Partai Islam Jangan Jadi Gelembung
By: Abul Ezz
Kamis, 12 Desember 2013
0
pkssiak.org - Sistem demokrasi di Indonesia
yang menyelenggarakan pemilihan langsung dari presiden hingga kepala
desa membuat iklim politik di negeri ini selalu hangat. Positifnya,
perang gagasan berupa dialektika dan debat terbuka menjadi kultur yang
mencerdaskan masyarakat. Negatifnya, ongkos politik sangat mahal karena
perhelatan pemilihan tak melulu soal adu ide, tapi lebih banyak pada
pencitraan dan masih tersisa politik uang.
Sebagai kontestan politik, Partai Islam tentu saja punya kepentingan untuk memenangkan pemilihan-pemilihan itu. Karena itu amunisi berupa ide, wacana dan marketing politik harus dipersiapkan.
Menengok ke belakang pada pemilu 2004 lalu, partai Islam PKS pernah "memenangkan" wacana dengan slogannya "Bersih dan Peduli."
Saat itu PKS menjadi media darling dengan kepolosannya dan harapan masyarakat yang masih hangat terhadap reformasi. PKS dianggap menjadi bagian penggerak reformasi dan menjaring 7% lebih pemilih yang berharap dan mengakui "kebersihan" partai ini. Terdapat lonjakan suara hingga 300% lebih. Pencitraannya tak dibuat-buat, hanya berupa kepolosan dan kejujuran yang dirasakan oleh publik.
Tapi saat itu berapa banyak sih kader PKS? Saya tak punya datanya karena tentu saja jumlah kader bukan hal yang publishable bagi masyarakat. Namun saya yakin andai hanya kadernya saja yang memilih PKS, perolehannya tak sampai 1%.
Saat itu terjadi "penggelembungan" suara, dalam artian rasio antara voter dan jumlah kader begitu besar. Pada momen itu, hal ini menguntungkan. Tapi dengan tipe massa mengambang dan pemilih yang menaruh harapan begitu besar - di mana kekecewaan begitu dekat dengan harapan, maka hal ini bisa menjadi bumerang pada jangka panjang. Para pemilih yang tidak "setia" ini cukup sulit di-maintain.
Fenomena buble voter ini sudah tampak pada partai sekuler PDIP. Sempat meraih 33% suara, pemilu terakhir hanya 12% suara. Karena harapan itu begitu dekat dengan kekecewaan. Dan tipikal masyarakat kita yang instant, terbawa pula dalam politik. Ingin cepat-cepat terlihat perubahan. Lagi pula memang minim (bila tak mau dibilang tak ada) perubahan yang baik saat Megawati memimpin. Wajar bila suara PDIP terus anjlok.
Saat ini fenomena "mengharap-harap" muncul lagi dengan objectnya adalah Jokowi dari PDIP. Sejumlah survey mengatakan PDIP meraih suara terbanyak bila pemilu diadakan sekarang. Inilah fenomena gelembung yang tertiup kembali.
Begitulah, ada saat parpol Islam bisa merebut hati masyarakat, tapi ada saat demarketing dan fitnah di atas angin hingga parpol Islam terjerembab. Karena itu, meniup gelembung pencitraan tak bisa dijadikan jalan parpol Islam untuk berjaya di negeri ini.
Jalan satu-satunya adalah dengan basis kader dan pendukung yang kuat. Mempersiapkan mereka yang menjadi "hawariyin" ketika gelombang fitnah datang dengan dahsyat menyerang parpol Islam. Membentuk mereka yang tetap meneriakkan isu-isu pro ummat Islam di tengah bullying lembaga survey.
Bedanya kader dengan simpatisan dadakan adalah kader partai Islam merupakan orang yang sudah ter-sibghoh (tercelup) aqidah, fikroh, akhlak maupun seleranya kepada Islam. Dengan bekal sibghoh inilah militansi dan keistiqomahan pada jalan dakwah dibangun.
Pondasi kader militan akan kokoh tak tergerus tekanan apalagi tipuan pencitraan. Kita bisa lihat contohnya di Mesir, meski Ikhwan berulang kali ditindas, namun orang-orang yang telah tershibghoh dalam Islam masih tetap berdiri memperjuangkan dakwah apa pun keadaannya.
