Mari Menjadi Da'i yang Tidak Emosional
By: Abul Ezz
Minggu, 23 Juni 2013
0
pkssiak.org - Dakwah adalah profesi terbaik, sepanjang diiringi dengan amal shalih.
Da'i adalah status terbaik, sepanjang da'i menjadi teladan dalam
beramal. Da'i tak ubahnya dokter dan masyarakat sebagai pasiennya. Da'i
harus terjaga sterilitas, imunitas, bahkan stabilitasnya sebelum terjun
mendiagnosa, memeriksa, bahkan melakukan aksi pengobatan kepada
masyarakat. Apa jadinya, jika da'i yang hendak terjun
mengobati masyarakat adalah da'i yang ringkih, tidak stabil, tidak imun,
dan tidak steril. Tak ubahnya dokter yang tentu "bunuh diri" memeriksa
pasien dengan ragam penyakitnya. Mulai yang flu ringan hingga pasien
HIV/AIDS, dll.
Apa jadinya pula jika da'i adalah sosok yang
ringkih kualitas ruhiahnya, kurang tsaqofahnya, terbatas kitab
bacaannya, tak jelas talaqqi ilmunya, atau sempit pergaulannya. Bisa
dipastikan ibarat dokter yang salah kaprah memberikan resep dokter
kepada pasiennya. Bukankah sering terjadi "malpraktek" di dunia
kedokteran? Apakah malpraktek juga terjadi di dunia dakwah?
Kita sering dihadapkan pada fenomena, da'i yang salah memberi resep
kepada pasiennya.Saat masyarakat miskin-bodoh-terbelakang, resep yang
kita berikan bukan solusi ekonomi-pendidikan-atau peningkatan kualitas
SDM, tapi malah meneriakkan yel-yel heroisme atau hanya mengatakan,
"Islam adalah solusi bagi semua masalah!" Tanpa menjabarkan lebih detail
dan nyata, bagaimana tupoksi penyelesaian masalah cara Islam. Diyakini,
peran da'i demikian ibarat dokter yang mendiagnosa penyakit anemia dan
ia memvonisnya leukimia. Parah bukan?
Karena da'i adalah
dokter yang "dianggap" mampu mencarikan solusi dari kesulitan yang ada,
maka da'i harus steril dari penyakit-penyakit yang kerap menghinggapi
para juru dakwah. Penyakit tersebut adalah: Mental infi'aliyyah
(reaksioner).
Da'i yang reaksioner adalah cerminan dari jiwa
emosional dan berbasis gerakan yang tidak memiliki manhaj yang jelas.
Sikap reaksioner nampak saat da'i dan gerakan dakwahnya hanya fokus
mengomentari kasus per kasus, fenomena ke fenomena, tidak holistik
menyikapi keadaan sebagai satu kesatuan utuh. Maka sebuah gerakan dakwah
bisa dikategorikan reaksioner jika segala gerakannya tidak berangkat
dari tujuan dan sasaran yang jelas; tidak berdasarkan tahapan-tahapan
yang jelas, dan tidak menggariskan langkah-langkah yang jelas. Sehingga
semua manuvernya tidak lebih dari reaksi terhadap kondisi sesaat yang
muncul atau terhadap isu yang dianggap aktual. Dengan kata lain dakwah
yang infi'aliyyah adalah dakwah yang tidak berpijak pada manhaj (jalan,
sistem) yang jelas. Padahal Allah Swt. telah menegaskan pentingnya
manhaj yang jelas itu. "Katakanlah inilah jalanku, aku menyeru ke jalan
Allah dengan pandangan yang jelas (bashirah)." (Yusuf 108)
Dampaknya sangat tragis. Bagaimana dakwah kita saat ini hanya fokus pada
permasalahan furu' dan kita abai terhadap masalah ushul. Kita menjadi
da'i yang marah saat organisasi kita dihina, tapi tak terusik saat agama
kita dilecehkan. Kita menjadi da'i yang mudah mengkafir-kafirkan orang
lain, bahkan acap mengarahkan telunjuk kafir, munafik, musyrik kepada
umat yang tidak satu model perjuangan dengan kita. Bahkan kita pun
sering gelap membabi buta bila pemimpin partai-ormas-atau tokoh dakwah
kita dirudung masalah, bukan?
Akibatnya, gerakan dakwah
terkesan ngawur alias tak tentu arah. Energi dakwah terkuras untuk
merespon berbagai kasus, peristiwa, perkembangan politik, atau problem
sosial yang fenomanial. Sementara itu, permasalahan umat yang
sesungguhnya terabaikan.
Namun pandangan di atas bukan berarti
da'i dan gerakan dakwah tidak perlu merespon permasalahan fenomanial.
Tapi lebih dari itu seorang da'i dan gerakan dakwah harus memiliki Rekam
Medis (Medrep) atas pasien-pasien yang ia obati. Saking pentingnya
Rekam Medis ini, beberapa RS di Singapura dan Malaysia mensyarakatkan
agar setiap pasien yang hendak berobat, harus mengirimkan catatan,
sejarah, latarbelakang, atau rekam jejak kehidupan calon pasien. Itu
untuk kesehatan fisik. Lalu mengapa untuk kesehatan ruhiah, kesembuhan
penyakit yang berkaitan dengan agama dan mentalitas tidak diberlakukan
hal yang sama?
Nah, realita membuktikan, rata-rata da'i dan
gerakan dakwah tidak memiliki kecakapan yang patut dan cukup tentang
rekam jejak masyarakat yang ia dakwahi, sejarah masa lalunya, kebiasaan
dan tradisi kesehariannya, profesi dan hobi, bahkan para da'i tidak "mau
mengerti" realitas bahwa rata-rata objek dakwahnya adalah masyarakat
yang sejak lama dibuat bodoh oleh penjajah.
Karena kita tidak
memiliki pemahaman yang baik itulah, kita sering reaksional, main gebyah
uyah, tidak malapah gedang (tadarruj/bertahap). Akhirnya keindahan
Islam hanya sebatas teori di kitab Suci atau ada di makalah kumpulan
Sunnah, tapi tak mampu memberi solusi yang nyata. Ujung-ujungnya, umat
menjauhi kita. Karena kita dikenal sebagai da'i malpraktek. Da'i yang
salah memberi resep. Karena diagnosanya tidak didasari pemahaman yang
baik, cenderung emosional, dan tak patut menjadi teladan. Akankah kita
berubah?
Wallahu A'lam
Nandang Burhanudin
Bandung; 5:44, 23-06-13
Tags :
Dakwah
Share !