pkssiak.org - Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera Andi Rahmat mengatakan bahwa PKS dalam posisi
di koalisi mengambil sikap relasi kritis. Sehingga kami tidak bisa
selamanya menuruti apa yang menjadi kebijakan, tanpa adanya sikap
kritis, ujarnya kepada wartawan di Surabaya menanggapi banyaknya
desakan agar PKS dievaluasi dari partai koalisi atas sikapnya menolak
kebijakan kenaikan BBM, Senin.
Andi Rahmat
menceritakan pada 2005, partainya pernah mengusulkan hak angket atas
kasus beras, meski akhirnya kalah pada pemilihan suara terbanyak.
Andi mengaku,
partainya tidak ingin hanya dijadikan sebagai "penumpang gelap" dalam
koalisi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Apalagi,
dalam koalisi tidak hanya terdiri dari satu partai saja, melainkan
gabungan beberapa partai.
Sementara itu,
ketika disinggung PKS memilih menolak kenaikan harga BBM saat ini,
politisi muda itu menyebut karena waktu 2005-2007, pemerintah dan PKS
satu irama dalam desain kebijakan umum energi nasional.
Serta, lanjut dia, ada migrasi dari penggunaan kerosin yang bebannya lebih besar dari BBM ke elpiji tiga kilogram. Selain itu, pemerintah mengambil alih proses pembangkitan program 10 ribu megawatt.
"Proposal kebijakan energi pemerintah saat itu integral. Kami mendukung karena tahu betul itu akan berkembang dan apa efeknya bagi perekonomian. Sedangkan, proposal kenaikan harga BBM kali ini bersifat parsial dan kami khawatir sebagai bom waktu," katanya.
"Sekarang kami menilai pemerintah hilang kendali terhadap hulu dan menyelesaikan masalah di hilir. Kami sebetulnya bukan menentang, tapi ingin mengendalikan, karena intinya yang harus dibereskan ini hulu. Kenaikan harga BBM ini kan karena utang APBN tahun lalu mencapai Rp22 triliun kepada Pertamina yang harus dibayar tahun ini," katanya.
Karena itulah, pihaknya mengkritik dan mengingatkan yang lainnya, dengan harapan tidak terjerumus.
"Sebab kalau terlalu jauh, bukan kami saja, tapi bangsa secara keseluruhan akan terkena dampaknya," kata Andi.
Dirinya juga membandingkan pada era Presiden Soeharto ketika memberlakukan kenaikan harga BBM. Kala itu, kata dia, presiden tidak pernah berkoar-koar, sehingga tidak menimbulkan kepanikan di masyarakat dan membuat harga sembako terkatrol naik.
"Kalau seperti ini maka yang kasihan masyarakat, BBM belum naik saja, sekarang harga sembako sudah melambung. Apalagi, sebentar lagi memasuki bulan Ramadhan, yang merupakan puncaknya inflasi," katanya.
Serta, lanjut dia, ada migrasi dari penggunaan kerosin yang bebannya lebih besar dari BBM ke elpiji tiga kilogram. Selain itu, pemerintah mengambil alih proses pembangkitan program 10 ribu megawatt.
"Proposal kebijakan energi pemerintah saat itu integral. Kami mendukung karena tahu betul itu akan berkembang dan apa efeknya bagi perekonomian. Sedangkan, proposal kenaikan harga BBM kali ini bersifat parsial dan kami khawatir sebagai bom waktu," katanya.
"Sekarang kami menilai pemerintah hilang kendali terhadap hulu dan menyelesaikan masalah di hilir. Kami sebetulnya bukan menentang, tapi ingin mengendalikan, karena intinya yang harus dibereskan ini hulu. Kenaikan harga BBM ini kan karena utang APBN tahun lalu mencapai Rp22 triliun kepada Pertamina yang harus dibayar tahun ini," katanya.
Karena itulah, pihaknya mengkritik dan mengingatkan yang lainnya, dengan harapan tidak terjerumus.
"Sebab kalau terlalu jauh, bukan kami saja, tapi bangsa secara keseluruhan akan terkena dampaknya," kata Andi.
Dirinya juga membandingkan pada era Presiden Soeharto ketika memberlakukan kenaikan harga BBM. Kala itu, kata dia, presiden tidak pernah berkoar-koar, sehingga tidak menimbulkan kepanikan di masyarakat dan membuat harga sembako terkatrol naik.
"Kalau seperti ini maka yang kasihan masyarakat, BBM belum naik saja, sekarang harga sembako sudah melambung. Apalagi, sebentar lagi memasuki bulan Ramadhan, yang merupakan puncaknya inflasi," katanya.