Iklan Parpol di TV Mestinya Mengedukasi Bukan Membodohi
By: Abul Ezz
Selasa, 28 Januari 2014
0
pkssiak.org, JAKARTA.-Maraknya iklan politik jelang Pemilu 2014 diharapkan jangan hanya umbar bujuk rayu dan janji-janji kosong. Alasannya, iklan politik mempunyai tanggung jawab moral yang lebih tinggi dibandingkan iklan politik.
"Cara kerja iklan sama saja, baik iklan komersil maupun iklan
politik. Keduanya memakai mode persuasif, bujuk rayu, meski banyak
ngibulnya, banyak janji-janji kosong," Ketua Komite Independen Pemantau
Pemilu Jojo Rohi di Jakarta, Minggu (26/1/2014)
Namun bagamanaipun, kata Jojo, iklan politik punya tanggung jawab
moral yang lebih tinggi tuntutannya dari pada iklan komersil. Karena
konsekuensinya bagi hajat hidup orang banyak jelas berbeda.
Dengan demikian, maka iklan kampanye politik mesti mempunyai unsur
edukasi, mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan malah membodohi. "Contoh
betapa iklan kampanye politik itu lebih cenderung membodohi publik
adalah karena cuma "perang" slogan," ujarnya.
Selain perang slogan, kata dia, parpol juga lebih menyuguhkan
tagline. Misalkan tagline seperti "Cerdas, jujur, berani, bersih,
merakyat", semua hal itu tidak dapat dikonfirmasi saat ini melainkan
nanti setelah ia menjabat.
"Atau tagline 'memajukan kehidupan bangsa, meningkat perekonomian,
dan lain-lain'.Tanpa ada penjelasan 'How To', cara bagaimana semua hal
itu dapat diwujudkan, merupakan pembodohan kepada publik," katanya.
Dia menambahkan, saat ini dalam tahapan kampanye, polemik tentang
keberimbangan akses media massa bagi para peserta pemilu sedang
dipertanyakan karena sebagian para elit politik adalah owner dari media
massa besar. Salah satu asas pemilu adalah adil, karena itu maka
pengaturan media massa sebagai sarana kampanye harus diatur dengan
ketat.
"Agar tidak mencederai prinsip adil tersebut, terutama media
televisi. Karena TV adallah media yang relatif lebih dapat menjangkau
publik secara massif. Perlu diketahui bahwa semua stasiun TV masih
mnggunakan frekuensi publik, bukan frekuensi private," ucapnya.
Karena menumpang di frekuensi publik, kata Jojo, maka media TV tidak
dapat seenak sendiri menggunakannya untuk tujuan atau kepentingan
pribadi.
"Stasiun TV-nya memang milik private, namun frekuensinya adalah milik
publik (yang diatur oleh negara/pemerintah). Nah repotnya, para elit
politik yang punya stasiun TV itu merasa frekuensi itu sudah jadi milik
private, milik mereka pribadi," ucapnya.
Dia menambahkan, apabila para pemilik televisi ini masih menanggap
hal tersebut milik pribadi, maka diupayakan sanksi tegas. "Harus ada
sanksi hingga pada tingkat pencabutan ijin penggunaan frekuensi publik
bagi media TV yang membandel," tuturnya. *
DPD PKS Siak - Download Android App