"Tugas Pembimbing dan Pengajar"
Said Hawwa
pkssiak.org - Pertama, belas kasih kepada murid dan memperlakukannya sebagai anak. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya aku bagi Mian adalah bagaikan bapak terhadap anaknya.”
Dengan tujuan menyelamatkan mereka dari api akhirat, bahkan ini lebih
penting ketimbang penyelamatan kedua orang tua terhadap anaknya dari api
dunia. Oleh karena itu, hak guru lebih besar dari hak kedua orang tua.
Karena orang tua adalah sebab keberadaan sekarang dan kehidupan yang
fana sedangkan guru adalah sebab kehidupan yang abadi. Kalau bukan
karena guru niscaya apa yang diperoleh dari pi’hak bapak akan berjalan
kepada kehancuran lerus-menerus. Sesungguhnya guru adalah orang yang
bermanfaat bagi kehidupan akhirat yang abadi —yakni guru ilmu-ilmu
akhirat atau ilmu-ilmu dunia yang dimaksudkan untuk akhirat bukan untuk
tujuan dunia.
Sebagaimana anak-anak dari satu orang bapak harus saling mencintai dan
saling tolong-menolong untuk mencapai semua tujuan, demikian pula hak
murid-murid dari satu orang guru harus saling mencintai dan berkasih
sayang. Hal ini tidak akan terwujudkan kecuali jika tujuan mereka
semata-mata mencari akhirat. Jika tujuan mereka untuk mendapatkan dunia
maka tidak ada lain kecuali saling mendengki dan bermusuhan.
Sesungguhnya para ulama’ dan “anak-anak akhirat” adalah para musafir
menuju Allah dan penempuh jalan dunia menuju kepada-Nya. Tahun-tahun dan
bulan-bulan dunia adalah tempat-tempat singgah di sepanjang jalan. Jika
saling mengasihi antar sesama musafir di perjalanan menuju berbagai
negeri dunia adalah sebab timbulnya saling kasih sayang dan saling
mencintai, maka apatah lagi jika perjalanan itu menuju surga Firdaus
yang tertinggi? Tidak ada kesempitan dalam kebahagiaan akhirat, sehingga
tidak akan ada pertengkaran antar sesama “anak-anak akhirat.” Dan tidak
ada kelapangan dalam kesenangan dunia, sehingga tidak akan pernah sunyi
dari sempitnya perebutan. Orang-orang yang bertujuan mencari kekuasaan
dengan ilmu telah keluar dari kategori firman Allah, “Sesungguhnya
orang-orang beriman adalah bersaudara” (Al Hujurat: 10) dan masuk ke
dalam cakupan firman-Nya, “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya
menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang
bertaqwa.” (Az Zukhruf: 67)
Kedua, meneladani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan
tidak meminta upah mengajar, tidak bertujuan mencari imbalan ataupun
ucapan terima kasih, tetapi mengajar semata-mata karena Allah dan
taqarrub kepada-Nya.
Juga tidak merasa berjasa atas para murid, sekalipun jasa itu mereka rasakan, tetapi memandang mereka juga memiliki jasa karena mereka telah mengkondisikan hati mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menanamkan ilmu kb dalamnya. Seperti orang yang meminjami tanah ladang untuk Anda tanami, maka hasil manfaat yang Anda peroleh dari tanah itu juga menambah kebaikan pemilik tanah. Bagaimana Anda menghitung jasa dan pahalamu dalam mengajar itu lebih besar ketimbang pahala murid di sisi Allah? Kalau bukan karena murid, guru tidak akan mendapatkan pahala ini. Oleh karena itu, janganlah Anda meminta upah kecuali dari Allah ta’ala, sebagaimana firman Allah mengisahkan Nuh alaihis salam, “W’ahai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku, Upahku hartyalah dari Allah.” (Hud: 29)
Juga tidak merasa berjasa atas para murid, sekalipun jasa itu mereka rasakan, tetapi memandang mereka juga memiliki jasa karena mereka telah mengkondisikan hati mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menanamkan ilmu kb dalamnya. Seperti orang yang meminjami tanah ladang untuk Anda tanami, maka hasil manfaat yang Anda peroleh dari tanah itu juga menambah kebaikan pemilik tanah. Bagaimana Anda menghitung jasa dan pahalamu dalam mengajar itu lebih besar ketimbang pahala murid di sisi Allah? Kalau bukan karena murid, guru tidak akan mendapatkan pahala ini. Oleh karena itu, janganlah Anda meminta upah kecuali dari Allah ta’ala, sebagaimana firman Allah mengisahkan Nuh alaihis salam, “W’ahai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku, Upahku hartyalah dari Allah.” (Hud: 29)
Ketiga, tidak meninggalkan nasehat kepada murid sama sekali,
seperti melarangnya dari usaha untuk beralih kepada suatu tingkatan
sebelum berhak menerimanya, dan mendalami ilmu tersembunyi sebelum
menguasai ilmu yang jelas. Kemudian mengingatkan murid bahwa tujuan
mencari ilmu adalah taqarrub kepada Allah ta ‘ala bukan untuk meraih
kekuasaan, kedudukan dan persaingan. Juga sedapat mungkin memberikan
gambaran betapa jeleknya hal itu pada dirinya, sebab apa yang diperbaiki
oleh guru yang fasiq tidak lebih banyak dari apa yang dirusaknya.
