Select Menu

SaintekSIROH

PKS BERKHIDMAT UNTUK RAKYAT

BERITA SIAK

FIQIH

SIROH

Kesehatan

Saintek

Video Pilihan

Senin, 21 April 2014

Jelang Pilpres, Indonesia Butuh Koalisi yang Menyelamatkan Bangsa


pkssiak.org - Babak baru perpolitikan Indonesia. Pasca Pemilu Legislatif kemarin, dengan suasana panggung politik negara kita yang sekarang sedang galau-galaunya, menurut saya ini adalah masa yang tepat bagi para pelaku politik, untuk sama-sama berhenti sejenak, menghela nafas dan kembali berpikir dengan jernih, mau dibawa kemana bangsa ini?

Perhelatan akbar Pemilu Legislatif kemarin, merupakan satu tolak ukur, bahwa rakyat sudah jenuh dengan kondisi yang begini-begini saja. Dan setelah ini, rakyat akan kembali disuguhkan dengan drama koalisi menuju pilpres.

Koalisi merupakan satu hal yang cukup kompleks. Seharusnya, koalisi bukan sekedar “Partai kami dapat apa?”,melainkan,  lagi-lagi seharusnya : “Negara ini mau dibawa kemana?”.

Rakyat sudah jenuh dihadapkan dengan dagelan-dagelan para partai politik. Sudah bosan dengan arobat-akrobat pencitraan berhias kepentingan nafsu kekuasaan. Menurut saya, ini bukan pencerdasan politik yang mencerdaskan. Karena apa yang dijual melalui media yang sebagian besar dimiliki tokoh-tokoh politik, sangat jauh dari apa yang rakyat harapkan. Nyatanya, tak ada yang menjadi pemenang mutlak dari Pileg kemarin. PDIP, partai pemenang Pileg versi Quick Count pun hanya mendapat suara kurang dari 19% , itupun dipenuhi dengan penggelembungan suara yang buktinya banyak beredar di dunia maya. Demokrat, dengan iklan anti korupsinya yang lumayan sering muncul pun, harus menerima kenyataan yg cukup pahit. Bahwa perolehan suaranya lumayan merosot pula. Begitu pula dengan PKS. Partai yang tadinya diprediksi tidak lolos ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) justru mendapat perolehan suara 7% versi Quick Count.

Tak ada yang bisa melenggang dengan santai di babak Pilpres ini. PDIP pun masih harus mencari kawan agar bisa mengajukan Capres yang diusungnya. Mungkin dengan menggaet satu atau dua partai saja untuk berkoalisi, PDIP sudah memiliki tiket ke babak Pilpres. Bisa saja Jokowi masih jadi daya tarik tersendiri bagi partai politik yang sekarang sedang dikuasai oleh suasana pragmatis : Yang penting partai saya berada dalam barisan penguasa. Tapi hemat saya, itu saja tidak cukup. Selain dari syarat perolehan suara, perolehan kursi di parlemen pun harus menjadi pertimbangan juga. Karena bisa saja, ada partai yang perolehan suaranya banyak, namun perolehan suara atas nama calegnya, tidak tersebar secara merata. Sehingga keseimbangan yang nantinya dibutuhkan dalam voting-voting di DPR tidak membantu banyak untuk setiap keputusan yang diperbincangkan.

Banyak berita-berita di media online yang menyatakan bahwa koalisi yang diusung PDIP, belum tentu benar-benar terjadi.

Dalam berita di link ini misalnya :

http://m.inilah.com/read/detail/2093535/awas-nasdem-membelot-jokowi-bisa-gagal-nyapres

Akhirnya koalisi jadi seperti gerbong kosong. Ditambah dengan urusan-urusan dapur dari masing-masing parpol yang ada. Namanya koalisi, harus dipikirkan juga dampak jangka panjangnya. Saat ini saja, di tubuh PDIP sendiri sedang mengalami beberapa konflik. Baik antara kekecewaan Puan terhadap ‘pesona’ Jokowi, yang ternyata hanya menghasilkan kurang dari 19%  suara. Atau Guruh yang tetap kukuh dengan idealismetrah Soekarno-nya. Puan yang ternyata disinyalir ingin menjadi cawapres. Dimulai dengan konflik-konflik internal yang sentimennya akan tetap ada ketika koalisi berjalan nanti, akhirnya pemerintahan dengan koalisi gerbong kosong ini, justru akan semakin membuat rakyat Indonesia kembali dicuekin lagi dengan pemerintahan yang ada.

Lembaga-lembaga survey nampaknya memang telah membuat parpol-parpol pragmatis menjadi terbuai. Sehingga koalisi yang sebetulnya masih terlalu dini, menjadi isu hangat yang lebih menarik dibahas ketimbang penjagaan perolehan suara Pileg ini.

Bagaimana mungkin PKB, yang katanya partai islam, justru berkoalisi dengan partai terkorup dan partai yang melakukan penggelembungan suara paling nyata di form C1-nya. Bagaimana bisa, Nasdem, yang dipimpin oleh salah satu mantan petinggi Golkar, yang notabenenya partai yang sudah cukup dewasa di panggung politik ini, justru merapat ke PDIP. Apa Nasdem tidak takut, jika perolehan suaranya hanya dimanfaatkan untuk sekedar mendapatkan tiket ke Pilpres.

Belum lagi, isu yang kencang berhembus, tentang kepentingan asing terhadap pencapresan Jokowi. Atau kepentingan golongan-golongan etnis tertentu yang menjanjikan dana segar terhadap koalisi yang masih terlalu pagi ini. Atau, bagaimana, jika nanti PDIP kembali ingkar, sebagaimana ingkarnya Megawati terhadap Prabowo akan perjanjian batu tulis. Dan pencapresan jokowi yang sepihak, padahal saat ini, Jokowi masih sebagai Gubernur Jakarta, yang dalam proses kemenangannya PDIP berkoalisi dengan Gerindra.

Jika ke sesama rekan politik saja dengan mudah berkhianat, untuk kepentingan partainya, bagaimana bisa PDIP setia terhadap janjinya kepada rakyat. Jika harus dirunut ulang, nampaknya sudah terlalu banyak janji-janji yang dilanggar oleh partai berlambang banteng ini.

Ditambah dengan fakta-fakta lapangan yang beredar tentang kekuatan dan kepentingan yang berada dibalik Jokowi dan PDIP. (sumber : http://m.liputan6.com/indonesia-baru/read/2038596/jokowi-bertemu-dubes-as-amien-rais-blunder-luar-biasa)

Apakah sudah tidak ada lagi, parpol yang berpikiran, untuk membangun koalisi penyemalatan Indonesia? Atau kita biarkan saja negeri ini dipimpin oleh partai yang memiliki riwayat penyakit yang terbiasa melakukan kecurangan, dan merusak negara secara perlahan. Atau mungkinkah, justru rasa cinta kita terhadap negeri ini, sudah kalah oleh ambisi kekuasaan dan kepentingan terhadap golongan sendiri terlebih lagi kepentingan asing? Semoga tidak.

Oleh: Indah Pebriandini
Follow @NdaAndhini on Twitter

_____
http://m.kompasiana.com/post/read/648340/3/jelang-pilpres-indonesia-butuh-koalisi-yang-menyelamatkan-bangsa.html
0 Comments
Tweets
Komentar