Korban ‘Peradilantainment’
HERU SUSETYO
Staf Pengajar Viktimologi dan Hukum Perlindungan Anak
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
pkssiak.org - Proses peradilan pidana di Indonesia belakangan ini sudah laksana
infotain-ment. Penangkapan, penyelidikan, penyidikan, dan persidangan
kasus-kasus tertentu menarik untuk dilihat, dipantau, dibicarakan, dan
mendapat rating tinggi di mata masyarakat. Sayangnya, terkadang esensi
keadilannya tak menjadi fokus perhatian.
Alih-alih berfokus pada materi kejahatan yang dilakukan atau pada pokok
perkara, masyarakat malah lebih menikmati informasi lain yang diluar
pokok perkara. Di sisi lain, penegak hukum juga terkesan membiarkan atau
bahkan menikmati penyimpangan ini.
Sebutlah kasus model cantik Novi Amalia (NA) yang ditangkap karena
mengendarai mobil dengan berbikini saja dalam kendaraan saat mabuk dan
menabrak tujuh orang, termasuk dua orang polisi, di sekitar Taman Sari
Jakarta Barat pada 11 Oktober 2012.
Setelah ditangkap, kasus yang kemudian menarik perhatian publik bukanlah
bahwasanya dia mabuk dan mena brak orang banyak, melainkan bagai mana
NA kemudian mengalami perlakuan salah dari polisi.
Ia difoto dalam keadaan berbikini dan diborgol, lalu foto-fotonya
menyebar ke mana-mana melalui media seluler dan internet. Maka, NA pun
meng alami double victimization. Sudah menderita karena menjadi
tersangka pelaku penabrakan, lalu menderita pula akibat dilecehkan oleh
penegak hukum dalam proses pemeriksaan.
Kasus berikutnya adalah tentang kisah-kisah penggerebekan tersangka
teroris oleh aparat kepolisian. Tidak sekali atau dua kali
operasi-operasi penangkapan teroris tersebut diliput secara terbuka oleh
media penyiaran publik, seperti televisi. Mulai dari polisi yang
bergerak mengendap-ngendap mencoba mengepung rumah di lokasi tertentu,
menyiarkan liputan tentang rumah, keluarga, area sekitar, wawancara
dengan masyarakat sekitar, tokoh masyarakat, mantan guru, mantan sekolah
terduga teroris, dan sebagainya.
Dampak dari narsisme dalam pemberitaan kasus pemberantasan terorisme ini
adalah lahirnya potensi viktimisasi dan kriminalisasi terhadap keluarga
tersangka, area sekitar tempat tinggal tersangka, sampai teman-teman
tersangka.
Tersangka bisa jadi lolos, tertangkap, ditembak mati, ataupun luka-luka
parah. Namun, keluarga, teman-teman, mantan sekolah, hingga area tempat
ting gal tersangka sering juga kena getah nya akibat pemberitaan yang
eksesif dari lembaga penyiaran publik.
Kasus Antasari Azhar, mantan ketua KPK yang kemudian dijatuhi pidana 18
tahun penjara karena terbukti sebagai perencana pembunuhan Nasrudin
Zulkarnaen, direktur PT Rajawali Putra, memiliki magnitude permasalahan
yang hampir sama. Alih-alih mendalami kasusnya, sebagian publik malah
lebih tertarik dengan isu `cinta segitiga' antara Antasari, Nasrudin dan
Rani.
Namun, primadona dari semua kasus `peradilantainment' adalah kasus-kasus
korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang banyak terjadi
belakangan ini.
Walaupun banyak pihak berpendapat bahwa KPK melakukan tebang pilih dalam memberantas korupsi, prestasinya juga tidak sedikit. Terakhir adalah ketika Pengadil an Tipikor memidana ZD, anggota DPR, dan anak lelakinya dengan hukuman 15 tahun penjara dan anaknya delapan tahun penjara dalam kasus korupsi pengadaan Alquran.
