pkssiak.org - Hinggar
binggar pemberitaan media terkait kasus dugaan suap impor sapi yang
melibatkan mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan
Ishaq (LHI) masih terasa sampai sekarang. Blow up media
itu sangat mungkin telah berdampak pada rusaknya opini (sebagian)
masyarakat tentang imej baik yang selama ini dimiliki oleh PKS.
Walaupun proses persidangan untuk kasus LHI sendiri baru saja akan berjalan, dan tentu saja belum memiliki status hukum tetap (inkracht), namun persepsi publik berlari jauh lebih cepat dari vonis pengadilan. Festivalisasi pemberitaan kasus ini di banyak media mainstream itu,
suka atau tidak suka, telah menggiring opini sebagian masyarakat bahwa
PKS adalah partai yang ‘kurang lebih sama’ dengan partai lain yang juga
terlibat korupsi.
Opini miring tentang PKS ini dengan mudah bisa dilihat dan ditelusuri dalam banyak arus komunikasi di media sosial, seperti facebook, twitter,
ataupun di kompasiana. Momentum kasus LHI sepertinya benar-benar
dimanfaatkan dengan cerdik oleh banyak pihak yang selama ini sudah tidak
suka dengan PKS, terutama oleh mereka yang berideologi berseberangan
dengan PKS. Bola liar pemberitaan kasus LHI ini bahkan merembet ke
mana-mana.
Mereka yang
berseberangan dengan PKS tidak hanya berusaha mendegradasi citra PKS
yang selama ini dikenal sebagai partai yang relatif bersih, namun mereka
juga berusaha menyerang eksistensi institusi PKS, dengan menyebarkan
wacana pembubaran PKS, jika terbukti terlibat dalam korupsi korporasi.
Kalangan
internal PKS sendiri barangkali merasa diberlakukan tidak adil oleh
massifnya pemberitaan media terhadap kasus LHI ini. Apalagi ditambah
dengan kecenderungan KPK yang ‘tebang pilih’ dalam mengusut banyak kasus
korupsi yang selama ini mengendap di KPK. Namun, apapun itu, PKS harus
menerima fakta bahwa bola liar itu kini telah ‘memakan’ cukup banyak
korban.
Jika festivalisasi pemberitaan media itu memang sengaja diciptakan untuk mendegradasi citra PKS, maka tujuan awal dari blow up berita
itu bisa dikatakan sudah mencapai sasarannya. Ini misalnya bisa dilihat
dari sebagian mereka yang selama ini berada pada posisi netral, para swing voter yang
mungkin dulu sebagian memilih PKS, dan sekarang mulai gamang dengan
pilihannya pada pemilu 2014. Sebagian mereka malah berencana golput,
karena mereka seperti kehilangan harapan tentang parpol alternatif untuk
menggantungkan pilihan mereka dalam pemilu.
Dampak pemberitaan itu ternyata juga tidak hanya berpengaruh pada para swing voter,
tetapi juga pada sebagian pemilih kultural PKS. Walaupun barangkali
tidak langsung berhubungan dengan kasus LHI, dideklarasikannya Lembaga
Dakwah Kemuliaan Islam (LDKI) oleh sebagian mantan aktivis PKS pada
9/06/2013 di Masjid Kampus Ukhuwah Universitas Indonesia sepertinya juga
perlu menjadi perhatian internal PKS.
LDKI adalah
bentuk institusionalisasi para ‘mantan kader’ yang selama ini kritis
terhadap beberapa kebijakan PKS, yang dulu menghimpun diri dalam
komunitas bernama Forum Kader Peduli (FKP). Jumlah kelompok ini mungkin
belum signifikan, namun melihat beberapa nama tokoh yang ikut
mendeklarasikan lembaga ini, apalagi dengan adanya rencana deklarasi
LKDI di beberapa daerah, bukan tidak mungkin organisasi ini bisa menjadi
‘warna’ tersendiri bagi bangunan PKS di masa yang akan datang.
