Pertarungan Umat Islam di Mahkamah Konstitusi
By: Abul Ezz
Minggu, 03 November 2013
0
pkssiak.org - Pada tanggal 18 April 2010, Mahkamah Konstitusi yang dipimpin oleh
Mahfud MD telah menolak seluruhnya permohonan uji materi terhadap UU
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pengadilan gugatan UU ini adalah
hal yang krusial dan bersejarah bagi umat Islam di Indonesia. Di sini
ditentukan apakah menghina Islam, Al-Qur'an, Rasulullah, bahkan Allah
swt menjadi legal dengan alasan seni atau tidak.
Para penggugat berasal dari Imparsial, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat atau ELSAM, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia atau PBHI, Pusat Studi HAM dan Demokrasi atau Demos, Masyarakat Setara, Yayasan Desantara, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI, (alm) KH Abdurrahman Wahid, Prof Dr Musdah Mulia, Prof M Dawam Rahardjo, serta KH Maman Imanul Haq.
Permohonan pengujian diajukan terhadap lima norma, yaitu Pasal 1, Pasal 2 ayat 1, Pasal 2 ayat 2, Pasal 3, dan Pasal 4. MK menggunakan sembilan norma UUD 1945 sebagai alat uji, yaitu Pasal 1 ayat 3, Pasal 27 ayat 1, Pasal 28D ayat 1, Pasal 28E ayat 1, Pasal 28E ayat 2, Pasal 28E ayat 3, Pasal 28I ayat 1, Pasal 28I ayat 2, dan Pasal 29 ayat 2.
Pasal 1 berbunyi, "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran, dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu."
Pasal 2 ayat 1 berbunyi, "Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama menteri agama, menteri/jaksa agung, dan menteri dalam negeri."
Pasal 2 ayat 2 berbunyi, "Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat 1 dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah presiden mendapat pertimbangan dari menteri agama, menteri/jaksa agung, dan menteri dalam negeri."
Pasal 3 berbunyi, "Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh menteri agama bersama-sama menteri/jaksa agung dan menteri dalam negeri atau oleh presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, organisasi, atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun."
Pasal 4 berbunyi, "Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 156a: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa."
Terdapat seorang hakim berbeda pendapat atau disenting opinion, yaitu hakim Maria Farida Indrati. Selain itu, hakim konstitusi Harjono membacakan concurring opinion atau menyepakati putusan MK, tetapi memiliki alasan yang berbeda.
Pimpinan Majelis Hakim, Mahfud MD menilai undang-undang ini tidak membatasi kebebasan beragama, sebagaimana yang diargumentasikan pemohon. Sebaliknya, undang-undang ini melarang mengeluarkan perasaan yang bersifat permusuhan atau penodaan agama atau pokok-pokok ajaran agama yang ada di Indonesia.
Secara kolektif, majelis hakim konstitusi menilai bahwa pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya bahwa pasal-pasal tersebut melanggar konstitusi, mengancam kebebasan beragama, dan bersifat diskriminatif serta berpotensi melakukan kriminalisasi terhadap penganut agama minoritas.
Para pakar yang dijadikan saksi dalam persidangan terdiri dari 3 kelompok: yang menyarankan agar UU tersebut dihapus, yang menyarankan agar UU tersebut tetap diberlakukan, dan yang ingin adanya revisi dari UU tersebut.
Pakar yang menyarankan pada MK agar UU tersebut dihapus adalah cendekiawan Moeslim Abdurrahman, Djohan Effendi, budayawan Garin Nugroho, sosiolog UI, Thamrin Amal Tamagola dan tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL), Luthfie Assyaukanie.
Sedangkan ahli yang mendukung UU tersebut tetap diberlakukan antara lain Ketua Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Syihab, Menteri Agama Suryadharma Ali, Menkumham Patrialias Akbar, Ketua MUI, Amidhan, tokoh NU, Hasyim Muzadi, ahli hukum tata negara, Yuzril Ihza Mahendra, ahli hukum pidana UGM, Eddy OS Hiariej dan feminis Islam, Khofifah Indar Parawansa.
