Allah Mahabaik. Dialah yang menciptakan. Sehingga, Dialah yang Maha
Mengetahui apa yang kita butuhkan. Satu diantara sekian banyaknya
kewajiban yang harus dilakukan sebagai seorang hamba adalah beribadah.
Ibadah menjadi tugas utama. Uniknya, ibadah ini sama sekali tidak
menguntungkan Allah. Jika seluruh makhluk beribadah kepada-Nya, maka
tidak sedikitpun hal itu akan menambah kemuliaan bagi Allah. Karena Dia
Mahamulai atas segala sesuatu. Jika kemudian semua makhluk membangkang,
mencaci, dan menjauhi-Nya sekalipun, maka perbuatan itu juga tidak akan
mengurangi kemuliaan Allah.
Sehingga, ibadah yang diperintahkan Allah hanya akan memberikan manfaat
kepada pelakunya, bukan kepada Yang memerintahkan. Luar biasanya lagi,
Allah sangat mengapresiasi semua bentuk ketaatan yang kita lakukan.
Bahkan menyingkirkan duri kecil dari jalanan, akan diganjari pahala
melimpah dari Allah.
Lebih-lebih lagi, jika misalnya kita ‘hanya’ mondar-mandir berangkat dan
pulang dari masjid, maka hal itu akan berbalas pahala sedemikian agung
dan melimpah ruah.
Rasulullah menegaskan. Jika kita berangkat ke masjid ketika azan
berkumandang dalam keadaan berwudhu guna menghadiri shalat berjama’ah,
maka satu langkah akan mengangkat derajat dan langkah yang lain bisa
mengurangi dosa. Inilah mengapa, sahabat sekelas Ibnu Umar sering
melambatkan langkahnya ketika mendatangi shalat berjama’ah. Alasannya,
agar semakin banyak langkah sehingga dosa yang diampuni semakin banyak
dan semakin tinggi derajat yang diberikan.
Tak kalah dari beliau, Sa’id bin Musayyab diceritakan tak pernah melihat
tengkuk jama’ah lain selama tiga puluh tahun. Sebab selama itu, dia
tidak pernah tertinggal takbir dan shaf pertama. Disebutkan pula, jika
kita mengetahui pahala shalat berjama’ah, maka kita akan merangkak guna
mendatanginya. Dalam riwayat lain, bahwa kita akan saling berlomba meski
harus saling membunuh.
Betapa mulianya generasi pendahuli umat ini? Bahkan kita sangat jauh
tertinggal. Masjid kita saat ini, sepi pengunjung. Lebih banyak yang
mondar-mandir di mall, bioskop maupun tempat hiburan lainnya.
‘Mondar-mandir’ kita dalam mendatangi shalat berjama’ah, khususnya Isya’
dan Subuh adalah amal unggulan yang menjadi rebutan orang shaleh. Oleh
karena hal itu, para sahabat pernah meminta ijin kepada Rasul agar
berpindah rumah mendekati masjid supaya mudah dalam mendatangi. Namun
rasul memerintahkan mereka agar jauh dari masjid, supaya langkah dan
upaya yang dilkukan semakin luar biasa. Bukankah shalat berjama’ah Isya’
akan berbalas pahala qiyamullai setengah malam dan shalat Subuh
berjama’ah akan berbalas pahala qiyamullail semalam suntuk?
Shalat jama’ah kita di masjid akan diganjar dua puluh lima atau dua
puluh tujuh derajat. Ini bukan soal angka. Tapi sebuah anugrah. Bisa
menjelaskan, seberapa tinggi satu derajat dalam penilaian Allah? Jika
dikalikan dua puluh lima atau dua puluh tujuh, seberapa tinggikah
derajat itu? Allah Maha Mengetahui dan tak mungkin ingkar janji.
Saking agungnya pahala ini, Rasul pernah bersabda akan membakar rumah
orang-orang yang meninggalkan shalat berjamaah tanpa alasan yang
dibenarkan. Jika hal itu dipraktekan zaman kita sekarang, akan berapa
banyak rumah yang dibakar? Jangan-jangan, rumah kita akan ikut dibakar
juga? Astaghfirullah.
Tidak cukupkah iming-iming pahala ini untuk kita? Ataukah hanya menjadi
sesuatu yang masuk telingah kanan dan keluar dari telinga yang sama?
Dulu, Abdullah bin Umi Makhtum pernah berkata penuh tunduk kepada Nabi.
Kata orang mulia ini, “Ya Rasul, saya ini buta. Apakah saya boleh untuk
tidak mendatangi shalat berjama’ah?” Tentu, ini bukan pertanyaan
pemakluman. Tapi keingintahuan yang mendalam dari seorang pemeluk Islam
yang taat dan tak ingin mengurangi sedikitpun kemuliaan ajarannya.
Lantas, Nabi berbalik tanya, “Apakah kamu mendengar azan?” Jawabnya
segera, “Iya, saya mendengar azan.” Kemudian beliau menuturkan, “Maka
datangilah shalat berjama’ah selagi kamu mendengar azan.”
Sejarah kemudian mencatat bahwa Abdulllah bin Umi Makhtum yang buta itu
selalu terdepan dalam mendatangi shalat berjamaah. Bahkan dalm riwayat
lain, beliau pernah dua kali dijatuhkan oleh setan agar terlambat dari
mengikuti shalat berjama’ah.
Akankah kita meneledani kesungguhannya? Atau kemudian berapologi? Atau,
jangan-jangan, ada yang menunggu dibutakan dulu baru kemudian
benar-benar meneladani? Semoga Allah mengampuni kelalaian kita dan
memudahkan diri untuk terus beramal shalih menjemput ridha dan
surga-Nya. Semoga kita tak bosan untuk ‘mondar-mandir’ mendatangi masjid
ketika azan berkumandang. Aamiin. Wallahu A’lam.