pkssiak.org, JAKARTA
– Kerusuhan yang terjadi di Lapas Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara
pada pekan lalu disinyalir dipicu oleh penerapan PP Nomor 99 Tahun 2012
tentang pengetatan remisi.
Pernyataan Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin yang menyebut
penerapan PP tersebut tidak berlaku surut dinilai inkonsisten dan
diskriminatif.
“Negara ini memang negara arogan, negara yang konsisten untuk tidak
konsisten,” cetus pakar hukum tata negara, Margarito Kamis dalam
keterangannya di Jakarta, Senin (15/7/2013).
Namun, kata dia, ketika dimintai ketegasan soal putusan Mahkamah
Konsitusi (MK) tanggal 22 November 2012 terkait Pasal 197 ayat (1) huruf
k Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
pihak Kementerian Hukum dan HAM justru bersikeras bahwa putusan MK
tersebut berlaku surut.
Ketidakkonsistenan itu bisa dilihat dari penerapan Pasal 197 KUHAP,
khususnya Pasal 197 ayat (1) huruf k. Di situ disebutkan bahwa putusan
pengadilan yang tidak memuat perintah penahanan, maka tidak bisa
dieksekusi. “Tapi, faktanya tidak ada perintah penahanan tetap
dieksekusi,” sambung Margarito.
Inkonsistensi itu kemudian berlanjut kala Yusril Ihza Mahendra
membawa penerapan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tersebut ke Mahkamah
Konstitusi (MK) dalam perkara Parlin Riduansyah.
Kemenkum HAM seorah enggan menjalankan putusan tersebut dan justru
menyebut putusan tersebut berlaku surut. Akibatnya, napi yang kadung
dipenjara karena menjadi korban penerapan Pasal 197 huruf k KUHAP urung
dibebaskan.
Di sisi lain, Ketua MK Akil Mochtar sebelumnya dengan tegas menyatakan bahwa putusan MK tersebut tidak berlaku surut.
Undang-undang MK Pasal 47 jelas mencantumkan putusan MK tidak berlaku
surut (asas retroaktif). Efek berlakunya putusan MK bersifat prospektif
ke depan (forward looking) dan tidak retroaktif ke belakang (backward
looking).
“Ini yang menjadi menurunkan martabat PP 99/2012 dan Pasal 197 harkat dan martabatnya menjadi rendah,” tukasnya.
Setali tiga uang, pakar hukum pidana, Andi Hamzah pun mengkritisi
soal ini. Menurutnya, keberadaan putusan MK lebih kuat ketimbang PP.
Tidak dijalankannya putusan MK itu membuat seakan penerapan hukum di
negeri ini menjadi salah kaprah.
“Sejatinya, putusan MK dijalankan terlebih dahulu. Kuatan putusan MK.
Pokoknya Indonesia masalah hukum kacau lah ya. Sudah kacau, terkenal
Indonesia di luar negeri ialah penerapan hukum di Indonesia tidak sesuai
dengan standar-standar internasional,” sesalnya.[okezone/pkssiak]