pkssiak.org - Sentimen bernuansa agama di Myanmar dan konflik horizontal di Republik Afrika Tengah sampai hari ini belum menunjukkan tanda perdamaian. Myanmar lewat survei resminya tak mengakui keberadaan Rohingya - memaksanya menyebut diri etnik pendatang. Sementara umat muslim non Rohingya mengalami diskriminasi dan hidup di pengungsian. Fakta serupa dialami muslim di Afrika Tengah.
"Sebagai negara cinta damai, dan mukadimah konstitusi kita menegaskan ikut menjaga ketertiban dunia, terhadap fakta menyolok di dua negara itu perlu sikap konkret bangsa Indonesia. Jangan tunda sampai korban menderita bahkan terus bertambah hingga banyak kehilangan nyawa," ungkap Presiden ACT Ahyudin.
Hal itu diungkap dalam refleksi sembilan tahun ACT berkarya untuk kemanusiaan. Tagline kerja ACT 2014, Bangkitkan Kemanusiaan Kita, ungkap Ahyudin, bermakna ke dalam negeri juga global. Rekam jejak ACT di Tanah Air maupun luar negeri tak kurang dari 30 negara, wujud kebesaran Indonesia sebagai bangsa.
Bangsa Indonesia layak bangga pula, sejak lama berpartisipasi aktif menjaga perdamaian dunia. Sayangnya, di krisis Afrika Tengah dan Myanmar, negara Indonesia seakan berdiam diri. Meski Indonesia tetap mengirim misi perdagangan internasional ke Myanmar, bahkan mengirim kontingen di pesta olahraga regional beberapa waktu lalu.
“Bisnis dan olahraga persahabatan memang penting, tapi penyelamatan nyawa manusia jauh lebih penting," ungkap Ahyudin.
ACT telah delapan kali mengirim misi kemanusiaan untuk pengungsi Rohingya maupun muslim non-Rohingya di negeri berpenduduk mayoritas Budha ini.
"Seharusnya atas nama kemanusiaan, peran memulihkan perdamaian ikut dimainkan negeri sebesar Indonesia," tegas Ahyudin.
Prestasi Indonesia dalam sejarah perdamaian, harus kian cemerlang bersama misi kemanusiaan masyarakat sipil Indonesia seperti ACT dan lembaga kemanusaan lainnya. Menurut catatan, Pasukan TNI yang ikut misi perdamaian dunia dibawah bendera PBB dengan sebutan Kontingen Garuda atau disingkat Konga, sudah berperan aktif sejak Kontingen Garuda I pada 8 Januari 1957 ke Mesir hingga sekarang.
Fakta ini selayaknya tak putus untuk negeri terdekat Myanmar dengan ratusan ribu pengungsinya, juga Afrika Tengah dengan fenomena pembantaian tak terhentikan di sana. "Semoga pasukan perdamaian Indonesia, bisa mengawal aksi kemanusiaan bangsa Indonesia di zona merah ini. Nyawa lebih bernilai ketimbang hal apapun di dunia ini," pungkas Ahyudin.
Kontingen Garuda, bisa bersama-sama tim kemanusiaan ACT, memastikan misi kemanusiaan di Myanmar dan Afrika Tengah yang dilakoni penuh risiko oleh pegiat kemanusiaan dari Indonesia, mendapat pengawalan memadai.
"Jadi lembaga kemanusiaan seperti ACT tak perlu bertaruh nyawa hanya untuk kirim beras, obat-obatan atau membangun shelter," ungkap Ahyudin.[act/im]