Taubatnya Para Penyihir Firaun
By: Abul Ezz
Selasa, 11 Februari 2014
0
pkssiak.org - Oleh: (alm) Nurul F Huda
Episode surat Asy Syu’ara’ ayat 41 sampai dengan 51 alias Penyihir Fir’aun. Sebuah episode keimanan yang di ayat 46 sampai 51 mampu menggedor dada dan membuat mata terkembang air. Sebuah proses keimanan revolusioner yang sungguh luar biasa! Benar-benar jauh dari jangkauan keimanan yang bisa saya bayangkan.
41. Maka tatkala Ahli-ahli sihir datang, merekapun bertanya kepada Fir'aun: "Apakah Kami sungguh-sungguh mendapat upah yang besar jika Kami adalah orang-orang yang menang?"
42. Fir'aun menjawab: "Ya, kalau demikian, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan menjadi orang yang didekatkan (kepadaku)".
43. Berkatalah Musa kepada mereka: "Lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan".
44. Lalu mereka melemparkan tali temali dan tongkat-tongkat mereka dan berkata: "Demi kekuasaan Fir'aun, Sesungguhnya Kami benar-benar akan menang".
45. Kemudian Musa menjatuhkan tongkatnya Maka tiba-tiba ia menelan benda-benda palsu yang mereka ada-adakan itu.
46. Maka tersungkurlah Ahli-ahli sihir sambil bersujud (kepada Allah),
47. Mereka berkata: "Kami beriman kepada Tuhan semesta alam,
48. (yaitu) Tuhan Musa dan Harun".
49. Fir'aun berkata: "Apakah kamu sekalian beriman kepada Musa sebelum aku memberi izin kepadamu? Sesungguhnya Dia benar-benar pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu Maka kamu nanti pasti benar-benar akan mengetahui (akibat perbuatanmu); Sesungguhnya aku akan memotong tanganmu dan kakimu dengan bersilangan dan aku akan menyalibmu semuanya".
50. Mereka berkata: "tidak ada kemudharatan (bagi kami); Sesungguhnya Kami akan kembali kepada Tuhan Kami,
51. Sesungguhnya Kami Amat menginginkan bahwa Tuhan Kami akan mengampuni kesalahan Kami, karena Kami adalah orang-orang yang pertama-tama beriman".
Bagaimana tidak luar biasa? Yang beriman ini adalah para penyihir. Saat itu di Mesir, penyihir memiliki kedudukan yang strategis. Kerajaan Mesir boleh dikatakan dikendalikan oleh penyihir, hidup di dunia sihir, masyarakat menjadikan sihir sebagai referensi. Maka, apalagi yang hendak dicari para penyihir? Reputasi, jelas. Kedudukan sosial, pasti. Uang, otomatis. Maka, ketika mereka akhirnya memilih keimanan, ini tebusan yang mahal (dalam ukuran dunia). Mereka harus siap kehilangan segala-galanya.
Tengoklah, bagaimana Allah membekali RasulNya apa yang sesuai dengan ukuran-ukuran manusia top saat itu. Nabi Musa diberi mukjizat tongkat dan tangan yang bercahaya setelah dimasukkan ke dalam jubah, karena memang saat itu, negeri yang dituju, manusia paling diakui, ilmu paling dicari, adalah sihir. Simak komentar Fir’aun setelah menyaksikan mukjizat tersebut, “Sesungguhnya dia (Musa), pasti seorang penyihir yang pandai!” (ayat 34).
Maka, atas usul para pemukanya, Fir’aun pun mengumumkan ke khalayak ramai agar berkumpul menyaksikan “perang sihir” antara Musa dan para penyihir pilihan. Karena ini tanding kelas wahid, saya bayangkan, Fir’aun dan pemukanya melakukan uji kelayakan yang ketat terhadap para penyihir. Iya, dong. Ini menyangkut eksistensi seorang Fir’aun, manusia paling sombong yang berani mengatakan “Ana robbukumul a’la” (Sayalah tuhan yang paling tinggi). Masak, tuhan kalah dengan “pelarian” yang membawa tongkat dan tangan bercahaya? Jadi, Fir’aun mempertaruhkan banyak hal di sini.
