Sang Presiden di Mata Sang Guru
By: Abul Ezz
Kamis, 27 Februari 2014
0
pkssiak.org, Makassar (26/2) -
Awal tahun 1980 datang seorang anak kecil bersama pamannya ke Pesantren
Darul Arqam untuk mendaftarkan diri sebagai santri. Anak bertubuh kurus
itu menjadi santri paling kecil diantara ratusan santri lainnya.
Demikian penuturan seorang guru di Pondok Pesantren Darul Arqam, Ustadz
Abdul Djalil Thahir ketika bincang-bincang santai bersama tim media
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan (Sulsel) baru-baru ini.
"Santri kecil itu
bernama Anis Matta, bocah bertubuh kecil tapi pemberani," katanya dalam
rilis yang diterima Humas DPP PKS, Rabu (26/2).
Abdul Djalil
melanjutkan ceritanya bagaimana Anis Matta dalam usia 11 tahun mampu
menjadi santri yang melebihi santri-santri lainnya. "Awalnya banyak
santri yang tidak memperhitungkan Anis Matta, namun dengan berjalannya
waktu, anak itu memperlihatkan kemampuannya, kecerdasannya dan
kepiawaiannya dalam berkata-kata membuatnya diakui oleh semua santri
Darul Arqam," tuturnya.
Sosok Cerdas dan Disiplin
"Di Pesantren ini,
kalian harus siap "dipalu", "digergaji", kalian memang tidak merasakan
manfaatnya saat ini, tapi kalian akan merasakan manfaatnya saat keluar
nanti," demikian nasihat yang seringkali dilontarkan Abdul Djalil kepada
ratusan santrinya. Abdul Djalil yang merupakan guru bahasa arab di
Darul Arqam mengatakan bahwa Anis Matta sosok santri yang disiplin, Anis
diakuinya tidak pernah terlambat datang ke kelas.
“Saya sangat tegas
jika mengajar, santri yang terlambat boleh mengikuti pelajaran tapi
dengan syarat berdiri sampai pelajaran usai. Anis Matta tidak pernah
terlambat mengikuti pelajaran, dia anak yang rajin.” Ungkap lelaki
kelahiran 1945 ini.
Di Pesantren,
lanjut Djalil, Anis Matta adalah sosok yang ramah, dia tidak punya musuh
dan tidak pernah bertengkar. "Dia disukai banyak orang karena
kecerdasan dan kebaikannya," ungkapnya.
Nasi Kecap yang Membuatnya Jadi Orang Besar
Anis Matta pernah
menceritakan dalam orasi-orasinya ketika melakukan konsolidasi dengan
kader di daerah bahwa menu sarapan paginya hanyalah seporsi nasi kecap.
Namun dari nasi kecap itulah ia kelak akan menjadi orang besar,
begitulah guru-gurunya sering menasehatinya.
Selain nasi kecap,
sumur tempat para santri mandi pun jauh dari dari pondok, berjarak 1
kilometer dan dikelilingi kubangan kerbau, membuat air sumur tersebut
bau.
"Yah, nasi kecap
dan air bau itulah yang membuat Anis menjadi orang besar dan
berkarakter," ujar Abdul Djalal. Apa yang dinasehatkan para gurunya
ternyata benar adanya.
Dan kini ada dua
santri cerdas luluan Darul Arqam, Anis Matta yang kini menjadi Presiden
PKS dan Shamsi Ali yang kini menjadi Imam Besar di Amerika Serikat.
Sosok yang Kritis
"Kalau kamu tidak
bisa melawan dan memgalahkan saya, berarti kamu bukan murid saya" itulah
kalimat yang pernah terlontarkan dari Abdul Djalil kepada Anis semasa
berpondok di Darul Arqam.
Salah satu karakter
Anis Matta yang disukai oleh Abdul Djalil adalah sikap kritisnya. Dalam
usia masih belasan tahun, Anis berani menyampaikan kritikannya jika
merasa tidak sesuai dengan pendapatnya. Menurut Abdul Djalil itu adalah
karakter pemimpin. Ayah dari delapan anak ini menceritakan sikap kritis
Anis Matta yang tidak bisa dia lupakan.
