Kudeta Mesir Tak Selesaikan Masalah yang Dihadapi Rakyat
(Saduran bebas dari artikel di koran AS, The New York Times*)
pkssiak.org - Ali Sayed, aktivis kota Fayoum kini khawatir. Ia memang ikut gerakan melengserkan Presiden Mohammed Morsi. Tapi kini militer kembali berkuasa di Mesir dan rezim lama pimpinan Mubarak berancang-ancang untuk kembali.
Padahal Sayed punya angan-angan tentang Mesir baru. Angan-angannya kini seperti debu yang diterbangkan angin. Tak bisa diwujudkan karena terhalang kekuatan politik lama yang berkuasa di Mesir selama beberapa dekade sebelumnya.
Jutaan orang boleh turun ke jalan menuntut perubahan tapi sejatinya Fayoum, seperti halnya kota-kota lain di Mesir, terjebak oleh masa lalu.
“Kita menghadapi masalah yang sama,” kata Sayed.
Di zaman Mubarak swastanisasi membuat layanan umum seperti air menjadi mahal. Pengangguran juga menjadi masalah serius. Selama setahun pemerintahan Morsi, masalah-masalah ini tak sepenuhya terpecahkan. Essam el-Kholi warga di Fayoum tadinya berharap akan ada perubahan dengan naiknya Ikhwanul Muslimin. Cuma, harapan itu belum terwujud, setidaknya hingga saat ini.
Dan kemudian terjadilah insiden penggulingan Presiden Morsi di Kairo.
Beberapa hari setelah Morsi dilengserkan, para pendukung Ikhwanul Muslimin di Fayoum berangkat ke Kairo dengan menggunakan bus, menuntut agar Morsi ditetapkan kembali menjadi presiden.
Dari sekian banyak pendukung Ikhwanul Muslimin yang beramai-ramai menuju Kairo, ada satu yang bertahan di Fayoum. Namanya Hamdy Taha, yang juga dikenal sebagai wakil rakyat.
Taha mengatakan 'preman dengan didukung polisi' menyerang Ikhwanul Muslimin dan para pendukung kelompok ini. Taha menolak anggapan bahwa tidak ada kemajuan di Mesir ketika Morsi berkuasa. “Para anggota Ikhwanul Muslimin bekerja siang malam melayani rakyat,” kata Taha.
Ia juga mengatakan harga bahan bakar di Fayoum sebenarnya tidak setinggi dulu. Situasi pangan juga lebih baik, katanya.
“Sekarang semua program kerja pemerintah untuk perbaikan kualitas kehidupan rakyat dihentikan oleh kudeta,” kata Taha.
“Cara kerja militer menjalankan pemerintah jauh lebih buruk dari Morsi,” kata Taha yang memperkirakan dirinya tidak akan lama lagi akan ditahan militer, seperti halnya anggota dan tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin lain.
Sementara Taha mempertimbangkan untuk mundur dari politik, tidak demikian halnya dengan Mohamed Hashem, loyalis rezim Mubarak. Hashem mengatakan tak senang karena gerakan Ikhwanul Muslimin berhasil memangkas jaringan Mubarak di Fayoum. Ia juga mengatakan pemerintah Morsi lebih buruk dari Mubarak.
Kebangkitan kembali rezim lama inilah yang membuat Sayed khawatir. Sayed dan rekan-rekannya kini sadar bahwa upaya melengserkan Morsi membawa dampak yang tidak diperkirakan: kemungkinan kemunculan orang-orang lama di politik Mesir.
Pertarungan seperti ini mungkin tidak ada di benak rakyat kebanyakan. Mereka hanya ingin kehidupan menjadi lebih baik, ditandai antara lain dengan harga panen yang tinggi, ketersediaan pupuk, dan rasa keamanan.
Bagi rakyat, Morsi belum bisa mewujudkan ini semua.
Tapi Morsi sudah berhasil mewujudkan perubahan mendasar. “Ia berbeda dengan para pejabat di masa lalu,” kata Shaaban Abdel-Razek, petani di Fayoum.
“Morsi bukan orang militer. Ia dari kelompok Islam. Ia sama sekali baru,” kata Razek.
____
*sumber: "In Some Parts of Egypt, Bad Times Remained Bad" (www.nytimes.com/2013/07/13/world/middleeast/in-some-parts-of-egypt-bad-times-remained-bad.html)
-penterjemahan by admin @PKSInggris on twitter