ilustrasi |
pkssiak.org - Antara izzah dan ghurur sepertinya memiliki perbedaan tipis.
Ada kebanggaan/izzah dengan jumlah bilangan yang banyak saat Rasulullah saw
bersama sekitar 10.000 pasukannya dari berbagai suku memasuki Mekkah. Namun
yang terjadi pada perang Hunain adalah ghurur ketika merasa jumlah yang banyak
mampu memenangkan peperangan. Perbedaannya terletak pada ada atau tidaknya
ihbat (merendahkan diri kepada Allah swt).
Maka periksalah keberadaan ihbat di hati kita saat ini, ya
ikhwatifillah, setelah kita melihat massa yang besar memenuhi seluruh tribun di
Gelora Bung Karno bahkan hingga ke pinggir lapangan, pada kampanye perdana 16
Maret 2014 lalu. Adakah kerendah hatian di hadapan Tuhan? Atau telah berganti
menjadi perasaan kibr (sombong) dan merasa di atas angin yang menyebabkan kita
terjebak pada ghurur (tertipu) dengan jumlah itu?
Jumlah tidak menjadi sebab untuk memenangkan perang. Tholut
menjadi saksi, dan kisahnya di Al-Qur'an sudah kita ikuti. Apalagi sekedar
jumlah peserta kampanye. Contoh nyata, penuhnya Gelora Bung Karno pada kampanye
PKS tahun 2009 lalu tidak menjadi sebab Jakarta dikuasai untuk kedua kalinya
oleh PKS. Atau melubernya peserta kampanye Hidayat+Didik 2012 lalu juga tidak
berbanding lurus dengan suara yang diraih. Malahan, Partai Demokrat yang saat
kampanye di GBK tahun 2009 tidak mampu menyaingi jumlah massa kader PKS,
berhasil menang di Jakarta. Atau Jokowi-Ahok yang kampanyenya tidak seramai
Hidayat+Didik dan Foke-Nara di pilgub kemarin keluar sebagai pemenang di Jakarta.
Memberi arti tentang keramaian dan keriuh-rendahan kampanye
PKS pekan lalu bukanlah dengan merasa pasti bahwa partai ini akan mencapai apa
yang ditargetkan oleh sebab jumlah yang banyak itu. Keramaian itu bisa memberi
izzah, bangkitnya gengsi di hadapan orang-orang yang ingin partai ini
tenggelam, dengan disertai rasa kerendah hatian di hadapan Allah swt.
Bersyukur, karena dengan sesaknya GBK, Allah swt telah menguatkan perasaan kita
kembali yang sempat gentar oleh caci maki masyarakat. Pertanda bahwa masyarakat
masih mempercayai kita. Itu adalah modal untuk berbuat lebih banyak dan lebih
gigih lagi.
Jangan sampai perasaan ghurur Hunain menjangkiti kita.
Perasaan sudah menang membuat potensi tidak dikeluarkan secara optimal. Yang
ada malah saling mengandalkan. Bukannya saling berlomba untuk menjadi yang
terdepan dalam memberikan perlawanan, malah memilih mundur saat mendapat
serangan hebat.
Kalau kita mulai berpangku tangan, tanda ghurur sudah
menjangkiti. Tapi kalau kita semakin bergairah dan percaya diri untuk berkerja,
maka kita telah memiliki izzah.
Ikhwatifillah, masih jauh kemenangan itu. Bila pemimpin
berkata telah mencium aroma kemanangan, itu memang benar dengan segala
kerendahan hati di hadapan Tuhan. Tapi aroma akan tinggal aroma bila yang kita
lakukan bukannya merengsek ke hadapan, malah asyik bernostalgia
membangga-banggakan bilangan.
Allahua'lam bish-showab.