“Saat itu Anis
Matta kelas 6 (Tiga Aliyah), kebijakan di pesantren, santri aliyah
dimasukkan ke jurusan IPA, Anis dan teman-temannya tidak setuju, karena
harusnya mereka di jurusan syariah dan tarbiyah, tapi karena saat itu
saya lagi di luar kota mengikuti pendidikan selama 3 bulan maka dia
belum sempat protes,” Kenang Abdul Djalil.
Menurutnya, Anis
tidak bisa menahan gejolak ketidak setujuannya, maka dia mendatangi
rumah Abdul Djalil dan bertemu dengan istri Sang Guru, Khaeriah Abdul
Jabbar.
“Bu, tolong berikan alamatnya ustad, kami mau kirim surat, kami tidak mau seperti ini,” protes Anis di depan istri Abdul Djalil.
Khaeriah tidak
memberi dan mengijinkan Anis untu mengirimkan surat protesnya. “Tidak
bisa, kamu tidak boleh mengganggu suami saya yang sedang ikut
pendidikan, kalau mau protes nanti saja ketika dia sudah pulang,” tegas
Khaeriyah menolak permintaan Anis, maka Anis pun menahan keinginannya
hingga Sang Guru kembali ke pesantren.
Saat kembali dari
pendidikan, Abdul Djalil melihat gejolak dan sikap kritis di mata Anis,
maka dia menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan kebijakan
pesantren.
“Kenapa kalian
tidak mau belajar IPA? Padahal dalam Al-quran itu isinya tentang alam
dan cara mengatur alam,” kata Abdul Djalil menjelaskan panjang lebar di
depan ratusan santri, Anis mendengarkan dengan seksama.
Setelah itu tidak
ada penentangan, Suami dari Khaeriyah Abdul Djabbar itu sangat paham
bahwa Anis memang kritis jika tidak ada hal yang sesuai dengan
pemikirannya, namun setelah mendapat penjelasan dan masuk akal maka dia
akan menjadi orang yang sangat patuh.
Sosok Cinta Membaca dan Menulis
Siapa yang tidak
mengenal Anis Matta dengan buku Serial Cinta nya. Ternyata Putra
kelahiran Bone itu telah memulai karir menulisnya saat dia masih di
Pesantren Darul Arqam, tulisan sastra berupa puisi pernah dimuat di
koran lokal, dan tulisannya juga sering menghiasi buletin iqro, buletin
yang diterbitkan oleh Pesantren Darul Arqam.
Anis adalah sosok
yang selalu menggunakan waktunya dengan baik, tidak ada waktu yang
dibiarkan terbuang percuma, dia selalu mengisi waktu luangnya dengan
membaca.
“Makanya kalau dia
berbicara, dia bisa menyambungkan peristiwa-peristiwa, itu semua didapat
dari membaca.” Ungkap lelaki pendiri Pesantren Darul Aman itu.
Menjadi Sekretaris Sejak Aliyah
Abdukl Djalil
pernah mengatakan bahwa jika ingin menjadi ketua yang sukses, jadilah
sekretaris yang sukses. Hal ini diterapkan dengan baik oleh Anis Matta
dalam sepak terjanganya di dunia organisasi.
Sebelum menjadi
presiden Partai Keadilan Sejahtera, Anis Matta adalah Sekretaris
Jenderal sejak Partai Keadilan terbentuk pada tahun 1998. Pengalaman
menjadi sekretaris ternyata sudah dijalani oleh bintang Darul Arqam itu
sejak kelas 5 (2 Aliyah). Saat itu Anis menjadi sekretaris OSIS yang
diketuai oleh Thalabuddin Welete.
Abdul Djalil yang
juga pembina OSIS sengaja menempatkan Anis sebagai sekretaris karena dia
melihat ada karakter kepemimpinan dalam dirinya.
