“Selama ini rancu banyak orang mengaku pengamat, padahal dia
konsultan politik yang mendapatkan keuntungan materi dari klien-klien
mereka. Mereka sudah tidak boleh menyebut diri pengamat di muka publik
kalau membela kepentingan pihak yang membayar. Media juga harus jeli
untuk tidak meminta komentar mereka karena pasti membela siapa yang
membayar,” ujar Fahri Hamzah kepada wartawan di Jakarta, Sabtu
(22/3/2014).
Menurutnya, pengamat memiliki pengamatan yang baik untuk bangsa ini,
sementara konsultan yang berkedok pengamat hanya memiliki tujuan
ekonomis saja. Mereka sama sekali tidak peduli apakah klien atau calon
pemimpin yang mereka usung bagus atau tidak untuk negeri ini. “Yah
kepentingan mereka ekonomis saja,” tegasnya.
Para konsultan politik itu, kata Fahri selama ini membuat gaduh
dengan tampilan diri sebagai pengamat. Mereka yang menerima bayaran
tentunya tidak akan independen jika diminta komentarnya sebagai
pengamat. Para konsultan politik ini bahkan tidak segan-segan untuk
berkreasi dengan menipu masyarakat seolah klien mereka adalah orang yang
paling layak menjadi pemimpin di Indonesia.
“Kita tahu lah cara kerja mereka. Mereka bahkan tidak segan-segan
membuat survei hasil rekayasa mereka sendiri dan mereka publikasikan
seolah itu kehendak rakyat. Mereka juga main di sosial media dan
cara-cara apapun. Sudah saatnya media dan masyarakat menilai dengan
lebih jernih,” katanya.[tribunnews]