Keempat, ini termasuk pelik-pelik tugas mengajar, yaitu mencegah
murid dari akhlaq tercela, dengan cara tidak langsung dan
terang-terangan sedapat mungkin, dan dengan kasih sayang bukan
dengan celaan. Karena cara terang-terangan bisa mengurangi kewibawaan,
menimbulkan keberanian untuk membangkang, dan merangsang sikap
bersikeras mempertahankan. Kasus yang mengingatkan Anda kepada hal ini
adalah kisah Adam dan Hawa’ alaihimas salam berikut larangan terhadap
keduanua; kisah ini disebutkan kepada Anda bukan untuk menjadi bahan
cerita semata-mata tetapi agar menjadi pelajaran. Selain itu, cara
mencegah secara tidak langsung akan membuat jiwa yang baik dan pikiran
yang cerdas cenderung untuk menyimpulkan berbagai maknanya.
Kelima, guru yang menekuni sebagian ilmu hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang tidak ditekuninya,
seperti guru bahasa biasanya mencela ilmu fiqh, guru fiqh biasanya
mencela ilmu hadits dan tatsir, dengan mengatakan bahwa ilmu itu hanya
kutipan dan periwayatan semata-mata, dan guru teologi biasanya mencela
fiqh seraya mengatakan bahwa fiqh adalah cabang yang hanya berbicara
tentang haid wanita tetapi tidak pernah berbicara tentang sifat Allah.
Ini semua adalah akhlaq tercela bagi para guru yang harus dijauhi.
Seorang guru yang hanya menekuni satu ilmu harus memperluas wawasan
murid pada orang lain, dan jika ia menekuni beberapa ilmu maka harus
menjaga pentahapan dalam meningkatkan murid dari satu tingkatan ke
tingkatan yang lain.
Keenam, membatasi sesuai kemampuan pemahaman murid; tidak
menyampaikan kepadanya apa yang tidak bisa dijangkau oleh kemampuan
akalnya agar tidak membuatnya enggan atau memberatkan akalnya,
karena meneladani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Hendaknya
menyampaikan hal yang sebenarnya apabila diketahui bahwa kemampuan
pemahamannya terbatas. Ibnu Mas’ud, sebagaimana diriwayatkan Muslim,
berkata:
“Tidaklah seseorang berbicara kepada suatu kaum dengan suatu pembicaraan
yang tidak mampu dijangkau oleh akal mereka melainkan akan menjadi
fitnah bagi sebagian mereka.”
Ali Radhiyallahu ‘Anh berkata seraya menunjuk ke dadanya, “Sungguh di
sini terdapat banyak ilmu jika ada yang siap membawanya.” Ali
Radhiyallahu ‘Anh benar, karena hati orang-orang yang sangat baik (al
abrar) adalah kuburan berbagai rahasia. Seorang yang berilmu tidak
sepatutnya menyampaikan setiap ilmu yang diketahuinya kepada setiap
orang. Hal ini jika masalah itu bisa diiahami oleh murid tetapi tidak
layak untuk memanfaatkannya, maka apatah lagi menyangkut hal yang tidak
bisa dipahaminya? Oleh sebab itu dikatakan, “Takarlah setiap orang
dengan takaran akalnya, dan timbanglah dia dengan timbangan
pemahamannya, agar engkau selamat darinya dan dia bisa mengambil manfaat
darimu. Jika tidak, maka akan terjadi penolakan karena perbedaan
ukuran. Kezhaliman dalam memberi orang yang tidak berhak bukanlah lebih
ringan ketimbang kezhaliman karena tidak memberi orang yang berhak.”
