pkssiak.org - Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, terdapat cerita yang sarat pembelajaran dan hikmah jika kita renungkan. Tentang kebanggaan. Dahulu, Rasulullah memiliki seekor unta yang sangat membanggakan. Tak ada unta lain yang dapat mengalahkannya dalam hal berlari. Bahkan untuk sekadar nyaris menyamai kecepatannya pun sangat sulit. Hingga suatu ketika, datanglah seorang Badui membawa keledai jantan muda. Keledai itu baru memasuki usia untuk layak dikendarai. Namun, ternyata kedelai tersebut bisa membalap unta Rasulullah. Semua sahabat terperangah tak percaya. Unta kesayangan Rasulullah dapat dikalahkan oleh seekor keledai muda? Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah ihwal kejadian tersebut. Kemudian dengan sangat bijak beliau mengatakan, “Tidaklah sesuatu itu sampai pada puncak ketinggiannya, kecuali Allah akan merendahkannya.”
Pernyataan Rasulullah menjadi pengingat para sahabat ketika itu. Bahwa ini adalah salah satu dasar keyakinan yang patut kita resapi dalam hidup. Bahwasanya di dalam perjalanan kehidupan kita di dunia, tidak akan pernah ada seorang pun yang kekal dalam puncak. Ini tentang makna kebesaran yang tak selamanya hinggap. Ini terkait kejayaan yang tak selamanya mengendap. Ada saatnya kerasnya batu harus terbelah oleh tetesan air, adakala kokohnya karang harus terpecah oleh gelombang. Inilah siklus hidup.
Sebagai seorang muslim, kesadaran ini seharusnya menggugah iman kita. Bahwa tidak ada alasan bagi kita untuk berbesar hati, bahkan berbangga diri terhadap sesama. Bukankah maksiat yang pertama kali dilakukan oleh makhluk adalah kesombongan yang telah diperbuat oleh Iblis terhadap Adam alaihissalam? Ibnu Abbas menuturkan, karena kesombongannya, Iblis mengatakan “Aku lebih baik darinya (Adam)”. Kemudian iblis berdalih bahwa ia lebih baik karena diciptakan dari api, sedangkan Adam diciptakan dari tanah.
Begitupun pada kenyataan bahwa seorang yang telah bergerak bersama dakwah, seringkali tak dapat terhindar dari gejala-gejala kebanggaan diri yang melenakan. Dalam beberapa dimensi dan parameter. Tentang ukuran waktu misalnya, ia akan menyisir orang-orang dan melabelkan mereka menjadi orang lama atau orang baru di dalam dakwah. Ini tidak bisa dihindari. Namun sungguh sangat ironi, ketika lama dan baru harus dipakai sebagai simbol kehormatan dan membanggakan diri kita di dalam dakwah. Padahal menjadi kader dakwah sejatinya hanyalah sebuah kesempatan beramal sebagai kader dakwah. Artinya ia hanyalah ukuran waktu dan kesempatan. Bila kita telah lama menjadi kader, berarti kita telah lama pula memiliki kesempatan untuk beramal menjadi kader dakwah. Bukan berarti lebih banyak kebaikan berupa ilmu dan amal. Namun terkadang kita terjebak, karena merasa telah lama beredar bersama dakwah. Kita lupa, sejatinya itu adalah anugerah Allah berupa kesempatan beramal sebaik-baiknya. Boleh jadi, besok lusa kesempatan ini sudah tidak lagi kita miliki.
Sungguh manis petuah Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitab Al Fawa’id terkait ciri-ciri orang yang berbahagia. Beliau menuturkan, di antara ciri-ciri kebahagiaan dan kemenangan seorang hamba adalah: Bila bertambah ilmu pengetahuannya, maka bertambah pula kerendahan hati dan kasih sayangnya. Setiap bertambah amal-amal shalih yang dilakukan, bertambah pula rasa takut dan kehati-hatiannya dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Semakin bertambah usianya, semakin berkurang ambisi-ambisi keduniaannya. Ketika bertambah hartanya, bertambah pula kedermawanan dan pemberiannya kepada sesama. Jika bertambah tinggi kemampuan dan kedudukannya, bertambah dekatlah ia kepada manusia dan semakin rendah hati. Sebaliknya ciri kecelakaan seorang hamba adalah: Ketika bertambah ilmu pengetahuannya, malah semakin sombong ia dengannya. Setiap bertambah amalnya, kian bertambah pula kebanggaan terhadap dirinya sendiri hingga kemudian merendahkan orang lain. Semakin berkemampuan dan berkedudukan, semakin bertambah pula kesombongannya.
Seiring dengan kerja-kerja dakwah yang semakin rumit dan menantang. Pilihan menjadi seorang yang bertumbuh menjadi kader dakwah hingga mendapatkan kebahagiaan dan kemenangan adalah satu hal yang perlu kita hadirkan. Setiap saat. Setiap langkah. Karena dalam perjalanannya, dakwah ini senantiasa berusaha menembus ranah realisasi ide dan cita yang terkadang melelahkan. Tak jarang mengendurkan semangat dan konsistensi kita untuk tetap berlari. Tidak ada pilihan lain untuk kita selain berusaha banyak bercermin dan mengevaluasi diri. Mengoreksi kebanggaan diri yang boleh jadi mengikis dan merusak amal kita tanpa sedikit pun kita sadari…
Saif Fatan
Penulis sekaligus ketua Forum Lingkar Pena (FLP) wilayah D.I. Yogyakarta dan Trainer Pelatihan Manajemen Lembaga Dakwah Kampus FSLDK DIY.
*dakwatuna