Adapun ahli yang tidak memilih mendukung atau menolak tapi mengajukan pilihan ke tiga yaitu revisi UU antara lain cendekiawan muslim Komaruddin Hidayat, peneliti LIPI Siti Zuhro, sastrawan Taufik Ismail dan intelektual muslim Azyumardi Azra.
Krusialnya Peran MK
Mahkamah Konstitusi telah diberi mandat oleh UUD 45 sebagai penafsir hukum konstitusi. Jangankan hukum buatan manusia, hukum buatan Tuhan pun terbuka peluang perbedaan pendapat oleh para mufassirin. Apalagi hukum rumusan manusia yang bisa ditarik ke kiri atau ke kanan. Tergantung si penafsir.
Seperti disenting opinionnya salah seorang hakim MK pada putusan UU Penodaan Agama, para penafsir itu bisa saling berbeda pendapat meski sama-sama dianugerahi gelar Doktor hukum.
Maka keberadaan MK tak kalah urgen daripada anggota dewan. Karena MK bisa membatalkan begitu saja sebuah undang-undang yang telah digodok oleh para anggota dewan bila ditafsirkan bertentangan dengan UUD 45. Walaupun pada akhirnya anggota dewan bisa melakukan "serangan balik" dengan merevisi UUD 45. Memang agak membingungkan sistem yang dibangun oleh manusia.
Oleh karena itu, sudah menjadi fardhu kifayah bagi muslim di Indonesia untuk menyiapkan pakar hukum yang berlaku di Indonesia. Tujuannya agar mereka bisa mendekatkan hukum di Indonesia pada keadaan ideal yang diinginkan oleh Allah swt. Selain itu, karena sebenarnya konstitusi di Indonesia sangat bisa ditafsirkan dalam nafas Islam.
Seorang Hamdan Zoelva, Jimli Ashidiqie (yang bukan kader parpol Islam namun seorang muslim yang ta'at), Mahfud MD (seorang muslim yang dibesarkan oleh lingkungan pesantren) adalah penjaga umat Islam di Indonesia agar tidak dirumuskan kepada undang-undang sekuler. Dibutuhkan muslim-muslim lain seperti mereka.
(referensi diambil dari berbagai sumber)
Ghiroh Tsaqofy
Para penggugat berasal dari Imparsial, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat atau ELSAM, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia atau PBHI, Pusat Studi HAM dan Demokrasi atau Demos, Masyarakat Setara, Yayasan Desantara, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI, (alm) KH Abdurrahman Wahid, Prof Dr Musdah Mulia, Prof M Dawam Rahardjo, serta KH Maman Imanul Haq.
Permohonan pengujian diajukan terhadap lima norma, yaitu Pasal 1, Pasal 2 ayat 1, Pasal 2 ayat 2, Pasal 3, dan Pasal 4. MK menggunakan sembilan norma UUD 1945 sebagai alat uji, yaitu Pasal 1 ayat 3, Pasal 27 ayat 1, Pasal 28D ayat 1, Pasal 28E ayat 1, Pasal 28E ayat 2, Pasal 28E ayat 3, Pasal 28I ayat 1, Pasal 28I ayat 2, dan Pasal 29 ayat 2.
Pasal 1 berbunyi, "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran, dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu."
Pasal 2 ayat 1 berbunyi, "Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama menteri agama, menteri/jaksa agung, dan menteri dalam negeri."
Pasal 2 ayat 2 berbunyi, "Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat 1 dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah presiden mendapat pertimbangan dari menteri agama, menteri/jaksa agung, dan menteri dalam negeri."
Pasal 3 berbunyi, "Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh menteri agama bersama-sama menteri/jaksa agung dan menteri dalam negeri atau oleh presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, organisasi, atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun."
Pasal 4 berbunyi, "Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 156a: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa."
Terdapat seorang hakim berbeda pendapat atau disenting opinion, yaitu hakim Maria Farida Indrati. Selain itu, hakim konstitusi Harjono membacakan concurring opinion atau menyepakati putusan MK, tetapi memiliki alasan yang berbeda.
