Gelas dan Teh Kehidupan
By: Abul Ezz
Senin, 24 Februari 2014
0
pkssiak.org - Ini sebuah cerita tentang teh
kehidupan. Walau pada mulanya saya tidak begitu dalam memahami pesan
cerita ini, namun sekarang cerita ini menjadi ruh dan pandangan saya
dalam menjalani hidup. Bahkan sampai saat ini. Alkisah ada seorang guru
yang sangat disegani oleh para siswa. Setiap ia mengajar di depan kelas,
para siswa sangat antusias mengikuti proses pembelajaran yang
ditawarkan oleh beliau. Mulai dari mendengarkan segala pembahasan,
hingga banyaknya pertanyaan yang muncul ketika sesi tanya jawab dibuka.
Sang guru pun tidak pernah lalai melekatkan senyum di wajahnya saat
berinteraksi dengan para siswa.
Suatu ketika, guru tersebut masuk ke
dalam kelas dengan keadaan yang tidak biasa. Ia membawa teko, dan
berbagai macam gelas. Teko tersebut berisi teh hangat. Ia juga membawa
sejumlah gelas yang beraneka ragam, ada yang terbuat dari kaca, plastik
dan alumunium. Di antara ketiga jenis gelas tersebut, gelas kaca yang
dibawa olehnya nampak berbeda, ia terlihat berkilau seperti halnya gelas
yang harganya cukup mahal. Sedangkan gelas plastik nampak kusam, karena
warnanya agak luntur. Walau ketiga jenis gelas tersebut sudah dicuci
bersih, namun gelas plastik masih nampak tidak begitu menarik.
Guru tersebut berdiri di depan kelas,
kemudian mengucapkan salam. “Wa’alaykumussalam Warahmatullahi
Wabarakatuh” Serentak salamnya dijawab oleh para murid dengan antusias
menanti apa yang akan disampaikan oleh sang guru. Beberapa saat
kemudian, guru tersebut mengajak para murid di dalam kelas untuk
menikmati teh hangat yang dibawanya. Sontak, para murid teriak
kegirangan mendengar ajakan ini. Sebelum mereka menikmati teh, sang guru
menjelaskan bahwa ia membawa tiga jenis gelas yang berbeda. Para siswa
bebas memilih gelas yang paling disukai.
Tanpa menunggu lama, para murid
berhamburan dan bergegas mengambil gelas-gelas yang sudah tersedia di
depan kelas. Walau sebenarnya jumlah gelas mencukupi, namun mereka
berlomba-lomba untuk mendapatkan gelas yang mereka ingini. Tentu saja,
secara kasat mata. Gelas kaca lebih banyak diminati dibandingkan gelas
alumunium atau plastik. Sehingga terjadi perebutan sesama murid untuk
mendapatkan gelas kaca. Tanpa diduga, kondisi anak-anak tidak dapat
dikontrol. Saling dorong terjadi di antara mereka dan menyebabkan salah
satu dari mereka memecahkan gelas kaca. Beberapa saat kondisi kelas
hening. Nampak beberapa anak merasa bersalah karena menganggap dirinya
sebagai biang keladi dari kejadian ini.
“Pak, maaf… Kami telah memecahkan gelas
yang bapak bawa” ujar salah satu dari mereka dengan sangat polos. Tetapi
ternyata garis wajah sang guru tidak berubah. Masih melekatkan senyum
seperti biasa. Kemudian ia diam sejenak dan meminta para murid untuk
kembali ke tempat duduk semula. Beberapa murid nampak terheran dengan
sikap sang guru yang masih tenang tanpa sedikitpun mengguratkan wajah
emosionalnya.
“Anak-anak, ada satu pelajaran penting
yang bisa ambil di pagi hari ini. Tidak tentang gelas yang pecah, bukan
pula terkait perebutan gelas kaca yang menyebabkannya pecah.” Beberapa
anak masih belum memahami betul tentang apa yang disampaikan.
“Ingatkah anak-anakku, tentang ajakan
bapak kepada kalian di awal tadi?” Tanya guru bijak itu. Kelas masih
nampak hening, namun tiba-biba seorang anak angkat bicara.
“Ingaaat…Bapak mengajak kami untuk minum teh.”
“Jawaban yang bagus, Nak. Kemudian,
mengapa kalian fokus untuk berebut mendapatkan gelas kaca? Padahal
gelas-gelas yang bapak bawa semuanya digunakan untuk meminum teh.”
Beberapa anak terdiam dan sebagian mulai
memahami tentang pelajaran yang ingin disampaikan oleh pak guru, “ini
tentang kehilangan orientasi dan tujuan hidup, anak-anak…”
Ia melanjutkan, “Seringkali kita lalai
akan tujuan hidup kita sebenarnya. Seperti yang telah terjadi barusan,
tujuan utama kita adalah untuk meminum teh. Namun, saya mencoba
mengalihkan fokus dengan membawa tiga gelas yang beraneka ragam, dari
yang paling bagus hingga yang nampak biasa saja. Ternyata kalian
terlalaikan dengan gelas, hingga melupakan tujuan awal untuk meminum
teh.”
Saya rasa, hal serupa akan kita dapati
ketika berbicara bagaimana kita membangun negeri ini dengan cinta.
Mencintai Indonesia dengan segenap upaya dan tenaga yang kita punya
untuk mengharumkan namanya. Jangan sampai kita kehilangan fokus dan
tujuan besar kita. Waktu, pikiran, tenaga, bahkan mimpi kita tentang
Indonesia itu sendiri merupakan sarana. Itu semua merupakan gelas.
Sedangkan teh kehidupan yang senantiasa harus kita nikmati adalah proses
pengabdian kepada Allah di dalam setiap upaya kita bersama sarana
apapun yang Allah berikan kepada kita.
Oleh: Saif Fatan
[fimadani]
DPD PKS Siak - Download Android App