Memberi ilmu kepada orang bodoh adalah kesia-siaan.
Tidak memberikannya kepada orang yang berhak adalah kezhaliman
Ketujuh, murid yang terbatas kemampuannya sebaiknya disampaikan kepadanya hal-hal yang jelas dan cocok dengannya, dan
tidak disebutkan kepadanya bahwa di balik itu ada pendalaman yang tidak
bisa disampaikan kepadanya, karena tindakan ini akan mengurangi
minatnya terhadap hal-hal yang jelas tersebut, membuat hatinya guncang,
dan mengesankan kebakhilan penyampaian ilmu terhadap dirinya; sebab
setiap orang meyakini bahwa dirinya layak menerima ilmu yang mendalam.
Setiap orang pasti ridha kepada Allah atas kesempurnaan akalnya,
sedangkan orang yang paling bodoh dan paling lemah akalnya ialah orang
yang paling bangga terhadap kesempurnaan akalnya. Dengan demikian
diketahui bahwa orang membimbing orang awam dengan bimbingan syari’at
dan menanamkan di dalam jiwanya berbagai keyakinan yang ma’tsur
(diriwayatkan) dari generasi salaf, tanpa tasybih dan ta’wil, namun
batinnya tetap baik dan akalnya tidak mampu menerima lebih banyak dari
itu, maka sebaiknya ia tidak mengeruhkan keyakinanya bahkan sebaiknya
tidak mengajak orang awam untuk membahas berbagai hakikat ilmu yang
pelik dan rumit, tetapi membatasi kajian bersama mereka pada
masalah-masalah ibadah, mengajarkan amanah dalam berbagai pekerjaan yang
mereka hadapi, memenuhi hati mereka dengan rasa takut dan harap kepada
surga dan neraka sebagaimana diungkapkan oleh Al Qur’an, dan tidak
menyinggung hal-hal syubhat kepada mereka; karena bisa jadi hal yang
syubhat itu tersangkut di hatinya dan tidak bisa dilepaskan sehingga
mengakibatkan kesengsaraan dan kehancuran dirinya.
Kedelapan, hendaknya guru melaksanakan ilmunya; yakni
perbuatannya tidak mendustakan perkataannya, karena ilmu diketahui
dengan mata hati (bashirah) dan amal diketahui dengan mata, sedangkan
orang yang memiliki mata jauh lebih banyak. Jika amal perbuatan
bertentangan dengan ilmu maka tidak akan memiliki daya bimbing. Setiap
orang yang melakukan sesuatu lalu berkata kepada orang lain, “Janganlah
kalian melakukannya” maka hal ini akan menjadi racun yang membinasakan.
Orang-orang akan melecehkan dan menuduhnya bahkan keinginannya untuk
melakukan apa yang dilarangnya itu semakin besar, seraya mengatakan,
“Kalau bukan karena paling baik dan paling enak pasti ia tidak akan
melakukannya.” Perumpamaan guru pembina terhadap para murid laksana
bayangan dengan tongkat; bagaimana bayangan bisa lurus jika tongkatnya
bengkok? Oleh sebab itu dikatakan:
“Jangan kamu melarang suatu perangai tetapi kamu melakukannya. Aib bagimu, apabila kamu lakukan menjadi dosa besar.”
Allah berfirman, “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan,
sedang kamu melupakan dirimu sendiri.” (Al Baqarah: 44). Oleh sebab itu
dosa orang berilmu yang bermaksiat lebih besar dari dosa orang bodoh,
karena dengan ketergelincirannya itu akan membuat ketergelinciran orang
banyak dan menjadi panutan mereka. Siapa yang memprakarsai suatu tradisi
yang buruk maka ia mendapat dosanya dan dosa orang yang melakukannya.
Oleh karena itu Ali Radhiyallahu ‘Anh berkata:
“Dua orang yang membuat punggungku patah: Orang berilmu yang bermaksiat dan orang bodoh yang banyak beribadah. Orang bodoh ini menipu orang dengan ibadahnya sedangkan orang yang berilmu tersebut memperdaya mereka dengan maksiatnya.”
Wallahu a’lam.
http://www.hasanalbanna.com/tugas-pembimbing-dan-pengajar/