Walaupun banyak pihak berpendapat bahwa KPK melakukan tebang pilih dalam memberantas korupsi, prestasinya juga tidak sedikit. Terakhir adalah ketika Pengadil an Tipikor memidana ZD, anggota DPR, dan anak lelakinya dengan hukuman 15 tahun penjara dan anaknya delapan tahun penjara dalam kasus korupsi pengadaan Alquran.
Sayangnya, dalam beberapa kasus terakhir, proses hukum dan reaksi
masyarakat, media cetak, serta lembaga penyiaran publik cenderung salah
sasaran.
Alih-alih berfokus kepada dugaan kejahatan dan tindak pidana pencucian
uangnya, penegak hukum dan masyarakat malah asyik mengurusi isu-isu lain
di seputar tersangka, seperti para perempuan di sekitar tersangka,
apakah berstatus istri tua, istri muda, teman dekat, selingkuhan, dan
sebagainya.
Misalnya, dalam kasus dugaan korupsi di Korlantas Polri yang melibatkan
Irjen Djoko (DS) sebagai tersangka. Kasus lain yang lebih anyar adalah
yang melibatkan Ahmad Fathanah (AF) dan Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) dalam
dugaan korupsi impor daging sapi di Kementerian Pertanian.
Dalam kasus AF, berturut-turut timbul Maharani, Vitalia Sesha, Ayu
Azhari, Tri Kurnia, sampai istrinya, Sefti Sanustika. Belakangan, konon
aliran dana dari AF diduga mengalir ke 40 orang perempuan lainnya.
Sayangnya, data tersebut tidak akurat karena dari jumlah tersebut, ada
nama dari ibu dan keluarga AF alias bukan perempuan-perempuan teman
dekatnya.
Dalam kasus yang melibatkan LHI, alih-alih menguliti kasus dugaan
korupsi dan TPPU-nya, media massa lebih tertarik dengan berapa jumlah
istri dan apakah Nona Darin Mumtazah (DM) adalah istri dari LHI atau
bukan.
Pemanggilan istri pertama, kedua, dan Nona DM juga dilakukan pada saat
bersamaan oleh KPK, membuat proses penyidikan yang sebenarnya biasa ini
berubah menjadi drama ala telenovela.
Peradilan seharusnya memberikan keadilan, bukan melahirkan viktimisasi
bagi orang-orang yang bukan tersangka. Media massa juga sepatutnya
memberikan informasi yang sehat dan mendidik, bukannya semata-mata
mengakomodasi selera rendah masyarakat.
Rambu-rambu untuk perlindungan terhadap `peradilantainment' tersebut
sudah ada. Setiap profesi penegak hukum memiliki undang-undang dan kode
etik. Masyarakat memang memerlukan informasi yang cepat dan segar. Tapi,
juga jangan melupakan akurasi dan kesehatan berita, juga perlindung an
terhadap tersangka, korban, dan saksi harus diutamakan.
Karena, alih-alih memberikan informasi yang cepat dan tepat, pemberitaan
media belakangan ini cenderung kurang sehat dan kurang akurat.
Dampaknya adalah terjadi viktimisasi dan kriminalisasi terhadap
orang-orang yang tidak sepatutnya diviktimisasi dan dikriminalisasi.
Beberapa bentuk perlindungan tersebut, misalnya, tidak meliput
persidangan dan mengambil foto persidangan secara vulgar. Di luar negeri
banyak negara yang melarang peliputan dan pengambilan gambar
persidangan. Lalu, gunakanlah inisial untuk nama-nama orang yang
sepatutnya dilindungi, seperti pada korban dan saksi.
Dengan dikembalikannya proses penegakan hukum dan peliputan media pada
rel yang seharusnya, semoga proses peradilan pidana akan betul-betul
melahirkan keadilan. []
*Opini REPUBLIKA (8/6/2013)