Kisah Simol Siloper Koran Dan Ustadznya Si Tukang Sayur Yang Kini Jadi Calon Walikota
By: Abul Ezz
Kamis, 12 Desember 2013
0
pkssiak.org - 1994. “Ustadz. Ini
uangnya. Alhamdulillah, annida dan sabili nya habis semua. Tarbawi dan
anak sholeh banyak yang pesan Ustadz. Kalau yang lain kurang laku”.
Seperti bIasa, setiap akhir bulan, Simol menjemput majalah edisi baru ke
Ustadznya. Sore itu lidah Simol kelu. Ia masih ciut untuk meminjam
sebagIan uang setoran itu. Simol butuh uang itu. Amat butuh. Untuk
membeli mutoh, mesin gambar.
Simol khawatir, kalau jadi Ia membeli mesin itu. Ia bakal banyak
mendapat orderan gambar dan tidak bisa mengantarkan majalah lagi.
Simol
merasa dirinya bukan bagIan dari dakwah lagi. Apalagi Simol belum dapat
juga pengganti tugasnya sebagai loper majalah.
1995. Pagi itu, seperti biasanya Simol dan sahabat-sahabatnya subuh di almadaniy dan selesai dengan halaqah. Saatnya saling
berbagi keluh kesah. Entah kenapa, Simol masih juga ciut untuk
berhutang. Apakah karena Simol merasakan perjuangan hidup Ustadz pun tak
kalah berat. Usaha baru Ustadz pun seperti antara hidup dan mati.
Menafkahi keluarga dari jualan sayur dan buah potong.
“saya ini kan
sarjana pertanIan. Salahsatu cara menghargai petani adalah menciptakan
pasar untuk hasil yang mereka tanam?”. Canda Ustadz pagi itu penuh
syukur. Padahal tempat tinggalnya di bawah standar kelayakan.
Itu materi
kulIah Simol kemaren; perumahan dan permukiman. “antum saja yang
prihatin melihatnya. Kami di dalamnya bahagIa kok. Apalagi ada si ummi”.
Candanya makin renyah.
Simol tau kalo itu cara si Ustadz 'menyindir'
peserta halaqah yang takut menikah. Iya. Simol memang prihatin. Prihatin
melihat isi meja dagangan yang tak seberapa, syukur-syukur masih ada
yang menitipkan kue untuk di jual. Karena di depan warung Ustadz ramai
anak sekolah pertiwi yang belanja pagi dan sIang hari. Sekolah itu
mewajibkan siswanya zuhur berjamaah di masjid seberang jalan dan detik
itulah rezeki si Ustadz.
1997. “Ustadz, saya mau stop dulu kuliah!. Bantuan dari baznas belum ada
kabar!. Ngapain juga berharap tadz. Hidup berakal mati beriman. Saya
masih punya 2 tangan dan 2 kaki”. Ustadz menatap Simol. Tak biasanya
Simol ketus seperti itu. Simol tau Ustadz prihatin melihatnya. Apakah si
loper majalah yang bercita terlalu tinggi?.
Siapalah Simol!. Simol cuma
berdinas sebagai gharim zuhur di musholla FPBS dengan proyek sampingan
merapikan gudang koperasi UNP dari kardus dan karung. Segunung kardus
dan karung itu belum tentu dapat menutupi biaya kuliahnya. Bagaimana
mungkin membeli 12 mata rapidho dan 5 tabung kalkir setiap semester.
Belum lagi meja dan mesin mutoh yang gagah impIannya itu. Harganya
berlipat kali tarif spp Simol.
Alhamdulillah saja Simol belum pernah
membayar spp serupiahpun. Ada beasiswa BPPA-Dikti sampai wisudanya.
Begitulah Simol anak si kuli bangunan.
1998. “Saya ada uang ma’had. Kamu boleh pakai dulu”. Simol tak yakin
uang sebanyak itu. Dua belas juta rupiah. Planing Simol berubah. Simol
ingin ‘melarikan’ uang itu ke malaysia.
