Memperluas Ruang Lingkup Amal Jama’i Menuju Ustadziyatul ‘Alam
By: Abul Ezz
Minggu, 27 April 2014
0
Modal
utama agar kita selalu mampu merespon, mengantisipasi
perkembangan-perkembangan, tuntutan-tuntutan dakwah adalah kebersamaan
kita dalam amal jama’i. Jama’ah kita adalah sebuah wadah yang selain
untuk menunaikan tugas-tugas dakwah, tugas-tugas keislaman, tugas-tugas
amar ma’ruf nahi munkar, juga adalah wadah untuk memupuk, mengembangkan,
mengokohkan kemampuan kita beramal jama’i. Sudah barang tentu, amal
jama’i dalam implementasinya, dalam pelaksanaannya dari waktu ke waktu
selalu menuntut pengembangan-pengembangan; selalu menuntut
pertumbuhan-pertumbuhan.
Di
mihwar tanzhimi, amal jama’i kita dalam gerakan dakwah terasa
eksklusif, terasa luang lingkup amal jama’iitu sangat terbatas. Dibatasi
oleh batas-batas struktural. Dimana ruang lingkup tawasul (komunikasi)
kita sebagai salah satu rukun amal jama’i adalah terbatas. Begitu juga
ruang lingkup ta’aruf juga sangat terbatas. Ruang lingkup saling
memahami, tafahum, juga sangat terbatas. Karena memang sekali lagi,
ruang lingkup komunikasi kita terbatas. Ruang lingkup ta’aruf terbatas,
otomatis ruang lingkup tafahum kita juga terbatas. Dan seterusnya ruang
lingkup ta’awun kita juga terasa terbatas. Takaful kita,tadhammun kita
juga terasa sangat terbatas. Meskipun terbatasnya tawasul, ta’aruf,
ta’awun, tafahum, dantakaful kita, tapi dia adalah merupakan upaya
membangun basis awal dari kekokohan amal jama’i kita. Modal dasar amal
jama’i kita dibangun pada mihwar tanzhimi.
Alhamdulillah,
modal dasar amal jama’i yang dibangun di saat mihwar tandzimi, dalam
berbilang tahun mulai kita kembangkan,setelah memasuki mihwar ijtima’i
ataumihwar sya’bi, ruang lingkup tawasul kita diperluas dalam ruang
lingkup keummatan yang lebih luas melampaui batas-batas structural.
Melampaui hudud tanzhimiyah kita.
Tawasul
(komunikasi) kita kembangkan di dalam pergaulan bermasyarakat. Ta’aruf
kita lebarkan sayapnya. Sehingga kita berta’aruf dengan seluruh lapisan
dan komponen masyarakat. Begitu juga ta’awun, tafahum, dan takaful, kita
kembangkan di tengah-tengah masyarakat luas. Tapi itu pun masih
terbatas dalam ruang lingkup keummatan sesama umat Islam. Walaupun waktu
itu, kita sudah biasa melampaui batas-batas kejama’ahan, kepartaian,
dan institusi-institusi apa pun namanya. Apakah yayasan, LSM, ma’ahid
dan madaris.Kita kembangkan amal jama’i kita lebih luas dibanding dari
mihwar tanzhimi.
Sudah
barang tentu, Alhamdulillah ternyata terbukti, bahwa mihwat tanzhimi
adalah sebuah basis yang kokoh untuk memasuki mihwar ijtima’i. Sering
saya katakan,mihwar tanzhimi adalah muqaddimah untuk menujumihwar
ijtima’i. ternyata ikhwan dan akhwat bisa mengembangkan tawasul,
ta’aruf, tafahum, ta’awun,dan takaful ijtima’i-nya. Bahkan di sector ini
kita sudah diakui di tengah-tengah masyarakat. Semua itu tidak
terlepas, pertama-tama dari bantuan, inayah dan ri’ayahAllah SWT. Yang
kedua, adalah karena di back up, didorong, di backing oleh amal jama’i
yang kokoh, insya Allah.
Demikianlah,
amal jama’i selalu menuntut perkembangan-perkembangan. Selalu
menuntutkhutuwat tathwiriyah selamanya dan seharusnya harus diimbangi
khuthuwat ta’shiliyah, upaya mempertahankan orisinalitas, upaya
mempertahankan keaslian. Baik dari segi harakah Islamiyah atau juga dari
segi harakah da’awiyah. Tapi sekali lagi, menjaga keaslian harakah
Islamiyah dan harakah da’wiyah tidak boleh menghalangi
perkembangan-perkembangan khuthuwat tathwiriyah dalam pergaulan kita di
tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan di tengah-tengah
kehidupan kemanusiaan.
