Lembaga Survei Mengabdi Kepada Siapa?
By: Abul Ezz
Jumat, 11 April 2014
0
Ilustrasi: Hasil Hitung Cepat Pemilu 2014 Per 11 April 2014 oleh CSIS dan Cyrus Network |
pkssiak.org - Beberapa bulan lalu, CSIS membuat survei
yang menjatuhkan partai-partai Islam. Hasil survei dari markas
intelektual Katolik ini mengejutkan. Mereka menyatakan bahwa lima partai
Islam dan partai berbasis massa Islam tidak lolos parlementary threshold. Menurut mereka, PPP meraih 3%, PKB 2,8%, PKS 2,2%, PAN 2%, dan PBB tidak mencapai 1%.
Tentu hasil survei ini mengejutkan bagi tokoh-tokoh partai Islam. Mereka menganggap bahwa CSIS ingin membuat opini bahwa partai Islam sudah habis dan harus melakukan suatu perubahan fundamental agar perolehan suaranya bisa naik. Diantara saran-saran yang dilakukan pengamat politik CSIS (juga para Indonesianis) adalah agar partai Islam meninggalkan politik aliran, alias menjadi partai terbuka.
Maret 2013 lalu, CSIS membuat survey kembali. Katanya surveinya berlangsung di 33 provinsi dan melibatkan 1200 responden. Survei berlangsung 7-17 Maret 2014. Hasilnya PDIP 20,1%, Golkar 15,8%, Gerindra 11,3%, Hanura 6,7%, PKB 6,7%, Demokrat 5,8%, PAN 4,8%, PPP 3,5%, PKS 3,4%, Nasdem 3,2%, PBB 1,3% dan PKPI 0,5%. (lihat http://news.detik.com/ pemilu2014/read/2014/03/31/131910/2541276/1563/survei-csis--pdip-pemenang-pemilu-tapi-50-pemilih-masih-bisa-berubah?992204topnews)
Anehnya CSIS tidak mau mengoreksi survei sebelumnya. Survei kali inipun menempatkan partai-partai Islam di titik kritis. Lihatlah mereka menempatkan PAN 4,8%, PPP 3,5%, PKS 3,4% dan PBB 1,3%. Hanya PKB yang suaranya lumayan 6,7%. Ulah pengamat politik atau lembaga survey CSIS yang sinis terhadap partai-partai Islam ini mendapat reaksi yang keras intelektual PAN, Drajat Wibowo. “Partai PAN diisukan tidak lolos electoral threshold, mana buktinya? Mereka PhD saya juga PhD. Ternyata hasil-hasil survey itu salah besar,”kata Dradjat menanggapi lembaga-lembaga survey yang memojokkan partainya.
Memang analisa CSIS ini ternyata meleset jauh. Berdasarkan Quick Count Kompas, sampai berita ini ditulis (9 April jam 21.56), PDIP memperoleh suara 19,24%, Golkar 14,87%, Gerindra 11,74%, Demokrat 9,5%, Nasdem 6,74%, Hanura 5,13% dan PKPI 0,95%. Partai-partai Islam mendapat suara yang lumayan. Lihatlah PKB 9,15%, PAN 7,46%, PKS 7,03%, dan PPP 6,75%. Hanya PBB yang nilainya paling kecil 1,46%.
Hasil Quick Count yang menampilkan suara PBB 1,48%, disesalkan oleh Mohammad Al Khathath caleg PBB. Berdasarkan informasi yang diperolehnya, PBB akan masuk Senayan dengan perolehan kursi 20 orang. “Posisi PBB berada di lima besar Dapil Sumut 1, Sumut 2, Sumsel 2, Sulsel 2, Kaltim, Kalteng dan lain-lain,”terangnya.
Bukan hanya dalam masalah pemilu lembaga-lembaga survei melakukan opini. Tahun 2012 lalu Lingkaran Survei Indonesia (LSI) membuat survei tentang intoleransi. Survei yang diterbitkan pada hari Minggu (21/10/2012) mengungkapkan bahwa intoleransi minoritas berkembang, dengan tingkat tertinggi permusuhan diarahkan pada komunitas gay dan lesbian. LSI menemukan dalam jajak pendapatnya, bahwa 80,6 persen dari populasi sampel keberatan untuk memiliki gay atau lesbian sebagai tetangga. Angka tersebut melonjak secara signifikan dari 64,7 persen pada tahun 2005. (Lihat The Jakarta Post, 22 Oktober 2012).