Cerita tentang malaysia banyak
Simol dengar dari Heri sahabatnya. Anak seorang tki ilegal yang kuliah
di teknik mesin 93. Dan Simol pun tiba di Semenanjung. Membawa mukenah
bordiran bukittinggi dan baju telukbelanga. Hampir dua tahun. Ia menjadi
‘pelancong’. Dengan identitas sebagai ‘student’.
Gonta-ganti pintu
migrasi Simol coba; portdickson. Malacca. Muar. Johor. Tak jarang Simol
harus mencari visa ke migrasi Kolok-Thailand dan Johor-Singapore. Back
packers. Alasan studi literasi, riset dan oleh-oleh dalam tas nya itu.
Menjadi senjata jitu di pintu imigrasi. Alhamdulillah. Pasar seni
kualalumpur dan bazar di kolej-kolej universiti. Menjadi wilayah
jajahannya. Setiap kali ramadhan uang mahad itu pun berkembang empat
kali lipat. Apalagi ketika rusuh jakarta dan turunnya soeharto. 3800 rp
per 1 ringgit malaysIa, dan 5.500 rp per 1 dolar singapore. Fantastis!.
1999. “Ustadz. Ini laporan bagi hasilnya. Saya mau selesaikan tugas
akhir. Kemarin saya jumpa bang Irwan Prayitno waktu sholat ashar di
Kolej Malaya. Jumpa bang Urwatul Wutsqo di kolej islam antarabangsa.
Alhamdulillah bisa satu lingkaran tausiyah. Beliau titip salam buat
Ustadz. Ustadz. Saya juga ingin lanjut S2 seperti abang-abang di
Almadaniy. Apalagi cerita Ustadz Suhairi ketika jadi sopir taksi waktu
kuliah di madinah amat menginspirasi”.
Ustadz memegang pundak Simol.
Tatapannya bening. “Kembalikan berapa yang kamu pinjam. Dan serahkanlah
sisanya untuk dakwah!”. Simol terharu biru. Simol merasa bahwa diri nya
pun ternyata masih bagian dari dakwah. Selama ini yang Simol tahu. Hanya
mereka yang aktif dalam ‘eldeka’ saja.
“antum! Dakwah itu ibarat mobil.
Harus ada yang berperan sebagai mesinnya, sebagai sopirnya, rodanya,
sebagai bahanbakarnya, dst, bahkan sebagai kaca spionnya. Jika salah
satunya tidak ada. Dakwah itu tidak akan jalan sempurna.
Kalaupun. Besok
pagi. Antum sudah merantau. Meninggalkan negeri ini. Tetaplah dalam
dakwah. Dengan apa yang antum bisa lakukan. Ajaklah semua mahluk dimuka
bumi ini pada kebaikan. Islam rahmatan lil alamin!”.
2013. Dua puluh tahun berlalu. Simol. Si kepala tataruang itu sedang
sedikit lebay, Ia tengah berbalut rindu pada ustazdnya. Rindu pada
tausyiah-tausyiah sang Ustadz. Tentang amanat dakwah yang diembannya di
level birokrat. Sengaja. Simol membuka internet. Wow. Si pedagang sayur
dan buah itu pun kini menjadi walikota. Semoga. Wajahnya sebentar lagi
akan menghiasi majalah-majalah dakwah yang dulu Simol antar keliling
kota.
Harapan Simol. Kota ‘green city’ menjadi konsep tataruang kota
yang dipimpinnya. Dimana warga akan menikmati hijaunya kota. Memanen
berbagai komoditi pertanian. Dari halaman rumah sendiri. Bahkan menjadi
nilai ekonomi dan ekologi. Selamat berdakwah Ustadz!.
# catatan bersama bapak Mahyeldi, Harneli Bahar, Ahmad Suhairi, Andi Zubir
(kasurau)
DPD PKS Siak - Download Android App