Demikian komentar beberapa mahasiswa yang mengikuti Dialog Kebangsaan bertema "Dari Kampus untuk Negeri: Mencari Pemimpin Bangsa" di GOR Pertamina Universitas Brawijaya, Malang, Rabu, 6 November 2013.
Sang mahasiswa mengatakan, sebagian besar elit partai politik (parpol) sejauh ini berkutat pada survei popularitas dan elektabilitas calon presiden (capres). Mereka tidak memberi perspektif sedikitpun mengenai sosok pemimpin yang dibutuhkan rakyat dalam tantangan bangsa Indonesia ke depan.
"Dialog Kebangsaan seperti inilah yang memberi pendidikan politik yang benar bagi rakyat. Ini memberi panduan yang benar, bagaimana memilih pemimpin yang tepat untuk Indonesia ke depan," ujar mahasiswa.
Senada dengan yang di sampaikannya, Anis menegaskan "saatnya parpol masuk ke tengah tengah kampus untuk di uji kompetensinya oleh kalangan civitas akademika dan sekaligus mempertanggung jawabkan kinerja keberpihakannya pada rakyat, karena kampuslah pusat industri pemikiran yang paling bertanggungjawab".
Tampil sebagai narasumber dialog: Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Matta, Ketua Umum Partai Hanura Wiranto, Gubernur Sulawesi Selatan yang juga Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi se-Indonesia Syahrul Yasin Limpo, dan Direktur Pol Tracking Institute Hanta Yudha.
Anis Matta menegaskan, syarat utama bagi bangkitnya Indonesia ke depan yakni tampilnya pemimpin yang mampu menangkap ruh zaman. Dia, katanya, wajib memahami secara mendalam nafas tahapan sejarah Merah-Putih yang telah dan sedang bergulir kini.
Mantan Wakil Ketua DPR RI ini memaparkan, sejarah Indonesia telah menjalani tiga gelombang besar. Pertama, perjalanan "menjadi Indonesia" yang terjadi pada abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20.
Kedua, masa kemerdekaan hingga era reformasi. "Inti gelombang kedua adalah perdebatan mencari sistem yang kompatibel dengan sejarah dan kondisi kekinian. Sementara memasuki tahun politik 2014, kita menghadapi gelombang sejarah baru (ketiga)," tukas Anis Matta.
Tantangan gelombang ketiga dimaksud, menurut Anis Matta, sangat berbeda dengan dua ruas perjalanan sejarah bangsa sebelumnya. Misalnya, setelah Orde Reformasi berhasil menghadirkan sejumlah keseimbangan --antara lain relasi negara dan agama, kesejahteraan dan kebebasan, serta demokrasi dan pembangunan-- sementara Indonesia pada gelombang ke 3 ini berhadapan dengan kondisi baru.
"Pendorong utama perubahan kini dan ke depan adalah dari dalam, bukan lagi dipicu oleh kolonialisme (gelombang pertama) dan perang dingin ideologi (gelombang kedua). kini kita di " drive" secara signifikan oleh komposisi demografi yang belum pernah terjadi dalam sejarah bangsa kita" Anis Matta merinci.
Diungkapkan, penduduk Indonesia kini memiliki "the new majority". Mereka kelompok produktif dan mapan berusia 45 tahun ke bawah yang jumlahnya mencapai 60 persen populasi kita. Mengutip ekonom, Anis Matta menyebut istilah fakta ini sebagai "bonus demografi" atau "deviden demografi".
Presiden PKS menegaskan, kelompok mayoritas tersebut menuntut sosok pemimpin yang sama sekali berbeda dibanding tokoh bangsa terdahulu. Mereka 'melek' politik, Anis Matta menambahkan, sehingga tidak mudah "dimobilisasi" sebagaimana hal itu terjadi di masa lalu.
"Ruh zaman itu harus mampu ditangkap pemimpin bangsa ke depan," tutur Anis Matta.
Narasumber lain, Wiranto dan Syahrul Yasin Limpo, juga mengkritisi posisi vital pemimpin bangsa. Mereka menegaskan Indonesia seharusnya jauh lebih maju dibanding sekarang, Indonesia dengan kekayaan sedemikian rupa tidak sepantasnya rakyatnya hidup dalam ketidak sejahteraan seperti sekarang, para pemimpinnya wajib memahami bangsanya secara tepat.