pkssiak.org - Banyak
anak, banyak rezeki. Begitulah sebuah ungkapan lama yang menurut banyak
orang saat ini dianggap kuno dan tidak relevan sebagai pilihan hidup
modern. Sebuah ungkapan yang sesungguhnya tidak berhenti pada sekadar
kekata, namun lebih dari itu, sebuah harapan. Sebentuk doa. Doa bahwa
setiap anak membawa rezekinya sendiri-sendiri. Yang sesungguhnya, anak
itu sendiri adalah rezeki.
Pertama
kali saya menemukan sebuah keluarga dengan jumlah anak yang terbilang
banyak adalah ketika saya masih berseragam abu-abu. Saya mempunyai teman
dekat yang dengan kebersamaan kami, pada akhirnya saya terwarnai oleh
kebaikannya. Mengenal ayah-ibunya dan keluarganya meski tak terlalu
dalam. Sebuah keluarga dengan enam anak di bawah satu atap yang
sederhana.
Teman
saya, sebut saja “Aisyah”, merupakan sosok yang menjadi pewarna sejarah
bagaimana saya memulai menjadi seorang muslimah yang seharusnya. Aisyah
merupakan satu di antara segelintir siswi yang menggunakan jilbab di
sekolah. Kala itu, jilbab masih menjadi pakaian yang “aneh” dan amat
jarang untuk ditemukan di sekolah.
Ya,
sekitar sepuluh tahun yang lalu. Jilbab dengan bentuknya yang kotak,
dipakai sederhana bersudut di depan dan belakang, sempurna menutup
kepala dan dada. Tidak seperti jilbab “masa kini” yang dilipat-lipat,
diputar-putar, digulung-gulung, dan beraneka kreasi lainnya. Asal masih
syar’i dan tidak glamour, menurut saya masih okelah.
Berpenampilan
berbeda dengan kebanyakan siswi, tak lantas membuatnya tersisih. Aisyah
tidak mendirikan pagar berjajar di sekitarnya sehingga tak tersentuh
interaksi. Namun ia justru supel dan bahkan berprestasi. Selain hidayah
yang tak terhingga itu, kedekatan saya dengan Aisyah juga merupakan
faktor yang membuat saya menyerahkan diri saya pada kehendak syariat
bagi seorang muslimah. Ya, selempang kain akhirnya setia menutup kepala
saya. Pelan-pelan saya mulai menata hati, membaikkan apa yang ada pada
diri, dan terus berharap agar jilbab ini setia menemani kini dan nanti.
Beberapa
kali Aisyah mengajak saya ke rumahnya. Ya, untuk sekadar beranjangsana
atau mengerjakan tugas sekolah bersama. Rumahnya sederhana saja. Dan
yang membuat saya terpesona adalah dia ternyata enam bersaudara.
Bincang-bincang pun bermula dan selalu mengasyikkan. Bayangan saya,
keluarga dengan banyak anak pastilah gaduh dan berpotensi terjadi
tragedi “kapal pecah”. Hehehe… Namun, sejauh yang saya temui dan lihat,
keluarga Aisyah sangat rukun. Anak-anaknya akur. Pintar-pintar dan mudah
diatur. Mereka adalah tipikal keluarga dengan polesan kelembutan kasih,
kalau boleh saya bertutur. Mereka semua ramah-ramah, belum pernah saya
dapati mereka marah-marah.
Ayah
Aisyah adalah seorang dokter umum, sementara ibunya adalah seorang
dokter gigi yang lebih cenderung untuk berbisnis dan menjadi ibu rumah
tangga. Kehidupan yang sederhana, namun berasa bahagia. Anak-anaknya
sudah sedemikian rupa dikondisikan untuk mencintai agamanya. Rerata
mereka pun bahkan sudah hafal Quran setidaknya dua juz. Masya
Allah…Keluarga Super!
Tanpa
sengaja saya melihat sebuah stiker bergambar dua bulan sabit kembar
dengan setangkai padi ditengahnya pada pintu rumah Aisyah. Ah, tidak
salah lagi! Ini pasti keluarga PKS. Meski demikian, Aisyah tidak pernah
mengajak atau menyuruh saya untuk bergabung ke dalam PKS.
Ya,
mungkin saat itu saya masih pelajar sehingga belum saat yang tepat
untuk berkecimpung dalam aktivitas parpol yang kini saya ketahui bukan
sekadar parpol, tapi sebuah barisan yang ingin menjadikan Islam sebagai
solusi kehidupan secara komprehensif. Sebuah cita yang mulia dengan visi
jauh ke depan melampaui masa.
Sepuluhan
tahun berlalu. Kami berpisah jarak. Tapi masih beberapa kali berkirim
pesan. Bertanya kabar dan ini-itu. Rupanya keluarga Aisyah bisa
dikatakan sebagai Keluarga Besar Dokter. Empat dari enam bersaudara itu
telah menjadi dokter. Sungguh hal yang luar biasa bagi saya. Keluarga
dengan banyak anak bukan sebuah musibah. Justru sebuah berkah.
Maka
saya merasa miris ketika membaca iklan besar di sebuah institusi
pemerintah yang bergerak di bidang kekeluargaan, menulis besar-besar
sebuah peringatan “Banyak Anak, Banyak Masalah!!!”. Jargon yang tidak
sepenuhnya salah, hanya kurang bijaksana. Memang, untuk memiliki jumlah
anak tertentu harus dipersiapkan dengan perencanaan yang benar. Melihat
kehadiran buah hati bukan dari sekadar nominal.
Semakin
banyak anak, maka semakin banyak pengeluaran. Semakin banyak anak, maka
semakin banyak masalah. Tapi hal ini tidak berlaku pada orang-orang
yang memang siap dan selalu berharap kebaikan dan keberkahan dari
kehadiran sang buah cinta.
Sampai
kini banyak saya temukan keluarga PKS yang memiliki anak banyak. Mereka
bahagia. Mereka tetap bekerja dan berkarya. Berkontribusi untuk
masyarakat sekitarnya. Dengan banyaknya keluarga mereka, mereka berharap
kebaikan yang mereka perjuangkan akan bisa lebih luas tersebarnya.
Cita-cita mulia mereka akan meregenerasi dan lestari. Sampai suatu masa
kejayaan Islam kembali.
Mereka
akan tersenyum dalam ruang-ruang yang lapang. Tidak peduli bagaimana
susahnya keadaan perjuangan kini, karena dalam sanubari mereka menyala
sebait syair : Harapan itu masih ada!
Tidak
salah jika sebagian masyarakat kita menilai bahwa keluarga PKS itu
hampir semua banyak anaknya. Kenyataannya memang demikian. Super
jumlahnya. Dan semoga juga super kualitasnya. Maka bolehlah saya
mengusulkan sebuah partai baru di Indonesia tercinta kita. Partai
Keluarga Super! ^_^ )I(
Oleh: Chifrul El Hamasah
Seperti diceritakan sang istri
____
Dikutip dari buku "Pahlawan Dalam Diam"