Saya
ingatkan kembali bahwa setiap mihwar adalah merupakan muqaddimah dari
mihwar berikutnya. Atas dasar itu bahwa mihwar ijtima’i yang telah
mengantarkan ikhwan dan akhwat terhadap sebuah pengakuan akan prestasi,
keahlian, kepakaran, dan kelayakannya bergaul di tengah-tengah
masyarakat. Memberikan kontribusi positif dalam kehidupan bermasyarakat
dalam ruang lingkup keumatan, berbangsa dan bernegara.
Insya
Allah ini merupakan modal utama kita untuk semakin mendewasakan kita
dalam mihwar muassasi,dimana tuntutan amal jama’i dalam mihwar
muassasisudah barang tentu jauh lebih berkembang, lebih luas, lebih
lebar sayapnya dibanding amal jama’i dalam ruang lingkup mihwar tanzhimi
dan mihwar ijtima’i. Karenamihwar muassasi merupakan muqaddimah dari
mihwar daulah. Dimana amal jama’i kita bukan saja mampu kita kembangkan
di ruang lingkup kejama’ahan dan keumatan, tetapi justeru harus semakin
mampu mengembangkan amal jama’i dalam ruang lingkup pergaulan
kemanusiaan, pergaulan internasional. Dimana ikhwan dan akhwat sudah
mulai dikenal di dunia internasional. Bahkan mendapat undangan-undangan
di momentum-momentum internasional. Ini adalah merupakan bawadir atau
langkah-langkah awal menujumihwar daulah yang harus secara terus menerus
kita kembangkan dalam mihwar muassasi ini.
Sudah
barang tentu konsekuensi amal jama’i kita dimihwar muassasi ini, bukan
saja kita berkewajiban melaksanakan keniscayaan memperkokoh
hasil-hasilamal jama’i kita di dalam ruang lingkup mihwar tanzhimi, dan
memperkokoh, memperkuat hasil-hasilamal jama’i kita dalam mihwar
ijtima’i. Tapi di mihwar muassasi ini kita harus semakin mampu
mengembangkan, menumbuh kembangkan, melebarkan ruang lingkup amal jama’i
kita dengan segenap rukunnya. Kemampuan bertawasul kita harus melampaui
batas-batas kejama’ahan, keumatan, dan organisasi kepartaian. Bahkan
melampaui batas-batas institusi-institusi yang dibatasi oleh ideologi,
keagamaan, dan kebangsaan. Kita harus mampu mengembangkantawasul dengan
seluruh komponen kemanusiaan.
Oleh
karena itu tawasul bukan hanya sekedar tawasul.Berkomunikasi bukan
sekedar berkomunikasi. Tapi harus ditindaklanjuti dengan kemampuan kita
mengembangkan ta’aruf (saling mengenal) antara karakter masing-masing
lingkungan. Apakah kepartaian, kejama’ahan, etnik, kebangsaan, ideology,
dan keagamaan. Kita harus berta’aruf dan selanjutnya harus bisa
bertafahum (memahami). Memahami siapa mereka dan siapa kita. Memahami
madza nuriidu minhum, apa yang kita inginkan dari mereka. Memahami madza
yuriiduuna minna, apa yang mereka inginkan dari kita. Sehingga melalui
basis pemahaman yang mendalam itu, kita bisa melakukan al-akhdzu wal
‘atha (take and give) memberi dan menerima dalam rangka merakit
kebersamaan dalam ruang lingkup yang lebih luas. Bukan hanya dalam
kejama’ahan, keumatan, kebangsaan dan kenegaraan. Bahkan merakit amal
jama’i dalam ruang lingkup kemanusiaan antar bangsa, umat, agama,
partai, ideology, dan keyakinan-keyakinan. Karena pada hakekatnya
kemanusiaan ini diciptakan untuk membangun kebersamaan.
Sudah
barang tentu dengan landasan kemampuan bertafahum. Kita harus lanjutkan
dengan kemampuan/peningkatan kemampuan berta’awun.Peningkatan kemampuan
takaful dengan seluruh komponen kemanusiaan.
Insya
Allah, jika tuntutan-tuntutan pengembangan amal jama’i dalam ruang
lingkup mihwar tanzhimi, mihwar sya’bi, dan mihwar muassasi ini selalu
kita kembangkan, selalu kita tumbuhkan, insya Allah, mihwar daulah akan
segera diberikan Allah kepada kita bahkan didekatkan kepada kita.
Tanggung jawab ini hanya bisa dipikul oleh orang-orang yang disebutkan oleh Allah SWT:
“Siapakah
yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya Aku termasuk
orang-orang yang menyerah diri?” (Q.S. Fushilat: 33)
Mereka yang tahu batas-batas:
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan.” (Q.S. Fushilat: 34)
Dalam berkomunikasi selalu bisa mengungguli secara moral, secara idiil. Makanya kita merespon kemungkinan yang lebih baik lagi.