Refleksi Internal dan Mendengar Empatik
Tantangan paling serius bagi PKS saat ini menjelang pemilu 2014 adalah bagaimana membangun ulang imej baik (image rebuilding)
PKS yang telah dirusak pemberitaan media itu. Suka atau tidak, pada
kenyataannya panggung pertarungan politik kita masih cenderung lebih
banyak bermain di wilayah artifisial, bukan substansi. Para politisi
kita lebih cenderung fokus pada bagaimana persepsi baik terbentuk,
sementara masalah benar atau salah seringkali menjadi secondary. Ini mungkin suatu hal yang paradoks.
Tapi begitulah seringkali sandiwara politik disuguhkan kepada kita. Seperti kata Castle, “this is politic, perception is reality, while the truth is not a matter.” Saya
tentu tidak sedang mengatakan bahwa PKS tidak perlu memperhatikan aspek
substansi dalam berpolitik. Namun, saya ingin mengingatkan bahwa betapa
persepsi dan opini itu bekerja sangat dahsyat sebagai salah satu
variabel dalam memenangkan pertarungan.
Merefleksi
pemilu 1999 dan 2004, ketika PKS masih bernama Partai Keadilan, PK/S
sukses membentuk opini masyarakat, terutama kalangan terdidik di
perkotaan yang melek informasi. Jargon ‘bersih dan peduli’ yang dibawa
PK mampu menyihir banyak orang untuk menumpangkan harapan kepada partai
yang terlahir di era reformasi ini. Jargon ini semakin menjadi magnet
kuat ketika di lapangan, masyarakat melihat kader-kader PK tampil beda
dari kebanyakan kader parpol lain.
Apalagi ketika media massa juga pernah menjadikan PK/S sebagai media darling pada dua kali pemilu awal, maka lengkap sudah political marketting yang
dilakukan PK/S pada dua kali pemilu awal. Hasilnya suara PKS meloncat
tajam pada pemilu 2004, dari hanya sekitar 1,4 juta suara pada pemilu
1999 menjadi lebih 8 juta suara pada pemilu 2004. Tidak hanya itu, PKS
juga sukses mencatatkan diri sebagai partai pemenang di jantung ibu kota
– Jakarta.
Walau ada
beberapa catatan kritis, sebelum kasus LHI mencuat ke publik, sebenarnya
PKS masih dipersepsi ralatif berperforma baik oleh kalangan swing voters.
Ini terutama karena sejauh itu belum ada satupun kader PKS yang
terbukti di pengadilan tersangkut kasus korupsi. Dengan kata lain, imej
bahwa PKS sebagai partai bersih dan anti korupsi masih cukup baik
tersemat dalam benak publik. Namun, sekali lagi, dramatisasi cerita dan pemberitaan kasus LHI (dan AF) sepertinya memang telah membuat imej itu mengalami perubahan.
Jika PKS
tidak mampu mengelola isu dan memperbaiki citranya menjelang pemilu
2014, bukan tidak mungkin target PKS menjadi 3 besar pemilu 2014 akan
menjadi berat. Karenanya PKS harus bekerja ekstra keras memanfaatkan
sisa waktu sekitar tahun ini. PKS harus bisa melihat ke dalam (baca:
pembenahan internal), dan pada saat yang sama harus mampu mendengar
secara empatik terhadap suara publik yang kadang sangat bising.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan PKS terkait usaha image rebuilding ini. Pertama, konsisten
menyerahkan sepenuhnya kasus LHI kepada proses hukum. Dan kalaupun
nanti LHI dinyatakan bersalah oleh pengadilan, seperti kata Anis Matta,
PKS harus legowo meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia. Dengan
demikian, apa yang sudah diputuskan oleh DPP PKS yang melarang struktur
PKS dan kader PKS membicarakan kasus LHI sudah tepat. Ini penting agar
berbagai pembelaan yang dilakukan banyak kader – yang kadang cenderung
berlebihan – tidak justru kontraproduktif. Perang opini yang digerakkan
oleh kader PKS terkait kasus LHI dengan memunculkan isu konspirasi dan
sejenisnya di berbagai social media, jika tidak hati-hati, justru bisa
membuat publik yang sebelumnya netral menjadi antipati.