Kita akan masuk pada ayat-ayat yang menggetarkan itu (41 sd 45). Para penyihir tersebut datang dengan karakter penyihir. Apa yang mereka katakan kepada Fir’aun? Mereka bicara tentang imbalan yang besar (materi, uang, kekayaan). Apa jawab Fir’aun? Jelas, mereka dijanjikan imbalan besar bahkan lebih dari itu, mereka dijanjikan kedudukan yang dekat dengan Fir’aun. Ha, apalagi yang lebih menggiurkan? Kekayaan dan kedudukan akan menarik kesenangan-kesenangan yang lain (perempuan, makanan-minuman, kemegahan penampilan, dll).
Di sini kita lihat, bagaimana pola pikir para penyihir. Ya, duniawi sekali. Merasa akan mendapatkan imbalan besar dan yakin dengan kemampuannya (maklum, sudah bertahun-tahun menjadi penyihir, terbaik di Mesir, yang dihadapi “pemuda kemarin sore”), mereka pun dengan pede mengatakan, “Demi kekuasaan Fir’aun, pasti kamilah yang akan menang”. Perang tanding pun dimulai dengan adu “bikin” ular.
Inilah bagian yang paling menakjubkan, menggetarkan, membuat saya sudah tidak bisa lagi mengira-kira, apalah jenis keimanan saya ini. Jauuuuuuuh dibanding para penyihir tersebut, yakni ayat 41 sd 51. Melihat ular Nabi Musa, para penyihir langsung menyungkur, beriman, dan berani menentang ancaman Fir’aun!
Entah, berapa menit (jam?) adu ular itu, namun perubahan dari titik hitam penyihir (penyihir pastilah “menyembah” setan, kalau diruqyah, jin-jin di tubuhnya sudah menjadi kerajaan), belum sekalipun mendengar dakwah tentang Tuhan, selain tuhan Fir’aun, hidup sebagai manusia yang kuat eksistensinya dari sisi apa pun, bisa seketika langsung beriman! LANGSUNG! Apalagi proses keimanan yang lebih revolusioner dari ini? Berubah seketika!
Resiko yang dihadapi? Bukan hanya kehilangan apa yang dimiliki, apa yang dijanjikan, namun ancaman mematikan yang mengerikan. Mengerikan! (“….pasti akan kupotong tangan dan kakimu bersilang dan sungguh, akan kusalib kamu semuanya!”). Dipotong tangan dan kaki. Padahal, di pangkal-pangkal bagian tubuh itulah ada pembuluh arteri yang jika tertusuk saja darah segar akan segera menyembur. Sakit? Bunuh diri yang paling menyakitkan adalah dengan memotong nadi. Darah mengucur, tubuh lemas, baru kemudian mati kehabisan darah. Ini, dipotong tangan dan kaki. Fir’aun benar-benar paham anatomi dan mutilasi. Disalib. Rasanya, hukuman gantung masih lebih manusiawi daripada penyaliban. Yang diancamkan Fir’aun bukan sekedar hukuman, namun psi war, perang psikologis, teror, penyiksaan. Mati pelan-pelan.
Jawaban para penyihir sungguh mengharukan, “Tidak ada yang kami takutkan karena kami akan kembali pada Tuhan kami (mati=bertemu Tuhan).” Lalu, ayat berikutnya lebih mengharu-biru, “Sesungguhnya kami SANGAT menginginkan sekiranya Tuhan kami MENGAMPUNI kesalahan kami karena kami menjadi YANG PERTAMA-TAMA beriman.” Kesadaran akan kesalahan di masa lalu, harapan yang besar akan masa depan (akhirat) karena pilihan yang memang penuh pengorbanan. Yang patut diingat, perang tanding ini dilakukan di hadapan khalayak. Maka, bisa dibayangkan betapa malunya Fir’aun. Di sisi lain, secara tidak langsung para penyihir telah meninggalkan “kader-kader” orang beriman kemudian.
Mengapa para penyihir itu beriman? Al Fahmu. Kefahaman. Ilmu. Mereka tahu apa itu sihir berikut segala produk dan “pembuatannya”. Maka, saat mereka menyaksikan ular besar Nabi Musa, mereka langsung paham, bahwa yang ada dihadapan mereka BUKAN SIHIR. Mereka sadar, mereka tidak akan menang. Ini kekuatan yang lain. Kefahaman dan kesadaran yang membawa ketundukan dan keimanan luar biasa. Keimanan yang harus ditebus dengan semua yang dimiliki, termasuk nyawa.***
DPD PKS Siak - Download Android App