LSI juga menemukan bahwa intoleransi kaum homoseksual lebih tinggi dari keengganan responden terhadap orang-orang mengikuti agama yang berbeda, berselisih 15,1 persen. Untuk survei, LSI mewawancarai 1.200 responden antara 1 Oktober dan 8 Oktober. Para responden malah lebih suka tinggal bersebelahan dengan apa yang mereka anggap sebagai pengikut aliran sesat seperti Syi'ah dan Ahmadiyah, bukan dengan gay atau lesbian. Survei menunjukkan bahwa 41,8 persen dan 46,6 persen dari responden merasa tidak nyaman tinggal di samping pengikut Syiah atau Ahmadiyah.
"Sebagian besar responden menunjukkan intoleransi [terhadap kelompok-kelompok minoritas] adalah laki-laki, orang-orang yang berpenghasilan rendah dan terbatas-pendidikan," kata peneliti LSI Ardian Sopa saat jumpa pers saat itu.
60 persen responden yang mengaku intoleransi adalah laki-laki. Lebih dari 67 persen dari mereka adalah berpendidikan atau lulusan SMA yang terbaik. LSI juga menemukan bahwa 63,4 persen responden yang mengaku toleran terhadap kelompok minoritas memperoleh pendapatan Rp 2 juta (US $ 208,49) atau kurang per bulan. Sebelumnya pada bulan Juni 2012 lalu, sebuah survei yang diterbitkan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menegaskan asumsi luas bahwa intoleransi agama meningkat di negeri ini. Survei CSIS dilakukan antara 16 Januari dan 24 Januari tahun ini, menemukan bahwa meskipun 83,4 persen responden mengatakan bahwa mereka tidak punya masalah dengan tetangga dari kelompok etnis yang berbeda, tapi 79,3 persen keberatan dengan pernikahan antar-agama.
Dari survei itu terlihat, nampaknya lembaga survei itu mengopinikan bahwa umat Islam Indonesia ini tidak ramah dengan homo, gay dan agama lain. Menteri Agama Suryadharma Ali mengritik keras terhadap survey-survei seperti ini. Ia dalam banyak kesempatan menyatakan bahwa umat Islam Indonesia adalah umat yang ramah atau toleran terhadap agama lain.
Jadi survei yang dilakukan lembaga-lembaga survei terhadap agama atau survei sistematis yang menjatuhkan partai-partai Islam itu nampaknya perlu terus dikritisi. Karena sudah merupakan pengetahuan umum bahwa lembaga survei ini dibiayai oleh pendonor. Dan tentu pendonor punya kepentingan yang besar terhadap hasil survei.
Makanya, pengamat politik dari Universitas Indonesia, Rocky Gerung, menyatakan bahwa lembaga survei politik saat ini membuat kerancuan antara profesionalitas dan intelektualitas. Padahal, sambung pengajar filsafat UI ini, profesionalitas dan intelektualis hal yang berbeda satu dengan lainnya. “Sekarang dicampur aduk, seolah-olah profesional itu intelektual. Kalau intelektual, maka posisinya sepenuhnya netral, karena mengabdi pada metodologi,” katanya.
Justru Rocky menilai kalangan yang mengklaim bekerja secara professional cenderung ingin menghindar dari tudingan ketidakintelektualan mereka. Sayangnya, baik intelektual maupun profesionalitas sama-sama berlindung pada metodologi. “Bedanya, metodologi di intelektual ada ketidaktahuan yang dilindungi oleh teori. Namun kalau profesional berlindung pada kepentingan,” tegasnya. (lihat inilah.com, 5 Juni 2009).
Menurut Rocky, lembaga survei masih mengabdi pada kepentingan klien baik partai politik maupun tokoh. Kendati demikian, ia menilai pilihan intelektual maupun profesional sangat ditentukan pimpinan lembaga.
