Memimpinlah Dengan Rendah Hati
By: admin
Kamis, 06 Juni 2013
0
pkssiak.org - Setelah diumumkan pengangkatannya menjadi khalifah, Umar bin
Abdul Aziz menyendiri di rumahnya. Tak ada orang yang menemui, dan beliau pun
tak mau keluar menemui seorang pun. Dalam kesendiriannya itu beliau
menghabiskan waktunya dengan banyak bertafakkur, berdzikir dan berdoa.
Pengangkatannya sebagai khalifah tidak disambutnya dengan pesta, tetapi justru
dengan air mata kesedihan yang mendalam.
Sesudah genap tiga hari beliau
pun keluar. Para pengawal di luar yang sudah lama menunggu siap menyambut
kepada pemimpin yang baru. Saat para pengawal itu siaga memberi hormat, beliau
malah mencegahnya.
“Kalian jangan memulai salam
kepadaku, bahkan salam itu kwajiban saya kepada kalian.” Inilah perintah
pertama khalifah kepada pengawal- pengawalnya.
Kemudian, beliau menuju ke
sebuah ruangan. Di sana tampaknya sudah banyak para pembesar dan tokoh
berkumpul. Demi mendengar khalifah akan masuk, semua hadirin terdiam dan serentak
bangkit berdiri memberi hormat. Apa kata beliau?
“Wahai sekalian manusia,”
katanya, “Jika kalian berdiri saya pun berdiri, jika kalian duduk saya pun
duduk. Manusia itu sebenarnya hanya berhak berdiri di hadapan Rabbul Alamin.”
Itulah yang dikatakan pertama
kali kepada rakyatnya. Sikap pemimpin dalam Islam, sejatinya memang harus
demikian. Sebagaimana kata Rasul, pemimpin adalah pelayan ummatnya.
Namun ini menjadi suatu hal
yang istimewa karena pemimpin saat itu maupun saat ini sudah seperti seorang
raja. Dan sebagai khalifah, Umar bin Abdul Aziz mewarisi budaya yang demikian
itu; hidup dalam gelimang kemewahan dan kekuasaan. Namun beliau tidak serta
merta meneruskan budaya yang sebenarnya menguntungkannya secara pribadi itu. Beliau
menolak dihormati berlebihan. Beliau juga tidak mau hidup dalam kemewahan. Yang
dipilihnya adalah sikap rendah hati dan kesederhanaan sebagai pelayan ummat.
Buka Hati
Sebagai pemimpin besar
bersikap rendah hati, sederhana dan melayani, tentu tidak mudah. Apalagi bila
kesempatan bermewah-mewah itu memang terbuka di depan mata. Siapa sih yang
tidak tergiur menikmati kemewahan dan kekuasaan? Di negeri kita ini, sebuah
kedudukan dan jabatan menjadi rebutan.
Dan bahkan banyak yang rela mati-matian
berkorban apa saja, dengan segala cara, untuk mendapatkannya. Dan setelah
berhasil meraihnya, pertama kali yang dilakukan adalah pesta kemenangan. Dan
kemudian segeralah digunakan aji mumpung. Bim salabim jadilah OKB (Orang Kaya
Baru).
Gaya hidup dan pergaulannya
sudah berbeda dari sebelumnya. Seolah menikmati kemewahan itulah yang menjadi
impiannya.
Tetapi mari kita membuka hati
ini. Dengan berbagai upaya dan gaya hidup mewah itu, apa sih sesungguhnya yang
kita cari? Dengan mobil mewah, rumah megah, pakaian serba mahal, dari lubuk
hati ini apa sih yang dirindukan? Mungkin terdetak dorongan;… hidup terhormat
dan dimuliakan. Tentu mencapai hidup seperti itu suatu yang normal saja. Malah
aneh kalau ada orang bercita- cita hidup terhina dan direndahkan. Tetapi
benarkah kita dapat mencapai kemuliaan dan kehormatan itu dengan hidup
berbungkus kemewahan? Coba sebutkan nama- nama orang yang menggetarkan hati
karena kemuliaan dan kehormatan mereka. Cermati satu persatu.
Benarkah hati anda terkesan
karena kemewahan mereka?
Mari kita bercermin kepada
Umar bin Abdul Aziz. Kita tenangkan hati dan jernihkan pikiran sejenak. Andai
beliau memilih cara hidup mewah dan bermain kekuasaan sebagaimana raja- raja
yang lain, akankah memiliki nama harum seperti saat ini? Mungkin saja dengan kemewahan
singgasana saat itu ia bisa membuat topeng kemuliaan itu di muka rakyatnya.
Tetapi berapa lama kemuliaan
seperti itu bisa bertahan? Lihatlah para pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan
untuk kesombongan dan kemewahan. Bagaimana akhir kehidupan mereka? Masa tua
tidak hidup damai, malah gundah gulana karena dijerat hukum.
Terbuktilah bahwa kemuliaan
yang dibungkus materi hanyalah semu dan tipuan belaka. Sungguh Allah tidak
menyukai orang- orang sombong. Yang Dia perintahkankan adalah berlaku sederhana
dan lembut dengan sesama.
“Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di
muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang- orang yang
sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu.” (QS: Luqman: 18- 19)
Misi Mulia
Ya, memang tidak mudah untuk
selalu rendah hati dan memilih hidup melayani. Apalagi kalau kita
terjebak pada dorongan biologis dan egoisme semata. Maunya justru dilayani.
