Genosida Mesir dan Politik Bebas Aktif Indonesia | By @abifahmiazizi
By: admin
Minggu, 18 Agustus 2013
0
pkssiak.org - Sejarah
Bangsa Indonesia hari ini, 17 Agustus 2013, telah menapaki kebebasan
selama 68 tahun. Kebebasan ini tidak terlepas dari perjuangan panjang
seluruh rakyat Indonesia dan dukungan dunia Internasional dalam
memenangkan Indonesia dalam diplomasi melawan Belanda. Mesir adalah
negara pertama yang mendukung penuh kemerdekaan Indonesia.
Inisiatif
dukungan negara Mesir yang dipelopori antara lain oleh Hasan Al Banna
dari barisan Ikhwanul Muslimin menjadikan Indonesia lebih bermartabat di
mata dunia internasional. Dengan kata lain, dukungan negara Mesir dan
negara-negara Islam lainnya merupakan momentum menentukan dalam sejarah
perjuangan Bangsa Indonesia.
Kini
sejarah seakan membalik 180 derajat. Mesir diguncang prahara kudeta
militer pimpinan Abdul Fattah Al Sisi terhadap kekuasaan Presiden
Muhammad Mursi yang berkuasa atas kehendak rakyat setelah memenangkan
pemilu yang demokratis. Dunia Barat yang dimotori Amerika Serikat,
negara yang mengklaim paling demokratis, menerapkan standar ganda
sehingga enggan menyatakan bahwa apa yang terjadi di Mesir adalah sebuah
kudeta yang mencederai nilai-nilai demokrasi.
Dan
lebih ironi lagi, Indonesia sebagai negara Muslim berdaulat terbesar di
dunia, ikut pula mengekor Amerika Serikat enggan mengutuk kudeta
militer di Mesir bahkan setelah korban syahid di pihak demonstran pro
Mursi mencapai 6.500 orang dan luka-luka 10.000 lebih. Inikah cerminan
politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif?
Benar,
dulu Indonesia pernah berjaya dalam politik luar negerinya yang dikenal
dengan politik luar negeri bebas dan aktif. Bebas artinya Indonesia
menentukan sendiri haluan poltik luar negerinya tanpa pengaruh dan
intervensi dari negara mana pun di dunia. Aktif artinya Indonesia
senantiasa memprakarsai upaya-upaya mewujudkan perdamaian dunia dan
keadilan sosial. Politik aktif ini tercermin dari prakarsa Indonesia
pada poros negara-negara Non Blok dan politik kawasan di ASEAN. Tapi
hari ini, di saat Indonesia memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan
ke-68 kita kembali diingatkan untuk membalas jasa-jasa negara Mesir yang
tanpa pamrih ikut memenangkan Indonesia dalam diplomasi Internasional.
Mesir memanggil prakarsa Indonesia dan politik bebas dan aktifnya sejak
semula untuk terang-terangan mengutuk kudeta militer.
Tapi,
sangat disayangkan Indonesia yang dalam hal ini direfleksikan oleh
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersikap ambigu dalam
menanggapi kudeta militer di Mesir. Pernyataan yang kurang bernilai di
antaranya semata-mata meminta kedua belah pihak, militer dan Ikhwanul
Muslimin, menahan diri. Bahasa ini menempatkan Indonesia pada posisi
berdiam diri dan tidak peduli dengan apa yang terjadi di Mesir bahkan di
saat negara-negara lain sudah menarik duta besarnya dari Mesir atau
meminta penjelasan dari duta besar Mesir di negaranya masing-masing.
Selain itu, bahasa ini juga mengindikasikan bahwa Presiden RI kurang
memahami atau tidak peduli dengan apa yang sebenarnya terjadi di Mesir.
Kudeta
militer di Mesir bukanlah pertumpahan darah yang terjadi antara militer
Mesir menghadapi kelompok Ikhwanul Muslimin semata, melainkan antara
militer dan seluruh rakyat Mesir yang merasakan nilai-nilai demokrasi
tercabik-cabik. Sungguh sempit memandang bahwa apa yang terjadi di Mesir
adalah konflik antara militer dan kelompok Ikhwanul Muslimin. Sehingga
melebar pada keengganan memberikan dukungan atas perjuangan rakyat Mesir
melawan anarki anti demokrasi.
Genosida Mesir
Apa
yang terjadi di Mesir hari ini akan tercatat dalam lembaran sejarah
sebagai genosida terbesar terhadap kaum Muslimin Mesir. Dan oleh karena
itu Mesir memanggil peranan Indonesia untuk bersegera menorehkan
sejarahnya sebagai negara yang mempelopori upaya mengutuk dan
menghentikan anarki militer yang telah membunuh ribuan demonstran
penentang kudeta. Meskipun, apa mau di kata Indonesia tercatat di
lembaran yang berbeda dengan Malaysia dan apalagi Turki yang telah
memprakarsai sejak semula menunjukkan penentangan dan pembangkangan
terhadap kudeta militer Mesir. Bahkan Turki terus menerus mengingatkan
kepada pihak-pihak yang berdiam diri menyaksikan pembantaian militer
terhadap para demonstran.
Indonesia
akan tercatat dalam lembaran mereka yang berdiam diri menyaksikan
kudeta berdarah dan anti demokrasi ini. Perhatikanlah dan renungkan
pernyataan keras Perdana Menteri Turki Recep Tayyib Erdogan. "Mereka
yang tinggal diam dalam menghadapi pembantaian ini adalah sama dengan
orang-orang yang melakukan itu. Dewan Keamanan PBB harus bersidang
dengan cepat," kata Erdogan seperti dikutip Egypt Independent dalam
konferensi pers di Ankara, Turki, Kamis (15/8).
Politik Bebas Aktif
Saatnya
Indonesia bersegera bangun dari mimpinya dan berteriak lantang
menentang kudeta militer Mesir. Presiden seharusnya bergegas bangun
lebih dari sekedar membuat pernyataan keperihatinan dalam kicauannya di
media sosial Twitter. Sikap meniru Amerika Serikat yang menerapkan
standar ganda dan menerapkan politik "wait and see" baru kemudian
mengutuk setelah negara lain ramai-ramai bersuara menentang amat tidak
terpuji dan bertentangan dengan sikap politik bebas dan aktif.
Menjalankan
politik luar negeri sebagai "safety player" sangat tidak disenangi
kebanyakan masyarakat Indonesia. Masyarakat menginginkan politik luar
negeri yang tegas sebagaimana dipelopori Bung Karno dan Bung Hatta.
Masyarakat ingin melihat Presiden yang tegas bersikap dan berbuat.
Menarik duta besar Indonesia di Mesir perlu dilakukan sebagai bentuk
penentangan Indonesia terhadap kudeta militer yang telah menyengsarakan
rakyat Mesir dan sekaligus pula berdampak pada perjuangan rakyat
Palestina yang berbatasan dengan Mesir.
Di
Hari Ulang Tahun (HUT) RI ke-68 ini sepantasnyalah Indonesia mengingat
kembali peran negara Mesir dalam menjadikan Indonesia lebih bermartabat
dalam diplomasi politik luar negerinya. Ayo Presiden SBY, Bapak Bisa
!![].
Belitung-Jakarta (KM Leuser), 17 Agustus 2013
Abi Fahmi Azizi
Follow @abifahmiazizi
DPD PKS Siak - Download Android App