang pun bermula dan selalu mengasyikkan. Bayangan saya, keluarga dengan banyak anak pastilah gaduh dan berpotensi terjadi tragedi “kapal pecah”. Hehehe… Namun, sejauh yang saya temui dan lihat, keluarga Aisyah sangat rukun. Anak-anaknya akur. Pintar-pintar dan mudah diatur. Mereka adalah tipikal keluarga dengan polesan kelembutan kasih, kalau boleh saya bertutur. Mereka semua ramah-ramah, belum pernah saya dapati mereka marah-marah.

Ayah Aisyah adalah seorang dokter umum, sementara ibunya adalah seorang dokter gigi yang lebih cenderung untuk berbisnis dan menjadi ibu rumah tangga. Kehidupan yang sederhana, namun berasa bahagia. Anak-anaknya sudah sedemikian rupa dikondisikan untuk mencintai agamanya. Rerata mereka pun bahkan sudah hafal Quran setidaknya dua juz. Masya Allah…Keluarga Super!

Tanpa sengaja saya melihat sebuah stiker bergambar dua bulan sabit kembar dengan setangkai padi ditengahnya pada pintu rumah Aisyah. Ah, tidak salah lagi! Ini pasti keluarga PKS. Meski demikian, Aisyah tidak pernah mengajak atau menyuruh saya untuk bergabung ke dalam PKS.

Ya, mungkin saat itu saya masih pelajar sehingga belum saat yang tepat untuk berkecimpung dalam aktivitas parpol yang kini saya ketahui bukan sekadar parpol, tapi sebuah barisan yang ingin menjadikan Islam sebagai solusi kehidupan secara komprehensif. Sebuah cita yang mulia dengan visi jauh ke depan melampaui masa.

Sepuluhan tahun berlalu. Kami berpisah jarak. Tapi masih beberapa kali berkirim pesan. Bertanya kabar dan ini-itu. Rupanya keluarga Aisyah bisa dikatakan sebagai Keluarga Besar Dokter. Empat dari enam bersaudara itu telah menjadi dokter. Sungguh hal yang luar biasa bagi saya. Keluarga dengan banyak anak bukan sebuah musibah. Justru sebuah berkah.

Maka saya merasa miris ketika membaca iklan besar di sebuah institusi pemerintah yang bergerak di bidang kekeluargaan, menulis besar-besar sebuah peringatan “Banyak Anak, Banyak Masalah!!!”. Jargon yang tidak sepenuhnya salah, hanya kurang bijaksana. Memang, untuk memiliki jumlah anak tertentu harus dipersiapkan dengan perencanaan yang benar. Melihat kehadiran buah hati bukan dari sekadar nominal.

Semakin banyak anak, maka semakin banyak pengeluaran. Semakin banyak anak, maka semakin banyak masalah. Tapi hal ini tidak berlaku pada orang-orang yang memang siap dan selalu berharap kebaikan dan keberkahan dari kehadiran sang buah cinta.

Sampai kini banyak saya temukan keluarga PKS yang memiliki anak banyak. Mereka bahagia. Mereka tetap bekerja dan berkarya. Berkontribusi untuk masyarakat sekitarnya. Dengan banyaknya keluarga mereka, mereka berharap kebaikan yang mereka perjuangkan akan bisa lebih luas tersebarnya. Cita-cita mulia mereka akan meregenerasi dan lestari. Sampai suatu masa kejayaan Islam kembali.

Mereka akan tersenyum dalam ruang-ruang yang lapang. Tidak peduli bagaimana susahnya keadaan perjuangan kini, karena dalam sanubari mereka menyala sebait syair : Harapan itu masih ada!

Tidak salah jika sebagian masyarakat kita menilai bahwa keluarga PKS itu hampir semua banyak anaknya. Kenyataannya memang demikian. Super jumlahnya. Dan semoga juga super kualitasnya. Maka bolehlah saya mengusulkan sebuah partai baru di Indonesia tercinta kita. Partai Keluarga Super! ^_^ )I(

Oleh: Chifrul El Hamasah
Seperti diceritakan sang istri

____
Dikutip dari buku "Pahlawan Dalam Diam"
0 Comments
Tweets
Komentar