Kalau sedang memegang kekuasaan yang dipikirkan adalah apa yang dapat saya
ambil dengan posisi ini, bukan kebaikan apa yang dapat saya berikan pada orang
lain. Melayani dirasakan sebagai suatu kehinaan. Seolah yang harus melakukan
adalah orang-orang rendahan. Padahal melayani inilah misi mulia yang sebenarnya
diamanahkan Allah kepada hamba-Nya yang terpilih; Rasulullah dan orang-orang
yang mengikuti jejak beliau. Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang berkenan
memberi kehormatan pada manusia berperan serta menebarkan rahmat- Nya ke
seluruh alam semesta.
“Dan tidaklah Kami mengutus
kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS: Al Anbiya’: 107)
Dengan berbagi rahmat,
tersebarlah belas kasih dan kedamaian dalam kehidupan ini. Dalam bekerja,
seorang pemimpin akan senantiasa berfikir bagaimana karyawannya sejahtera. Dan
karyawan berfikir bagaimana ia bisa memberikan layanan terbaik melalui
pekerjaannya.
Sebagai pemimpin keluarga,
seorang ayah yang kasih sayang kepada keluarga dan anaknya, akan mengantar pada
suasana sakinah. Sehingga anak-anaknya pun termotivasi meneladaninya dan
berbakti kepada kedua orangtuanya. Setiap orang yang melayani dengan ikhlas
berarti telah berpartisipasi menebar rahmat ke seluruh alam. Itulah tugas
terhormat seorang pemimpin.
Dan setiap kita pada
hakekatnya adalah pemimpin. Setiap kalian adalah pemimpin, begitu tutur
baginda Rasul dalam satu kesempatan.
Bila setiap orang berfikir
minta dilayani, yang terjadi justru krisis. Pemimpin minta dilayani
staf-stafnya. Majikan memeras para karyawannya.
Petugas memepersulit rakyat.
Orientasinya bukan rahmatan lil alamin tetapi keuntungan pribadi.
Kekayaan alam yang mestinya
untuk kesejahteraan rakyat malah dikuras habis untuk bermewah- mewah. Hutan
digunduli akibatnya kerusakan dan banjir dimana- mana.
Malah rakyat yang menjadi
korban. Akhirnya rakyat pun ikut- ikutan mengikuti para prilaku pemimpinnya;
mencari keuntungan sendiri. Sudah kaya dan berkecukupan belum bersyukur malah
berebut bantuan yang mestinya untuk fakir miskin. Bagaimana misi mulia itu bisa
dilakukan dengan paradigma seperti itu?
Sungguh cara hidup seperti itu
bukan kemuliaan yang akan kita raih, tetapi justru kehinaan. Bukankah itu yang
saat ini banyak melanda kehidupan kita?
“Dan jika Kami hendak
membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang- orang yang hidup
mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi meraka melakukan kedurhakaan
dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan
(ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur- hancurnya.” (QS: Al Isra’: 16)
Agar mampu rahmatan lil alamin, kita perlu mentransformasi diri. Pusat diri yang sebelumnya egoisme dan hawa nafsu harus diganti dengan kebeningan nurani.
Sumber Inspirasi
Bayangkan kalau ada orang yang
rendah hati, menghormati sesama, dan suka melayani. Tidakkah hati anda
menyukainya? Tidakkah Anda terkesan dengan keikhlasannya itu?
Orang yang demikian itu akan
membahagiakan hati sesamanya. Kalau dia seorang bapak, keluarganya akan
menghormatinya dengan tulus. Kalau dia seorang ibu, anak-anaknya tentu akan
senantiasa merindukan. Kalau dia seorang pemimpin, tentu akan
menginspirasi hati sekalian rakyatnya.
Umar bin Abdul Aziz telah
membuktikan bagaimana keberkahan rendah hati ini. Meski hanya dalam waktu dua
tahun pemerintahannya, beliau membuat perubahan besar. Akhlak rakyatnya yang
sebelumnya buruk, sejak kepemimpinannya berubah drastis menjadi baik.
Demi melihat pemimpinnya
rendah hati dan teramat jujur itu, ummat terinspirasi. Yang menjadi pembicaraan
heboh di berbagai sudut kota, warung sampai pinggiran ladang di desa, masalah
iman dan amal shalih. Mungkin seperti keadaan kemarin yang semua orang
berbicara tentang sepak bola dunia.
Masyarakat giat bekerja dan
sejahtera. Bahkan kemakmuran di masa pemerintahannya mencapai puncaknya.
Rakyat berdaya ekonominya dan
mereka berlomba menunaikan zakat. Fakir miskin terentaskan sehingga sangat
sulit mencari orang yang menerima zakat.
Memberi dan memberi, itu yang
menjadi paradigma mereka. Bukan meminta dan meminta.
“Jikalau sekiranya penduduk
negeri -negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kamai akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS: Al A’raaf: 96)
Tidak hanya itu, suasana alam
dan binatang digambarkan mendukung terhadap kemakmuran itu. Para gembala yang
biasanya takut kambingnya terancam dimakan oleh srigala, saat itu kedua
binatang ini seolah berteman saja. Pintu keberkahan di buka Allah bila manusia
telah menunaikan tugas sebagai khalifah di muka bumi.
Atas prestasinya yang gemilang
itu, tidak mengherankan jika beliau digolongkan sebagai Khulafaur Rasyidin ke
lima setelah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali.
*/Hanif Hannan
DPD PKS Siak - Download Android App