Pimpinan Majelis Hakim, Mahfud MD menilai undang-undang ini tidak membatasi kebebasan beragama, sebagaimana yang diargumentasikan pemohon. Sebaliknya, undang-undang ini melarang mengeluarkan perasaan yang bersifat permusuhan atau penodaan agama atau pokok-pokok ajaran agama yang ada di Indonesia.
Secara kolektif, majelis hakim konstitusi menilai bahwa pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya bahwa pasal-pasal tersebut melanggar konstitusi, mengancam kebebasan beragama, dan bersifat diskriminatif serta berpotensi melakukan kriminalisasi terhadap penganut agama minoritas.
Para pakar yang dijadikan saksi dalam persidangan terdiri dari 3 kelompok: yang menyarankan agar UU tersebut dihapus, yang menyarankan agar UU tersebut tetap diberlakukan, dan yang ingin adanya revisi dari UU tersebut.
Pakar yang menyarankan pada MK agar UU tersebut dihapus adalah cendekiawan Moeslim Abdurrahman, Djohan Effendi, budayawan Garin Nugroho, sosiolog UI, Thamrin Amal Tamagola dan tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL), Luthfie Assyaukanie.
Sedangkan ahli yang mendukung UU tersebut tetap diberlakukan antara lain Ketua Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Syihab, Menteri Agama Suryadharma Ali, Menkumham Patrialias Akbar, Ketua MUI, Amidhan, tokoh NU, Hasyim Muzadi, ahli hukum tata negara, Yuzril Ihza Mahendra, ahli hukum pidana UGM, Eddy OS Hiariej dan feminis Islam, Khofifah Indar Parawansa.
Adapun ahli yang tidak memilih mendukung atau menolak tapi mengajukan pilihan ke tiga yaitu revisi UU antara lain cendekiawan muslim Komaruddin Hidayat, peneliti LIPI Siti Zuhro, sastrawan Taufik Ismail dan intelektual muslim Azyumardi Azra.
Krusialnya Peran MK
Mahkamah Konstitusi telah diberi mandat oleh UUD 45 sebagai penafsir hukum konstitusi. Jangankan hukum buatan manusia, hukum buatan Tuhan pun terbuka peluang perbedaan pendapat oleh para mufassirin. Apalagi hukum rumusan manusia yang bisa ditarik ke kiri atau ke kanan. Tergantung si penafsir.
Seperti disenting opinionnya salah seorang hakim MK pada putusan UU Penodaan Agama, para penafsir itu bisa saling berbeda pendapat meski sama-sama dianugerahi gelar Doktor hukum.
Maka keberadaan MK tak kalah urgen daripada anggota dewan. Karena MK bisa membatalkan begitu saja sebuah undang-undang yang telah digodok oleh para anggota dewan bila ditafsirkan bertentangan dengan UUD 45. Walaupun pada akhirnya anggota dewan bisa melakukan "serangan balik" dengan merevisi UUD 45. Memang agak membingungkan sistem yang dibangun oleh manusia.
Oleh karena itu, sudah menjadi fardhu kifayah bagi muslim di Indonesia untuk menyiapkan pakar hukum yang berlaku di Indonesia. Tujuannya agar mereka bisa mendekatkan hukum di Indonesia pada keadaan ideal yang diinginkan oleh Allah swt. Selain itu, karena sebenarnya konstitusi di Indonesia sangat bisa ditafsirkan dalam nafas Islam.
Seorang Hamdan Zoelva, Jimli Ashidiqie (yang bukan kader parpol Islam namun seorang muslim yang ta'at), Mahfud MD (seorang muslim yang dibesarkan oleh lingkungan pesantren) adalah penjaga umat Islam di Indonesia agar tidak dirumuskan kepada undang-undang sekuler. Dibutuhkan muslim-muslim lain seperti mereka.
(referensi diambil dari berbagai sumber)
Ghiroh Tsaqofy
DPD PKS Siak - Download Android App