Kedua, terus menjaga harmoni dengan banyak pihak, sebagaimana tagline baru PKS. Apa yang dilakukan oleh Anis Matta dengan roadshow tak
henti ke berbagai kalangan segera setelah dia ditunjuk menjadi presiden
PKS adalah satu hal yang bagus. Silaturahim ke berbagai kelompok ini
penting, agar mereka yang selama ini melihat PKS dari jauh menjadi
semakin mengenal PKS dari dekat. Menjaga hubungan baik dengan mantan
kader yang sekarang bergabung dengan LKDI, menurut saya juga perlu, agar
kehadiran LKDI tidak menjadi ‘kerikil’ tersendiri bagi perjalanan PKS
di masa depan.
Harmonisasi
ini juga penting dilakukan PKS dengan lembaga penegak hukum, seperti
KPK. Karenanya, dalam konteks ini, suara-suara (sebagian) kader PKS yang
mewacanakan pembubaran KPK, seperti yang disampaikan Fahri Hamzah perlu
dikaji ulang. Saya sendiri bisa memahami substansi pemikiran Fahri
Hamzah terkait kritikannya kepada KPK. Ide Fahri Hamzah itu dibangun
atas dasar konstruksi logika yang kuat, namun disampaikan di waktu yang
kurang tepat.
Ketiga,
terus bekerja nyata di lapangan. Basis masa terdidik yang loyal adalah
satu hal yang menjadi kekuatan PKS, dan tidak banyak dimiliki parpol
lain. Para kader ini harus terus diarahkan untuk bekerja dan melayani
rakyat secara nyata di lapangan. Penolakan PKS terhadap rencana kenaikan
BBM, misalnya, harus disosialisasikan secara efektif ke masyarakat
bahwa penolakan itu benar-benar karena ingin membantu rakyat yang sedang
kesulitan ekonomi, bukan karena motivasi politik pencitraan menjelang
2014, seperti yang dituduhkan banyak pihak.
Saya percaya bahwa pada akhirnya para pemilih
akan lebih realistis menilai PKS, dengan melihat apa aksi nyata para
kader PKS di lapangan. Kalaupun apa yang ditulis media tidaklah sejalan
dengan apa yang dikatakan PKS, saya yakin para calon pemilih akan lebih
merujuk apa yang mereka lihat di lapangan, ketimbang realitas yang
disajikan media. Oleh sebab itu, dalam konteks ini, seluruh jajaran
fungsionaris dan para kader PKS mesti well-performed. Apa
yang diserukan oleh tazkirah Dewan Syariah PKS dalam surat nomor
4/TK/DSP-PKS/1434 tentang menghindari hal-hal yang berpotensi fitnah
harus menjadi perhatian. Bahwa seluruh kader dan fungsionaris dihimbau
untuk menjaga iffah, berhati-hati dengan hal syubhat, dan memastikan
semua amal yang dilakukan sudah aman secara syari, legal, dan citra di
masyarakat.
Epilog
Sebagai
partai Islam terbesar di tanah air, PKS masih menjadi salah satu harapan
untuk dijadikan gerbong yang akan memperjuangkan kepentingan umat di
kancah politik. Perjuangan di jalan politik memang tidak akan pernah
semudah membalik telapak tangan.
Semoga semua
prahara yang menimpa PKS belakangan bisa menjadi pelajaran berharga
untuk kebesaran PKS di masa datang. Kalau tidak, harga yang harus
dibayar PKS tentu akan sangat mahal di masa depan. Kita tentu tak ingin
PKS hanya akan menjadi cerita indah pada tiga kali sejarah pemilu di
tanah air. Selamat berjuang pada pemilu 2014.
Catatan:
Penulis mengirimkan opini ini ke redaksi dakwatuna untuk dimuat,
setelah diposting di kompasiana pada tanggal 14 Juni 2013
:: http://www.dakwatuna.com