Diskusi seputar premanisme politik (Antara) |
pkssiak.org - "Politik itu adalah perang tak berdarah dan perang itu adalah politik berdarah." (DR. Lely Arrianie)
Premanisme, adalah sebuah kosa kata yang sangat akrab dalam ingatan publik akhir-akhir ini. Istilah tersebut merujuk pada aksi kekerasan yang dilakukan oleh individu atau sekelompok individu kepada individu atau kelompok lainnya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan cara memaksakan kehendak. Aksi premanisme ini selalu di identikkan dengan aksi kekerasan. Baik kekerasan fisik maupun kekerasan dalam bentuk psikologis.
Kekerasan tidaklah sama dengan konflik. Kekerasan, menurut Dr. Lely Arrianie bisa terjadi dengan atau tanpa didahului oleh konflik. Bisa terjadi oleh sebab yang sepele, situasional, kadarnya bisa kuat atau lemah dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama serta berulang-ulang.
Kekerasan bisa terjadi di mana-mana dan berpotensi menimpa siapa saja. Tak terkecuali di dalam panggung politik, di mana panggung tersebut merupakan mimbar terbuka bagi para politisi dengan berbagai latar belakang karakter dan pendidikannya. Selama proses pertukaran ide, gagasan dan pesan-pesan politik dilakukan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, selama itu pula peluang terjadinya kekerasan dalam komunikasi politik akan terus berlanjut dan berulang-ulang. Bahkan tidak jarang berujung pada kekerasan fisik maupun psikologis.
Fenomena Premanisme politik ini, pernah disampaikan oleh Anas Urbaningrum, sebagaimana yang dukutip oleh Dr. Lely Arrianie dalam buku Komunikasi Politik (2010:230). Anas mengatakan," DPR inikan adalah orang-orang baru dengan lingkungan yang seperti tergambar, akhirnya menjadi kombinasi antara sebagian orang baru yang memiliki kosa kata politik terbatas, kapabilitas politik juga terbatas, bertemu dalam suasana hiruk pikuk kehidupan politik, euforia politik yang sesungguhnya sebagian bisa disimbolkan bahwa; dengan pertemuan dua arus ini, individual politisi memiliki cara tersendiri terhadap kesempatan yang ia miliki."
Bagian penting dari kekerasan komunikasi politik yang patut kita garis bawahi adalah egosentrisme dan ketiadaan seleksi pesan yang hendak disampaikan, baik dalam bentuk tindakan, sikap, pandangan politik dan seterusnya yang menunjukkan kedewasaan para politisi dalam berpolitik. Egosentrisme menyebabkan individual politisi cenderung memberikan pembelaan terhadap kelompok politiknya secara membabi buta, nyaris tanpa kritik dan evaluasi. Pesan politik yang tampak justru bukan subtansi, tetapi seorang politisi yang kehilangan narasi dan argumentasi. Karenanya, ketika egosentris itu bekerja, maka ukurannya bukan lagi kekerasan atau bukan kekerasan, tetapi perasaan merasa terbela atau tidak. Sehingga pesan yang disampaikan menjadi tidak terseleksi.
Contoh sederhana kekerasan komunikasi politik yang dapat kita amati adalah ketika mencuatnya issu rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersusbisi beberapa waktu lalu. Di mana kala itu, PKS yang tergabung dalam koalisi Parpol pendukung pemerintah memilih untuk berbeda sikaf dan pandangan dalam menyikapi rencana pemerintah menaikkan harga BBM, dengan sekeranjang argumentasi yang dimilikinya.
Maka apa yang terjadi? Sebagian besar elite parpol koalisi menampilkan bentuk kekerasan komunikasi politik terhadap partai yang bersangkutan. Beberapa istilah kemudian dimunculkan. Mulai dari "Politik Dua Kaki", "Tidak Punya Kelamin", "Munafiq". "Tidak tahu malu" Sampai pada pernyataan,"PKS harus dipecat dari koalisi". Egosentrisme yang berlebihan serta kosakata politik yang belum memadai, menyebabkan ketiadaan seleksi pesan yang disampaikan oleh para politisi, sehingga aksi Premanisme Politik menjadi sebuah parodi yang tak berkesudahan.
Di negara-negara demokrasi manapun di dunia, perbedaan pendapat adalah sesuatu yang wajar dan sah, selama perbedaan itu dapat dikomunikasikan dengan cara-cara yang elegan, beretika dan benar. Demokrasi sejatinya dipahami bukan hanya dalam arti kuantitatif sebagai pemerintahan mayoritas, tetapi juga bermakna kualitatif sebagai pemerintahan yang beretika. Pemerintah bekerja merealisasikan tujuan-tujuan yang baik dan bernilai tinggi dari masyarakat kemudian dilakukan dengan cara-cara yang baik pula. Etika dalam komunikasi politik akan menghindarkan kita dari kejahatan "Majorkrasi", yakni pemerintahan yang semata-mata bekerja atas dasar kemauan mayoritas, meskipun kepentingan dan kemauan mayoritas tersebut tidaklah selalu bermuatan baik dan mengorbankan kepentingan publik yang jauh lebih prioritas.
Pada tataran yang lebih luas, premanisme politik sesungguhnya tidak hanya terjadi dipanggung politik DPR, tetapi juga di panggung media massa. Kebebasan pers yang menjadi salah satu indikator negara berbasis demokrasi, acapkali menyajikan berbagai bentuk kekerasan dalam komunikasi politik. Baik yang dilakukan oleh narasumber dari kalangan politisi, pengamat politik, ativis politik, LSM maupun dari pers itu sendiri.
Setiap bentuk penyampaian pesan politik yang dilakukan oleh komunikator politik dalam bentuk pewacanaan sekalipun dan dilakukan secara tidak proporsional, yang pesannya mengandung unsur kekerasan fisik maupun psikologis menurut Dr. Leny Arrianie, adalah layak dan dapat disebut sebagai bentuk premanisme politik. Oleh karenanya, sebagai anak kandung demokrasi, pers seyogyanya tidak hanya berpijak pada kebebasan semata dalam menyebarkan informasi, tetapi hendaknya bergerak maju pada penyebaran berita dengan misi dan bermuatan kepentingan publik.
Dalam hal demikian, moralitas, etika dan fatsoen pemberitaan yang sudah diatur dalam Kode Etik Wartawan Indonesia perlu diimplementasikan dengan sebaik-baiknya. Agar opini publik yang terbangun adalah opini yang sehat, demokratis, jauh dari kesan kekerasan yang dapat menghindarkan kita pada demokrasi yang Majorkrasi. Sekian!
Mataram, Lombok, NTB, 1 Juli 2013
Syamsul Bahri
Fb: Syamsul Hidayati
Twitter: @SyamsulLombok