Memang pengamat-pengamat yang ada di dalam lembaga survei itu kebanyakan berasal dari lulusan jurusan ilmu politik Barat. Dan dalam keilmuan Barat, ekonomi atau uang adalah tujuan tertinggi. Mereka tidak ingin partai-partai Islam atau umat Islam berjaya di negeri ini. Wallahu alimun hakim. [Nahdia Izza]
Tentu hasil survei ini mengejutkan bagi tokoh-tokoh partai Islam. Mereka menganggap bahwa CSIS ingin membuat opini bahwa partai Islam sudah habis dan harus melakukan suatu perubahan fundamental agar perolehan suaranya bisa naik. Diantara saran-saran yang dilakukan pengamat politik CSIS (juga para Indonesianis) adalah agar partai Islam meninggalkan politik aliran, alias menjadi partai terbuka.
Maret 2013 lalu, CSIS membuat survey kembali. Katanya surveinya berlangsung di 33 provinsi dan melibatkan 1200 responden. Survei berlangsung 7-17 Maret 2014. Hasilnya PDIP 20,1%, Golkar 15,8%, Gerindra 11,3%, Hanura 6,7%, PKB 6,7%, Demokrat 5,8%, PAN 4,8%, PPP 3,5%, PKS 3,4%, Nasdem 3,2%, PBB 1,3% dan PKPI 0,5%. (lihat http://news.detik.com/ pemilu2014/read/2014/03/31/131910/2541276/1563/survei-csis--pdip-pemenang-pemilu-tapi-50-pemilih-masih-bisa-berubah?992204topnews)
Anehnya CSIS tidak mau mengoreksi survei sebelumnya. Survei kali inipun menempatkan partai-partai Islam di titik kritis. Lihatlah mereka menempatkan PAN 4,8%, PPP 3,5%, PKS 3,4% dan PBB 1,3%. Hanya PKB yang suaranya lumayan 6,7%. Ulah pengamat politik atau lembaga survey CSIS yang sinis terhadap partai-partai Islam ini mendapat reaksi yang keras intelektual PAN, Drajat Wibowo. “Partai PAN diisukan tidak lolos electoral threshold, mana buktinya? Mereka PhD saya juga PhD. Ternyata hasil-hasil survey itu salah besar,”kata Dradjat menanggapi lembaga-lembaga survey yang memojokkan partainya.
Memang analisa CSIS ini ternyata meleset jauh. Berdasarkan Quick Count Kompas, sampai berita ini ditulis (9 April jam 21.56), PDIP memperoleh suara 19,24%, Golkar 14,87%, Gerindra 11,74%, Demokrat 9,5%, Nasdem 6,74%, Hanura 5,13% dan PKPI 0,95%. Partai-partai Islam mendapat suara yang lumayan. Lihatlah PKB 9,15%, PAN 7,46%, PKS 7,03%, dan PPP 6,75%. Hanya PBB yang nilainya paling kecil 1,46%.
Hasil Quick Count yang menampilkan suara PBB 1,48%, disesalkan oleh Mohammad Al Khathath caleg PBB. Berdasarkan informasi yang diperolehnya, PBB akan masuk Senayan dengan perolehan kursi 20 orang. “Posisi PBB berada di lima besar Dapil Sumut 1, Sumut 2, Sumsel 2, Sulsel 2, Kaltim, Kalteng dan lain-lain,”terangnya.
Bukan hanya dalam masalah pemilu lembaga-lembaga survei melakukan opini. Tahun 2012 lalu Lingkaran Survei Indonesia (LSI) membuat survei tentang intoleransi. Survei yang diterbitkan pada hari Minggu (21/10/2012) mengungkapkan bahwa intoleransi minoritas berkembang, dengan tingkat tertinggi permusuhan diarahkan pada komunitas gay dan lesbian. LSI menemukan dalam jajak pendapatnya, bahwa 80,6 persen dari populasi sampel keberatan untuk memiliki gay atau lesbian sebagai tetangga. Angka tersebut melonjak secara signifikan dari 64,7 persen pada tahun 2005. (Lihat The Jakarta Post, 22 Oktober 2012).
