pkssiak.org -
Dwi Budiyanto
Jogja
Acapkali kita tinggalkan medan dakwah dengan alasan sibuk. Ringan betul untuk mengucapkan kata “sibuk”. Seakan-akan jalan dakwah hanya ditempuhi oleh para penganggur yang kurang kerjaan. Sementara mereka yang merasa sibuk dapat berdalih untuk meninggalkannya.
Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris dalam “Fi Zhilal al-Sirah an-Nabawiyah Ghazwatul Badr al Kubra wa Ghazwatul Uhud” menuturkan bahwa Rasulullah telah memimpin 27 ghazwah (peperangan) dan memberangkatkan sekitar 38 sariyah serta ekspedisi. Nabi mengatur dan mengendalikan hal tersebut dalam kurun waktu yang sangat singkat dalam, yaitu sepuluh tahun. Pendapat ini sesuai dengan Ibnu Hisyam di dalam Sirah-nya. Itu artinya, dalam setahun Rasulullah terlibat dalam dua sampai tiga kali pertempuran.
Mari kita bayangkan betapa sibuknya Rasulullah mengatur semua itu. Berapa lama waktu yang digunakan untuk konsolidasi, mobilisasi, latihan, perjalanan, dan semua agenda yang menyertai pertempuran? Mari kita bayangkan betapa capek dan lelahnya Sang Rasul beserta para sahabat menempuhi hari-hari penuh perjuangan. Sekali lagi, mari kita bayangkan bagaimana kesibukan itu ditunaikan tanpa keluhan. Dalam situasi demikian, Rasulullah masih berkesempatan mengajar para sahabat, menerima tamu, menyimak keluhan dan konsultasi, membersamai istri-istri beliau, bahkan juga bermain akrab dengan anak-anak. Tak ada satupun kewajiban yang ditanggalkan. Tak ada satupun hak orang lain dilalaikan.
Malu rasanya diri ini ketika meninggalkan amal kebaikan dengan alasan sibuk. Seakan-akan kita jauh lebih sibuk daripada Rasulullah. Seakan-akan beban yang harus ditanggungkan melebihi beban Rasulullah. Kita lupa Rasulullah saw pernah menasihatkan bahwa sebaik-baik orang ialah yang sibuk dalam berkebajikan dalam rentang waktu umur diberikan. Inilah yang terpelajari ketika seorang laki-laki datang menemui Sang Nabi dan bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling baik?” Rasulullah menjawab, “Ialah yang panjang umurnya, baik pula amalnya.” Lelaki itu kembali bertanya, “Lalu siapakah lelaki yang paling buruk?” Dan Rasulullah pun kembali menjawab, “Ialah yang berpanjang umurnya dan buruk amalnya.” (H.r. Imam Ahmad). Inilah yang terpahami bahwa berlelah-lelah bersebab sibuk dalam kebaikan jauh lebih utama daripada segar bugar dalam kelalaian.
Menelisik ke dalam diri, adakah kesibukan telah dijadikan alasan untuk bermalas-malas dan semakin menjauh dari aktivitas kebaikan? Pasalnya, bukan karena banyaknya kesibukan kita menjadi lemah dan rapuh. Kadangkala, bersebab jiwa kita yang melemah dan merapuhlah maka seseorang teramat lihai menyusun 1000 macam alasan yang terasa menyibukkan. Bagaimana saya akan aktif dalam dakwah sementara tugas-tugas kuliah tumpuk-menumpuk? Bagaimana saya akan aktif di forum-forum pembinaan sementara waktu saya telah tersita di tempat kerja? Rasanya amat berat bagi saya untuk mengampu binaan, kesibukan menjalin relasi bisnis menjadikan saya khawatir tidak amanah. Orientasi yang memudar, motivasi yang melemah, semangat yang mengendur, biasanya, bermula dari jiwa kita yang tak terjaga dengan baik. Teringat nasihat Dr. Sayyid Muhammad Nuh, “Seorang dai harus memenuhi semua relung jiwanya dengan dakwah. Ia tidak berdiri, duduk, bergerak, atau berhenti, berbicara atau diam kecuali dalam kerangka dakwah.”
Sungguh bersibuk-sibuk dalam kebaikan akan meluruhkan seluruh lelah di badan. Bersuntuk-suntuk dalam perlombaan duniawi tanpa kejelasan orientasi ukhrawi hanya menjadikan sesak di hati. Tak ada yang perlu disesalkan dari kesibukan kita dalam dakwah. Bukankah itu tabiat jalan yang mesti kita tunaikan. Begitulah yang dilakoni para nabi. Nuh ‘alaihissalam misalnya, tak lelah berdakwah sepanjang malam dan siang (Q.s. Nuh [71]: 5), meski perujung pada penolakan demi penolakan. Orang-orang salih selalu sibuk dalam kebaikan. Bagaimana halnya dengan kita? Semoga tetap berkebajikan dan tidak merasa seakan lebih sibuk daripada Rasulullah. []
*Penulis: @dwiboediyanto on twitter