pkssiak.org - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Mudzakkir melontarkan kritik keras pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam diskusi Indonesia Lawyer’s Club (ILC) TV One Selasa malam (9-7) bertema “Eksepsi Luthfi: KPK Bermain Opini?”
Pakar hukum pidana yang pernah menjadi saksi ahli pada persidangan Susno Duadji ini menjadi salah satu narasumber yang mengamini lontaran Fahri Hamzah soal absurdnya prosedur penyadapan KPK. “Merampas hak orang itu melanggar konstitusi,” tegasnya.
Pada diskusi yang turut menghadirkan juru bicara KPK Johan Budi dan Febridiansyah (ICW) itu, Prof. Mudzakir juga mengkritisi intervensi lembaga-lembaga anti korupsi terhadap instansi formal penegakan hukum.
“Semua gerakan anti korupsi harus berhenti di tempat-tempat dimana aparat penegak hukum hendak mengambil suatu keputusan. Jangan sekali-kali gerakan apapun itu bisa masuk ke ruang kantor-kantor penegakan hukum. Apalagi mendikte mereka. Apalagi bertindak mewakili mereka.” – quote -
Berikut statemen lengkap Prof. Mudzakir:
Prof. Mudzakir: Ada beberapa hal saya ingin sampaikan terkait hal penting dalam proses penegakan hukum. Saya mulai dari aspek materi hukumnya.
Tadi yang banyak dibahas tentang penyadapan. Memang pasal penyadapan ini pernah diuji di Mahkamah Konstitusi.
Penyadapan adalah persoalan yang penting karena dalam perkembangan hukum terkini dan demokrasi terkini sadap adalah hal yang krusial sekali dan itu mengancam kebebasan seseorang.
Oleh sebab itu dalam pengujian, Mahkamah Konstitusi menuntut pelaksanaan dari Undang-Undang yang mengatur tentang penyadapan. Kalo ga salah dulu ada 4 atau 5 pasal tersebar di berbagai UU yang meminta agar ada UU yang mengatur teknik penyadapan.
Maunya begitu. Bukan kepada Peraturan Pemerintah juga bukan pada peraturan lembaga yang bersangkutan.
Maksudnya apa? Maksudnya ini hal yang krusial di alam demokrasi seperti sekarang ini, sadapan itu harus dengan UU. Nah, UU itu sampai sekarang belum terbit. Saya kira catatan buat legislatif untuk memikirkan ini supaya sadapan harus ada mekanisme, bagaimana prosedur dsb supaya nanti hak rakyat yang dirampas karena sadapan itu (menjadi) legal.
Oleh sebab itu, himbauan saya buat aparat penegak hukum usahakan bagaimana caranya melakukan penyadapan yang mengarah pada gagasan Mahkamah Konstitusi itu. Harus hati-hati pada hal yang belum ada peraturannya.
Dalam interpretasi yang futuristik, sadapan harusnya mengacu pada norma-norma yang telah diatur di perundang-undangan.
Intisarinya begini. Sadapan itu bukan untuk mencari pelaku, tapi untuk mencari bukti lanjutan pada seseorang yang telah dijadikan tersangka. Sehingga ada satu proses di sini, ketika orang itu ingin dicari sebelum disadap, semestinya nyari dulu dong bukti-bukti, pembuktian lebih dulu …
Karni Ilyas: Bukti-bukti permulaan …
Prof. Mudzakir: Bukti permulaan yang cukup, baru kemudian ada produk hukum yang nyatakan: sadap. Nah, untuk penyidik kepolisian sudah ada standarnya. Mereka harus minta ijin pengadilan. Saya kira harus diberi warning juga bahwa sadapan untuk diijinkan mestinya yang layak adalah yang (pasca ijin pengadilan) “itu bisa disadap”. Begitu. Itu yang pertama.
Kedua adalah mengenai hal yang terkait penetapan seseorang menjadi tersangka. Ini juga penting.
Saya mengkaji dari proses hukum yang selama ini terjadi. Merampas hak orang pakai ijin pengadilan, dst, menggeledah pakai ijin pengadilan, tapi mengapa menahan orang tanpa ijin pengadilan? Karena menahan orang itu berkenaan dengan manusia dan hak manusia dilindungi oleh konstitusi.