Konteksnya di Indonesia, kasus yang menimpa Luthfi Hasan Ishaaq adalah ujian kekokohan basis kader bagi Partai Keadilan Sejahtera. Indikasi kekokohannya bukan pada aksi defensif para die hard, tapi lebih dari itu bagaimana kader-kader partai ini tetap menebarkan manfaat kepada masyarakat. Adanya slogan yang baru-baru ini muncul yang berbunyi “Apapun Yang Terjadi Kami Tetap Melayani” (AYTKTM) adalah respon positif atas tekanan yang diberikan pada partai ini. Bila slogan AYKTM itu dijalankan sungguh-sungguh, berarti doktrin jalan dakwah yang penuh ujian telah tershibghoh dalam mental kader PKS.
Mungkin PPP dan PBB tak terlalu tertimpa prahara. Tapi kedua partai Islam itu juga tak kunjung mendapat ruang di media untuk bernarasi lebih banyak. Kalau kedua partai itu tidak terus mengembangkan kadernya, siapa lagi yang akan mempertahankan nama kedua partai itu?
Kuncinya adalah shibghoh. Ada standard frekuensi ruhiyah untuk mencapai shibghotullah. Karena itu, program kaderisasi tak boleh lepas dari riayah maknawiyah (pemeliharaan spritualitas) kader agar tetap berada dalam celupan Islam. Bicara rekrutmen harus bicara bagaimana menjala sebanyak mungkin orang yang akan diubah jiwanya untuk menerima kelapangan Islam, bukan sekedar partai.
Entitas politik yang menggelembung karena pencitraan atau media darling semata hanyalah ibarat sebuah balon yang mudah pecah disentuh oleh sebuah benda kasar. Sedangkan entitas politik berbasis kader, ibarat bola kalep berkulit tebal. Atau bahkan bola pejal. Bola yang tak mudah pecah walau bersentuhan berbagai benda kasar.
Memang perlu udara untuk membuatnya mengembang. Dipermisalkan udara itu adalah kepercayaan dari masyarakat. Untuk mendapatkannya harus dipompa dengan kerja-kerja nyata yang terasa manfaatnya pada masyarakat.
Kepercayaan masyarakat itu berbeda dengan "gelembung pujian". Pujian itu buta dan dekat dengan kekecewaan. Sedangkan kepercayaan akan ditemani oleh kritik, dan kritik itu ditemani keinginan membangun dan rasa percaya bahwa yang dikritik akan merespon dengan baik.
Ibaratnya lagi, bangunan partai Islam yang ideal adalah seperti bola salju yang menggelinding ke bawah yang terus bertambah volumenya. Yang penting, jangan jadi gelembung!
--
Zico Alviandri
Sebagai kontestan politik, Partai Islam tentu saja punya kepentingan untuk memenangkan pemilihan-pemilihan itu. Karena itu amunisi berupa ide, wacana dan marketing politik harus dipersiapkan.
Menengok ke belakang pada pemilu 2004 lalu, partai Islam PKS pernah "memenangkan" wacana dengan slogannya "Bersih dan Peduli."
Saat itu PKS menjadi media darling dengan kepolosannya dan harapan masyarakat yang masih hangat terhadap reformasi. PKS dianggap menjadi bagian penggerak reformasi dan menjaring 7% lebih pemilih yang berharap dan mengakui "kebersihan" partai ini. Terdapat lonjakan suara hingga 300% lebih. Pencitraannya tak dibuat-buat, hanya berupa kepolosan dan kejujuran yang dirasakan oleh publik.
Tapi saat itu berapa banyak sih kader PKS? Saya tak punya datanya karena tentu saja jumlah kader bukan hal yang publishable bagi masyarakat. Namun saya yakin andai hanya kadernya saja yang memilih PKS, perolehannya tak sampai 1%.
Saat itu terjadi "penggelembungan" suara, dalam artian rasio antara voter dan jumlah kader begitu besar. Pada momen itu, hal ini menguntungkan. Tapi dengan tipe massa mengambang dan pemilih yang menaruh harapan begitu besar - di mana kekecewaan begitu dekat dengan harapan, maka hal ini bisa menjadi bumerang pada jangka panjang. Para pemilih yang tidak "setia" ini cukup sulit di-maintain.
Fenomena buble voter ini sudah tampak pada partai sekuler PDIP. Sempat meraih 33% suara, pemilu terakhir hanya 12% suara. Karena harapan itu begitu dekat dengan kekecewaan. Dan tipikal masyarakat kita yang instant, terbawa pula dalam politik. Ingin cepat-cepat terlihat perubahan. Lagi pula memang minim (bila tak mau dibilang tak ada) perubahan yang baik saat Megawati memimpin. Wajar bila suara PDIP terus anjlok.