LSI juga menemukan bahwa intoleransi kaum homoseksual lebih tinggi dari keengganan responden terhadap orang-orang mengikuti agama yang berbeda, berselisih 15,1 persen. Untuk survei, LSI mewawancarai 1.200 responden antara 1 Oktober dan 8 Oktober. Para responden malah lebih suka tinggal bersebelahan dengan apa yang mereka anggap sebagai pengikut aliran sesat seperti Syi'ah dan Ahmadiyah, bukan dengan gay atau lesbian. Survei menunjukkan bahwa 41,8 persen dan 46,6 persen dari responden merasa tidak nyaman tinggal di samping pengikut Syiah atau Ahmadiyah.
"Sebagian besar responden menunjukkan intoleransi [terhadap kelompok-kelompok minoritas] adalah laki-laki, orang-orang yang berpenghasilan rendah dan terbatas-pendidikan," kata peneliti LSI Ardian Sopa saat jumpa pers saat itu.
60 persen responden yang mengaku intoleransi adalah laki-laki. Lebih dari 67 persen dari mereka adalah berpendidikan atau lulusan SMA yang terbaik. LSI juga menemukan bahwa 63,4 persen responden yang mengaku toleran terhadap kelompok minoritas memperoleh pendapatan Rp 2 juta (US $ 208,49) atau kurang per bulan. Sebelumnya pada bulan Juni 2012 lalu, sebuah survei yang diterbitkan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menegaskan asumsi luas bahwa intoleransi agama meningkat di negeri ini. Survei CSIS dilakukan antara 16 Januari dan 24 Januari tahun ini, menemukan bahwa meskipun 83,4 persen responden mengatakan bahwa mereka tidak punya masalah dengan tetangga dari kelompok etnis yang berbeda, tapi 79,3 persen keberatan dengan pernikahan antar-agama.
Dari survei itu terlihat, nampaknya lembaga survei itu mengopinikan bahwa umat Islam Indonesia ini tidak ramah dengan homo, gay dan agama lain. Menteri Agama Suryadharma Ali mengritik keras terhadap survey-survei seperti ini. Ia dalam banyak kesempatan menyatakan bahwa umat Islam Indonesia adalah umat yang ramah atau toleran terhadap agama lain.
Jadi survei yang dilakukan lembaga-lembaga survei terhadap agama atau survei sistematis yang menjatuhkan partai-partai Islam itu nampaknya perlu terus dikritisi. Karena sudah merupakan pengetahuan umum bahwa lembaga survei ini dibiayai oleh pendonor. Dan tentu pendonor punya kepentingan yang besar terhadap hasil survei.
Makanya, pengamat politik dari Universitas Indonesia, Rocky Gerung, menyatakan bahwa lembaga survei politik saat ini membuat kerancuan antara profesionalitas dan intelektualitas. Padahal, sambung pengajar filsafat UI ini, profesionalitas dan intelektualis hal yang berbeda satu dengan lainnya. “Sekarang dicampur aduk, seolah-olah profesional itu intelektual. Kalau intelektual, maka posisinya sepenuhnya netral, karena mengabdi pada metodologi,” katanya.
Justru Rocky menilai kalangan yang mengklaim bekerja secara professional cenderung ingin menghindar dari tudingan ketidakintelektualan mereka. Sayangnya, baik intelektual maupun profesionalitas sama-sama berlindung pada metodologi. “Bedanya, metodologi di intelektual ada ketidaktahuan yang dilindungi oleh teori. Namun kalau profesional berlindung pada kepentingan,” tegasnya. (lihat inilah.com, 5 Juni 2009).
Menurut Rocky, lembaga survei masih mengabdi pada kepentingan klien baik partai politik maupun tokoh. Kendati demikian, ia menilai pilihan intelektual maupun profesional sangat ditentukan pimpinan lembaga.
Memang pengamat-pengamat yang ada di dalam lembaga survei itu kebanyakan berasal dari lulusan jurusan ilmu politik Barat. Dan dalam keilmuan Barat, ekonomi atau uang adalah tujuan tertinggi. Mereka tidak ingin partai-partai Islam atau umat Islam berjaya di negeri ini. Wallahu alimun hakim. [Nahdia Izza]
DPD PKS Siak - Download Android App