Anis Matta: Menjadi Otak, Hati, Tulang Punggung
By: Abul Ezz
Jumat, 17 Januari 2014
0
pkssiak.org, JAKARTA
- Memimpin Indonesia tidak akan berhasil hanya karena menjadi seorang
presiden, tidak akan berhasil hanya karena punya banyak menteri. Anda
akan berhasil memimpin Indonesia apabila mau menjadi otaknya Indonesia,
hatinya Indonesia, dan tulang punggung Indonesia.
Demikian konsepsi
pemimpin menurut Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang disampaikan
Presiden PKS M Anis Matta dalam wawancara khusus dengan Kompas di kantor
The Future Institute, Jakarta, Kamis (9/1).
Menurut dia,
pemimpin negeri ini harus menguasai wacana, memiliki kemampuan
mengarahkan atau menggerakkan emosi publik, serta mampu merealisasikan
rencana atau program-program pembangunan.
Menurut Anis,
fungsi tersebut bisa dilihat dalam pemerintahan Orde Baru. ”Militer bisa
memimpin selama Orde Baru itu bukan karena Pak Harto (Presiden
Soeharto),” katanya.
Sejak awal Orde
Baru, militer sudah intensif mengembangkan wacana keindonesiaan. Bahkan,
hasil seminar TNI Angkatan Darat tahun 1966 digunakan sebagai ide dasar
penyusunan platform pembangunan. Pada sisi inilah, militer berhasil
memosisikan diri sebagai otaknya Indonesia.
Militer juga
berhasil menggerakkan emosi masyarakat dengan menciptakan kepercayaan
diri dan optimisme bangsa. Selain itu, militer juga menguasai
pemerintahan karena diberlakukan Dwifungsi ABRI.
”Itulah kenapa dia
(militer) mampu mengeksekusi (merealisasikan) semua rencana pembangunan
yang dicanangkan sebelumnya,” ujarnya.
Pelajaran untuk parpol
Mengambil
pengalaman pemerintahan Orde Baru bukan berarti PKS menginginkan militer
berkuasa kembali. Peran yang diambil militer sebagai otak, hati, dan
tulang punggung bangsa itulah yang seharusnya menjadi pelajaran partai
politik sebagai pabrik pemimpin bangsa.
Seharusnya, setelah
Dwifungsi ABRI dihapuskan pada era Reformasi, parpol bisa mengambil
peran yang sebelumnya dilakukan kelompok militer. Namun, hingga 15 tahun
reformasi, belum ada satu pun kekuatan politik yang mampu. PKS sendiri
diakui belum mampu menjalankan fungsi sebagai otak, hati, dan tulang
punggung Indonesia.
Menurut Anis, 10
tahun pertama habis untuk membangun infrastruktur dan kapasitas lain
untuk menjadi partai modern. Penguatan ideologi dan penokohan sebenarnya
sudah dirancang dilakukan pada 10 tahun kedua PKS, tetapi terhenti
karena terganjal kasus hukum yang menimpa mantan Presiden PKS Luthfi
Hasan Ishaaq.
Setelah reformasi
tahun 1998, menurut Anis, semestinya fokus perhatian pemerintah juga
berubah. Perhatian tak lagi difokuskan pada politik seperti Orde Lama
atau fokus ke ekonomi seperti pada Orde Baru, tetapi fokus kepada
masyarakat sipil.
Pasalnya, politik
dan ekonomi sudah menemukan keseimbangan baru. Begitu pula sumber-sumber
ketegangan lain, seperti relasi agama dan negara, dialektika demokrasi
dan pembangunan, serta hubungan pusat dan daerah sudah menemukan
keseimbangan baru. Keseimbangan baru juga terlihat dengan munculnya
relasi antara negara, agama, dan masyarakat sipil.
Akan tetapi,
sayang, keseimbangan baru itu muncul bersamaan dengan fenomena baru,
yakni ledakan demografi baru. Muncul sebuah generasi baru yang lahir
tahun 1990-an, yang tak punya asosiasi emosional dan ideologi terhadap
sumber ketegangan pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Mereka lahir di
tengah ideologi baru, yakni demokrasi dan pasar bebas.
Persoalan muncul
karena para politisi atau calon pemimpin bangsa justru masih menggunakan
isu-isu lama, seperti kedaulatan, integrasi, dan nasionalisme. Yang
menjadi perbincangan lembaga-lembaga politik tidak sesuai dengan yang
dipikirkan dan dibutuhkan masyarakat.
Masyarakat yang
cara pandangnya sudah berubah juga tidak merasakan manfaat negara dan
semua institusi politik. Akibatnya, muncul ketidakpercayaan masyarakat
terhadap negara dan institusi politik.
Kondisi itu juga
menyebabkan terjadi disorientasi sehingga bangsa kehilangan arah.
Kegaduhan terjadi di mana-mana, tetapi sebenarnya tidak ada hal
substansial yang menjadi pokok perdebatan.
Bukan pemimpin otoriter
Untuk menghadapi
persoalan baru tersebut, diperlukan pula pendekatan baru dalam model
kepemimpinan. Masyarakat tidak memerlukan lagi pemimpin yang otoriter
atau pemimpin yang hanya mengandalkan wibawa. Pemimpin yang dibutuhkan
adalah pemimpin yang mengandalkan gagasan, memiliki kemampuan persuasif,
dan kemampuan koordinasi. Anis menganalogikan pemimpin seperti pemandu
sorak.
Dengan kata lain,
tugas pemimpin adalah menciptakan lingkungan strategis bagi masyarakat
untuk terus berkembang. Masyarakat harus dibuat taat kepada pemimpin
karena pemimpin memiliki gagasan besar yang bermanfaat untuk masyarakat.
Pendekatan semacam
itulah yang juga dilakukan PKS. Kader taat bukan karena takut pada
otoritas partai, melainkan karena sadar pada kebenaran dalam gagasan
yang dibawa pemimpin mereka.
Bicara masalah
ketegangan antara Islam, modernitas, dan keindonesiaan, Anis mengatakan,
itu sudah menjadi masa lalu. Saat ini, ketegangan segitiga pada masa
lalu tersebut semestinya dijadikan dasar untuk membangun masa depan
Indonesia.
PKS memiliki
gagasan mengintegrasikan agama, pengetahuan, dan kesejahteraan untuk
membangun masa depan bangsa. PKS tidak ingin lagi ada komplikasi antara
Islam dan keindonesiaan atau Islam dengan modernitas.
Hal itu karena
Islam yang dibawa PKS merupakan Islam yang moderat dan terbuka. Gagasan
itulah yang melandasi PKS memutuskan menjadi parpol terbuka sejak tahun
2008.
Dengan menyatukan
agama, pengetahuan, dan kesejahteraan, Indonesia diharapkan akan menjadi
bangsa yang religius, lebih berpengetahuan, tetapi sejahtera. Agama
akan memberikan basis orientasi dan basis moral.
Pengetahuan
memberikan basis kompetensi dan basis produktivitas. Adapun
kesejahteraan merupakan cita-cita Indonesia yang tercantum dalam
konstitusi, yakni menjadi negara adil dan makmur.
Dengan penyatuan
agama, pengetahuan, dan kesejahteraan itu, Indonesia diyakini akan
menjadi model bagi negara-negara Islam dan juga negara-negara Barat. (Anita Yossihara)
Sumber: Harian Kompas
DPD PKS Siak - Download Android App