Saat ini fenomena "mengharap-harap" muncul lagi dengan objectnya adalah Jokowi dari PDIP. Sejumlah survey mengatakan PDIP meraih suara terbanyak bila pemilu diadakan sekarang. Inilah fenomena gelembung yang tertiup kembali.
Begitulah, ada saat parpol Islam bisa merebut hati masyarakat, tapi ada saat demarketing dan fitnah di atas angin hingga parpol Islam terjerembab. Karena itu, meniup gelembung pencitraan tak bisa dijadikan jalan parpol Islam untuk berjaya di negeri ini.
Jalan satu-satunya adalah dengan basis kader dan pendukung yang kuat. Mempersiapkan mereka yang menjadi "hawariyin" ketika gelombang fitnah datang dengan dahsyat menyerang parpol Islam. Membentuk mereka yang tetap meneriakkan isu-isu pro ummat Islam di tengah bullying lembaga survey.
Bedanya kader dengan simpatisan dadakan adalah kader partai Islam merupakan orang yang sudah ter-sibghoh (tercelup) aqidah, fikroh, akhlak maupun seleranya kepada Islam. Dengan bekal sibghoh inilah militansi dan keistiqomahan pada jalan dakwah dibangun.
Pondasi kader militan akan kokoh tak tergerus tekanan apalagi tipuan pencitraan. Kita bisa lihat contohnya di Mesir, meski Ikhwan berulang kali ditindas, namun orang-orang yang telah tershibghoh dalam Islam masih tetap berdiri memperjuangkan dakwah apa pun keadaannya.
Konteksnya di Indonesia, kasus yang menimpa Luthfi Hasan Ishaaq adalah ujian kekokohan basis kader bagi Partai Keadilan Sejahtera. Indikasi kekokohannya bukan pada aksi defensif para die hard, tapi lebih dari itu bagaimana kader-kader partai ini tetap menebarkan manfaat kepada masyarakat. Adanya slogan yang baru-baru ini muncul yang berbunyi “Apapun Yang Terjadi Kami Tetap Melayani” (AYTKTM) adalah respon positif atas tekanan yang diberikan pada partai ini. Bila slogan AYKTM itu dijalankan sungguh-sungguh, berarti doktrin jalan dakwah yang penuh ujian telah tershibghoh dalam mental kader PKS.
Mungkin PPP dan PBB tak terlalu tertimpa prahara. Tapi kedua partai Islam itu juga tak kunjung mendapat ruang di media untuk bernarasi lebih banyak. Kalau kedua partai itu tidak terus mengembangkan kadernya, siapa lagi yang akan mempertahankan nama kedua partai itu?
Kuncinya adalah shibghoh. Ada standard frekuensi ruhiyah untuk mencapai shibghotullah. Karena itu, program kaderisasi tak boleh lepas dari riayah maknawiyah (pemeliharaan spritualitas) kader agar tetap berada dalam celupan Islam. Bicara rekrutmen harus bicara bagaimana menjala sebanyak mungkin orang yang akan diubah jiwanya untuk menerima kelapangan Islam, bukan sekedar partai.
Entitas politik yang menggelembung karena pencitraan atau media darling semata hanyalah ibarat sebuah balon yang mudah pecah disentuh oleh sebuah benda kasar. Sedangkan entitas politik berbasis kader, ibarat bola kalep berkulit tebal. Atau bahkan bola pejal. Bola yang tak mudah pecah walau bersentuhan berbagai benda kasar.
Memang perlu udara untuk membuatnya mengembang. Dipermisalkan udara itu adalah kepercayaan dari masyarakat. Untuk mendapatkannya harus dipompa dengan kerja-kerja nyata yang terasa manfaatnya pada masyarakat.
Kepercayaan masyarakat itu berbeda dengan "gelembung pujian". Pujian itu buta dan dekat dengan kekecewaan. Sedangkan kepercayaan akan ditemani oleh kritik, dan kritik itu ditemani keinginan membangun dan rasa percaya bahwa yang dikritik akan merespon dengan baik.
Ibaratnya lagi, bangunan partai Islam yang ideal adalah seperti bola salju yang menggelinding ke bawah yang terus bertambah volumenya. Yang penting, jangan jadi gelembung!
--
Zico Alviandri
DPD PKS Siak - Download Android App