“Sekretaris yang
sukses bisa menjadi ketua yang sukses, sedang ketua yang sukses belum
tentu menjadi sekretaris yang sukses,” kata Abdul Djalil kepada Anis
Matta saat itu.
Anis menjalankan
tugasnya sebagai sekretaris OSIS selama satu tahun, Abdul Djalil
menganggap bahwa dia sukses menjadi sekretaris saat itu.
Bintang di Dalam dan Luar Pesantren
Jika Anis menjadi
presiden RI, maka Shamsi Ali jadi menteri luar negerinya. Demikian
dikatakan Abdul Djalil dalam wawancaranya kepada tim media PKS Sulsel.
Anis Matta
menyelesaikan pendidikan di Darul Arqam pada tahun 1986 sebagai lulusan
terbaik. Dia menjadi bintang di Darul Arqam, tidak ada yang bisa
menggeser Anis dari posisi pertama hingga kelulusannya. Abdul Djalil
menuturkan bahwa salah satu santri yang sama cerdasnya dengan Anis Matta
adalah Shamsi Ali, santri dari Kajang Bulukumba yang saat ini menjadi
Imam Besar di Amerika Serikat. Shamsi Ali adalah Junior Anis Matta.
“Anis angkatan 1986
sedang Shamsi Ali angkatan 1987. Mereka sama-sama cerdas," ungkap salah
satu pendiri Yayasan Pembina Dakwah Islamiyah itu.
Lelaki yang juga
perintis Pesantren Darul Istiqamah ini menyatakan bahwa Jika Anis Matta
menjadi Presiden RI maka Shamsi Ali layak menjadi menteri luar negeri.
“Mereka adalah
sosok yang cerdas, sahabat akrab, jiwa leadership ada pada diri mereka,"
lanjut sosok yang juga menjadi calon DPD RI nomor urut 4 ini.
Bintang Darul Araam
itu serasa tidak pernah redup, setelah kelulusannya daripesantren, Anis
melanjutkan kuliah di LIPIA Jakarta. Kecerdasannya terus bersinar
hingga ia ditawarkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S2 di Saudi
Arabia. Namun Anis menolaknya, ia lebih memilih keasyikannya dalam
tarbiyah di bumi pertiwi.
Keputusan Anis sempat merisaukan sang Guru. Namun Abdul Djalil meyakini bahwa Anis sudah menimbang-nimbang keputusannya.
"Saya lebih memilih
untuk dalam tarbiyah disini ustadz (di Indonesia. red)," ujar Anis saat
itu. Anis menjelaskan alasannya bahwa ia lebih memilih gerakan tarbiyah
yang kini menjadi cikal bakal berdirinya Partai Keadilan yang saat ini
telah berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
“Lihatlah, itu
adalah keputusan yang tepat, dia memang cerdas dan penuh pertimbangan.
Gerakan tarbiyah yang dia pilih menjadikannya dikenal seperti sekarang,"
kata Abdul Djalil sembari tersenyum mengisahkan Anis Matta.
Dengan kesibukannya
yang sangat padat sebagai presiden PKS dan salah satu kader yang
dijadikan calon presiden dari PKS, Anis tidak sendiri dalam menjalani
tugasnya. Ahmad Sahal, anak ke-4 dari gurunya menjadi sekretaris
pribadinya.
Ahmad Sahal sendiri
adalah seorang penghafal Al-qur’an sejak usianya masih belasan tahun,
dia menghafal Al-quran di Pakistan saat mengikuti ayahnya yang sedang
kuliah di Universitas Internasional Islamabad. Sahal adalah orang asing
pertama yang menghafal Al-quran 30 juz di Islamabad. Dari Ahmad Sahal
inilah Sang Guru mendapatkan informasi tentang keseharian Anis Matta.
Pesan Sang Guru untuk Sang Presiden
Abdul Djalil tidak meragukan kemampuan murid terbaiknya itu. Menurutnya, Anis memang layak menjadi Presiden RI.
"Niat untuk menjadi RI-1 harus dipermantap, karena kamu memenuhi persyaratan untuk itu," pungkasnya.
DPD PKS Siak - Download Android App