Kalau menurut saya, Pak Karni, atmosfer yang sekarang ini harus dirujuk maka gagasan dalam RUU KUHAP itu menurut saya bagus sekali, bahwa nanti perampasan hak rakyat itu harus ada ijin pengadilan.
Saya kira nanti bisa didiskusikan, bentuknya seperti apa. Tapi yang paling penting rakyat itu dirampas haknya karena diduga melakukan tindak pidana, harus melalui ijin pengadilan.
Persoalannya adalah kapan seseorang dinyatakan boleh dirampas haknya untuk dijadikan tersangka. Saya kira kita harus mengkritik praktek selama ini. Mestinya berdasarkan bukti-bukti yang cukup, dia baru dinyatakan sebagai tersangka. Diuji dulu di pengadilan, baru dia tersangka. Ini penting.
Jadi saya terus terang agak sedikit kritik. Mengapa orang jadi tersangka dibiarkan saja berbulan-bulan, bertahun-tahun (applause). Saya kira praktek ini harus dihentikan, Pak.
Kumpulkan dulu sebanyak-banyaknya alat bukti, barang bukti itu, tetapkan dia sebagai tersangka. Proses secepatnya. Jangan sampai tetapkan dulu dia tersangka, urusan pembuktian urusan nanti. Saya kira prosesnya jangan dibalik seperti itu (applause).
Ini harus menjadi perhatian kita bersama. Banyak orang yang hancur lebur karier mereka disebabkan sudah jadi tersangka terlebih dahulu.
Ga usah menuntut dengan mengatakan: Ini kan kewenangan saya. Ga usah begitu. Harus kesadaran konstitusional bahwa merampas hak orang itu melanggar konstitusi. Oleh sebab itu perampasan harus diproses secara konstitusional pula.
Dan yang berikutnya, dalam rangka itu pula saya menyampaikan, Pak Karni, tadi ada opini mempengaruhi proses putusan dsb. Saya malah justru, ini kalimat saya tiga tahun yang lalu, bahwa semua gerakan anti korupsi harus berhenti di depan kantor polisi, berhenti di depan kantor pengadilan, berhenti di depan kantor KPK, berhenti juga di tempat-tempat dimana ketika aparat penegak hukum hendak mengambil suatu keputusan.
Jangan sekali-kali gerakan apapun itu bisa masuk ke ruang kantor-kantor penegakan hukum itu. Apalagi mendikte mereka. Apalagi bertindak mewakili mereka. Tidak boleh juga. Saya kira ini penting (big applause, KI + audience LOL).
Lembaga ini harus independen karena dalam republik ini disebut pro justitia atau demi keadilan berdasarkan Tuhan YME. Ini tidak boleh dicampuri, sehingga hakim dijaga independensinya atau dia memutus dengan adil dan bijaksana, berdasar hukum dan keadilan.
Jangan sampai hakim diteror sehingga merasa takut sehingga harus memutus bertentangan dengan hati nuraninya. Saya kira hakim cuma gak mau ngomong aja. Saya mewakili aspirasi mereka. Ketakutan yang luar biasa mereka ini (applause).
Terakhir, sebagai bagian yang perlu saya tegaskan kembali ketika dikatakan (KPK) perlu lebih menekankan pada penegakan hukum. Saya setuju sekali tadi. Sebaiknya pencegahan lebih dikedepankan daripada penegakan hukum.
Di Semarang saya mengusulkan, mengapa kita tidak lagi mendirikan KPKPN seperti dulu sehingga kalau ada pejabat penyelenggara negara yang kekayaaannya berlimpah di luar kewajaran cukup diproses KPKPN.
Suruh dia membuktikan kok ini kelihatannya banyak sekali darimana? Buktikan dulu. Kalau kira-kira dalam jangka waktu sekian tidak bisa membuktikan, mohon maaf akan kami sita menjadi harta kekayaan negara tanpa harus melalui proses pidana.
Saya kira itu lebih bagus untuk di masa depan. KPK harus rela untuk dicopot lagi, untuk menjadi lembaga yang independen. []
*http://www.pkslampung.org/?p=891