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik,”(Q.S. Fushilat: 34)
Sehingga
komunikasi kita selalu memperbaiki stigma-stigma negatif. Bisa
memperbaiki su’udzan, bisa memperbaiki prasangka-prasangka buruk kepada
kita dan juga dari kita kepada yang lain. Sehingga kalau sudah bisa
menjelaskan kerangka kehidupan seperti itu, kata Allah:
“Dan
tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan
cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia
ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Q.S.
Fushilat: 34)
Kita
bisa akrab, bisa ka annahu waliyyun hamiim antar organisasi, partai,
umat, agama, kelompok, komunitas, bangsa, ideologi. Kita bisa menemukan
titik temu. Menemukan platform kerja bersama, sehingga ka annahu
waliyyun hamiim.
Sudah barang tentu, kata Allah SWT yang bisa melakukan itu adalah:
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar.” (Q.S. Fushilat: 35)
Yang
bisa melakukan itu adalah orang yang sabar. Sabar menahan gejolak
pribadinya, gejolak semangatnya, gejolak emosinya dalam berkomunikasi.
Mungkin sumber dari gejolak itu bisa aqidah, ideologi, dan
na’udzubillahbisa juga hawa nafsu. Semuanya harus dikendalikan.
“…dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (Q.S. Fushilat: 35)
Yang
bisa melakukan pengendalian dalam berkomunikasi, bekerja sama,
bertawashul, berta’aruf,bertafahum, berta’awun, dan bertakaful ke
seluruh komponen kemanusiaan hanya mereka yang mendapatkan karunia besar
dari Allah SWT.
Dan
ini diharapkan baik ikhwan dan akhwat sebagai kader-kader dakwah tampil
sebagai negarawan-negarawan. Tampil sebagai kepemimpinan dalam
kehidupan kemanusiaan. Inilah yang kita harapkan, yang tidak
berpandangan sempit, tapiberwawasan luas. Beridealita yang terasa
cita-cita kemanusiaan ada di benak pikiran mereka. Sehingga seluruh
kemanusiaan Insya Allah akan mendukung kepemimpinan mereka. Itulah yang
disebut ustadziyatul alam (guru/pemimpin dunia, red.).
Ustadz
bisa diterima oleh lapisan masyarakat kemanusiaan. Sudah barang tentu,
kita tidak boleh berhati sempit, shudur mutadhayyiqah, dada yang
menyempit; qulub mutaghalliqah, hati yang menutup diri dalam
berkomunikasi dengan yang lain, ‘uqul mutaghaffilah, akal yang lalai
untuk mengembangkan kewajiban-kewajiban komunikasi, ta’aruf, ta’awun,
takafuldalam ruang lingkup yang lebih luas sampai ke level kemanusiaan.
Sekali
lagi, amal jama’i bukan doktrin eksklusif hanya dalam kehidupan
kejama’ahan. Amal jama’i adalah doktrin inklusif dalam ruang lingkup
kemanusiaan lebih luas. Itulah yang diamanatkan dalam bentuk
ustadziyatul ‘alam. Sehingga yang kita bangun bukan hanya jama’ah,
masyarakat, atau daulah. Bahkan tidak terbatas kepada khilafah. Tapi
binaaul hadharah basyariyah,membangun peradaban kemanusiaan. Yang bisa
melakukan itu adalah illalladziina shabaruu danillalladzina dzuu hadhin
‘azhiim. Insya Allah, ikhwat dan akhwat adalah orang-orang yang layak
disebut alladzina shabaru dan alladzina dzuu hadhin ‘azhiim. Insya
Allah…
Kita
menyongsong masa depan yang memerlukan kedewasaan, kematangan, di
samping keteguhan prinsip-prinsip. Insya Allah, inilah basis perjuangan
beramal jama’i kita. Harus—sekali lagi—bisa dikembangkan, diperluas,
diperlebar, tanpa harus meninggalkan basis-basis ashalah. Tanpa harus
meninggalkan prinsip-prinsip. Bahkan basis-basis ashalah sudah
memberikan landasan untuk menuju posisi ustadziyatul ‘alam itu.
Mudah-mudahan
Allah SWT selalu memberikan ri’ayahdan inayah. Agar kita disamping
kukuh dalam ashalah,juga mampu mengembangkan khutuwat
tathwiriyah(langkah-langkah pengembangan) mencapai ruang lingkup yang
lebih luas. Bukan hanya ruang lingkup kejama’ahan. Tapi juga ruang
lingkup kehidupan berbangsa, bernegara, dan kemanusiaan. Insya Allah
dengan ri’ayah dan inayah Allah SWT kita bisa mencapai posisi seperti
itu, dan menghantarkan kita kepadaustadziyatul ‘alam.
[Al-Intima/pksbalikpapantengah.org]
DPD PKS Siak - Download Android App